Salah satu faktor penting lahirnya pemikiran modern dalam Islam adalah munculnya kolonialisme. Hal ini direspons melalui dua arah. Pertama adalah kesadaran para ulama Haramain asal Indonesia akan pentingnya menumpas penjajahan sehingga mereka begitu bersemangat menyadarkan para penuntut ilmu di Haramain dari Indonesia akan pentingnya menumpas kolonialisme. Kedua adalah munculnya kesadaran dari para intelektual pribumi akan bahaya penjajahan yang telah mengecap pendidikan dari sekolah Belanda (Rahardjo, 1999: 16-17).
Di antara gerakan perlawanan penjajahan yang sangat penting adalah terjadinya Perang Paderi dan Perang Aceh. Di Jawa, di samping perang Diponegoro, perlawanan atas penjajahan dilakukan melalui usaha-usaha pembangunan kesadaran oleh kaum terpelajar. Islam sebagai semangat perjuangan memiliki peran utama dalam perlawanan penjajahan. Salah satu tokoh penting yaitu Haji Umar Said Tjokroaminoto atau HOS Cokroaminoto.
Cokroaminoto merupakan seorang keturunan bangsawan yang sangat keras menentang kolonialisme dan melakukan usaha perlawanan melalui berbagai advokasi dan pengembangan kesadaran melalui gerakan-gerakan intelektual. Meskipun berasal dari golongan bangsawan, Cokroaminoto sangat keras menentang adanya kelas sosial. Menurutnya, setiap manusia itu setara. Penjajahan itu merupakan suatu kekejian yang harus dilawan.
Sikap Cokroaminoto menentang segala bentuk ketidaksetaraan diperlihatkan dengan keengganannya menunduk di hadapan orang Belanda saat bekerja di sebuah kantor di Magelang. Perjuangan itu terus dilakukan hingga Cokroaminoto memimpin Sarekat Islam. Itu merupakan sebuah organisasi yang didirikan oleh Samanhoedi yang berangkat dari sebuah perkumpulan yang didirikan untuk mengamankan perusahaan batik milik pribumi dari ancaman kriminalitas. Perkumpulan tersebut kemudian berubah menjadi Sarekat Dagang Islam sebagai organisasi yang memperjuangkan perusahaan batik pribumi dari dominasi perusahaan batik Tionghoa yang terlalu dianak-emaskan oleh kolonial.
Nantinya, kesadaran pentingnya perjuangan sosial akan efektif melalui jalur politik memunculkan Partai Sarekat Indonesia. Cokroaminoto dalam hal ini menjadikan Islam sebagai semangat pergerakan. Dia sadar bahwa Islam dapat menjadi energi yang menggerakkan masyarakat untuk melakukan perlawanan terhadap kolonialisme Belanda. Semangat semacam ini juga pernah dilakukan dalam perang Padri, perang Aceh, dan perang Diponogoro. Mereka manjadikan Islam sebagai semangat untuk melawan Belanda dalam rangka memperjuangkan ekonomi, politik, dan identitas. Hal ini membuat pemerintah kolonial menjadi semakin waspada terhadap Islam.
Awalnya hubungan Cokroaminoto dengan Belanda sangat baik, bahkan dia diberikan sokongan finansial yang besar. Namun setelah berhubungan dengan Semaun, Cokroaminoto menjadi semakin gencar menunjukkan perlawanannya terhadap pemerintah Kolonial. Padahal sebelumnya, Sarekat Islam adalah lembaga yang dikenal akrab dengan pemerintah.
Dalam suara-suara perlawanannya, Cokroaminoto menyerukan pentingnya kesetaraan antar umat manusia dan bahaya penjajahan.
Dalam perlawananya itu, Cokroaminoto menyerukan pentingnya penyelenggaraan pendidikan dan beasiswa bagi pribumi berprestasi. Melalui wadah Sarekat Islam, Cokroaminoto juga menyerukan kepada Belanda untuk tidak menghambat penyebaran dakwah Islam dan mendesak pemerintah untuk memberikan dukungan materi kepada para penghulu.
Sikap keras Cokroaminoto sangat disesalkan pihak Belanda. Sebagaimana diketahui, padahal mereka yang memberikan dukungan finansial kepada Cokroaminoto sehingga dia dapat menggerer sang pendiri Sarekat Islam, Samanhoedi. Sementara sang pendiri hanya menjadi ketua kehormatan organisasi. Namun sebelum menjadi ketua, Cokroaminoto telah berkontribusi sangat besar bagi Sarekat Islam. Dia melakukan penegasan sistem keorganisasian dalam organisasi tersebut. Itu dilakukan nyaris sendirian.
Dari usaha Cokroaminoto menjadi ketua Sarekat Islam, dapat dipelajari bahwa, untuk menjadi pemimpin tertinggi sebuah organisasi, harus memiliki dukungan finansial, memahami seluk-beluk organisasi, dan tentunya mampu mempengaruhi para anggota organisasi di tingkat bawah.
Cokroaminoto telah mempelopori bagaimana sebuah organisasi Islam modern. Namun sepak terjangnya dalam rangka meraih kepemimpinan dan mempertahankannya menjadi sasaran koreksi para rivalnya. Menurut penentangnya di Sarekat Isam, Cokroaminoto bersedia melakukan praktik-praktik kurang bijak dalam rangka menyingkirkan lawannya. Dia dianggap membuka aib saingannya melalui media massa. Cara ini juga yang ditiru lawan selanjutnya sehingga membuat reputasi Cokroaminoto luntur (Tempo, 21 Agustus 2011: 39).
Darsono, rivalnya Cokroaminoto, mengatakan sang raja tanpa mahkota itu menjadikan Sarekat Islam sebagai wadah mencari keuntungan pribadi. Namun sepertinya tuduhan itu perlu ditelaah kembali. Karena Cokroaminoto paham bahwa di organisasi mana pun, praktik seperti ini akan membuat organisasi ambruk. Tan Malaka yang coba menengahi pertikaian para petinggi Sarekat Islam mengatakan, saling serang karakter terjadi akibat kesalahpahaman. Laporan lain menyebutkan itu terjadi karena perebutan kekuasaan. Hal ini merupakan dinamika yang sering terjadi di berbagai organisasi.
Idealnya dalam berorganisasi, haruslah bertujuan mengembangkan organisasi, bukan mencari keuntungan pribadi. Siapa saja yang berusaha menjadikan oranisasi sebagai wadah mengusahakan kepentingan pribadi, maka pelakunya tidak akan hidup damai. Banyak praktik seperti itu dalam berbagai organisasi termasuk organisasi keagamaan.
Sulit mempercayai Cokroaminoto suka memperjuangkan kepentingan pribadi di Sarekat Islam. Sukarno sendiri mengatakan, kehidupan Cokroaminoto sangat sederhana. Rumahnya di pemukiman padat penduduk. Bagian belakang rumahnya disekat-sekat menjadi sepuluh kamar. Di sanalah calon tokoh penting pergerakan seperti Sukarno, Alimin, Muso, dan Kartosuwiryo mengasah wawasannya. Kelak mereka menjadi tokoh penting antara lain karena memiliki keluasan wawasan akibat sering ikut mendengar para tokoh Sarekat Islam bertamu dan berdiskusi dengan Cokroaminoto. Semangat perlawanan mereka terhadap kolonialisme juga muncul dari pembicaraan-pembicaraan para tokoh Sarekat Islam yang berdiskusi tentang diskriminasi Belanda.
Tokoh penting seperti Ahmad Dahlan juga suka singgah di rumah Cokroaminoto bila ke Surabaya. Semangat diskusi para pemuda indekos memotivasi Cokroaminoto memfasilitasi diskusi rutin di rumahnya. Maskipun demikian, setiap anak kos itu berbeda haluan gerakannya nanti. Muso kepada komunisme, Sukarno kepada nasionalisme, dan Kartosuwiryo kepada Islamisme.
Di Yogyakarta, tokoh penting lainnya seperti Hamka masuk Sarekat Islam dengan harapan dapat mengikuti ceramah Cokroaminoto. Di kota itu juga, Cokroaminoto merekrut Ahmad Dahlan, Abdul Muis, dan Agus Salim menjadi anggota Sarekat Islam.
Dari awal kariernya, Cokroaminoto sudah tidak suka dengan sikap kaum feodal. Mereka terlalu manut terhadap Belanda. Cokroaminoto keluar dari pekerjaannya sebagai pegawai pemerintah karena tidak suka harus menghamba kepada Belanda. Keputusan ini membuatnya diusir dari rumah oleh mertuanya yang merupakan seorang wakil bupati. Dia memilih minggat dan bekerja sebagai tukang angkut barang di pelabuhan Semarang. Pengalannya menjadi kuli membuat dia kelak begitu bersemangat memperjuangkan nasib buruh (Yudi Latif, 2013:98).
Ketika pindah ke Surabaya, Cokroaminoto aktif menulis di surat kabar. Tema utamanya adalah gagasan tentang cara memajukan bangsa. Melalui tulisan-tulisannya serta sikapnya yang tidak menyukai sistem kolonial, Cokroaminoto direkrut Sarekat Islam. Cokroaminoto pindah ke Surakarta. Samanhoedi memintanya fokus di Sarekat Islam.
Sarekat Islam juga mendirikan surat Kabar Oetosan Hindia. Surat kabar tersebut menjadi wadah advokasi masyarakat dan penentangan atas kebijakan-kebijakan diskriminatif pemerintah Hindia. Selain Cokroaminoto, banyak cendikiawan lainnya termasuk Ki Hajar Dewantara. Sementara Sukarno, selama sebelas tahun penerbitan koran tersebut, menulis lebih lima ratus artikel. Hal ini menunjukkan kepekaan Sukarno atas masalah-masalah yang dihadapi pribumi dan betapa kesalnya ia terhadap kolonialisme.
Sementara Sarekat Islam mengalami kemunduran akibat terjadinya saling serang karakter antara Cokroaminoto dan penentangnya dalam Sareka Islam yakni Darsono, Alimin, dan Semaoen. Konflik ini melemahkan Sarekat Islam. Tiga nama tersebut selanjutnya dikenal sebagai Sarekat Islam Merah karena pemikiran mereka terlalu ke kiri. Sementara rivalnya adalah Cokroaminoto, Abdoel Moeis, Agus Salim, dan Kartosuwiryo mengarah ke kanan.