Dua Tingkat

Aku pernah jualan di gerbang belakang sisi utara Masjid Raya Baiturrahman Banda Aceh. Sekitar satu hingga dua tahun saja. Selanjutnya petugas semakin rajin melakukan penertiban. Aku ikut menjadi sasaran. Menunggu mereka cabut, pelanggan sudah sepi. Beberapa bulan begitu aku tidak punya pilihan. Kehabisan akal, aku menjajakan dagangan sambil jalan. Kutawarkan dagangan kepada setiap orang, khususnya para pedagang di pasar. Waktu itu pertama kali di Pasar Aceh. Rupanya cara begitu lebih banyak laku daripada menggelar lapak. Hari berikutnya kucoba metode menjajakan ke Pasar Peunayong. Laris manis. Selanjutnya ke Pasar Lambaro. Juga laris. Maka kutinggalkan cara lama yakni menggelar lapak, menjadi berkeliling. Dalam hal ini, aku menemukan pelajaran bahwa bila menemui hambatan dan tekanan, maka saat itulah engkau akan menjadi lebih baik.

Ketika petugas menghalangi buka lapak, aku menemukan cara berjualan yang lebih menguntungkan. Inilah yang disebut dalam penderitaan itulah terdapat kebahagiaan.

Demikian juga saat membeli rumah. Aku terpesona oleh indahnya kompleks perumahan sebagaimana kusaksikan di tivi. Aku ingin sekali punya rumah di kompleks perumahan. Indah sekali. Akhirnya aku menemukan solusi. Ada sebidang kecil tanah yang ditawarkan persis dekat sebuah kompleks perumahan. Aku yakin nanti orang-orang akan menduga bahwa rumahku juga adalah bagian dari kompleks perumahan di sampingnya. Maka terbelilah sebuah rumah yang lebih layak disebut sebuah bangunan kecil yang terletak di sebuah persimpangan. Panjang tanah dari selatan ke utara adalah sepuluh meter dan lebar lima meter. Di atas tanah itu dibangunlah sebuah bangunan. Panjangnya sembilan meter dan lebar empat meter. Di dalamnya, hanya ada tiga sisi ruangan. Paling depan ruang tamu, di tengah ruang tidur, dan di belakang adalah dapur. Kukira aku tidak punya tamu. Kalaupun ada, itupun hanya terjadi setahun sekali dan hanya untuk durasi satu jam. Untuk hanya satu jam sepanjang tahun, sangat rugi kiranya menyediakan sebuah ruang dengan kondisi rumah sangat sempit seperti itu. Maka kulakukan sebuah modifikasi. Pintu depan menghadap selatan kupindah ke dapur menghadap sisi matahari terbit. Lubang bekas pintu di depan ditambal dinding. Ruang tamu di depan kujadikan kamar tidur. Ruang tengah kujadikan ruang santai. Tetapi aku tidak puas.

Maka pada bagian atas, asbes kuganti menjadi lantai kayu. Kubangun dinding dari kayu. Jadilah rumahku dua tingkat. Di dapur kubuat tangga. Bagian atas dapur kujadikan dapur. Maka dapur yang di bawah hanya menjadi ruang penyimpanan dan tempat honda. Dapur bagian atas kubuat sangat tradisional. Memasak dengan tungku. Lantai atas, khususnya dapur lebih luas daripada bagian bawah karena satu meter lebih lebar ke barat. Sisi barat depan dapur kubuat teras hingga bagian depan; juga punya teras satu meter. Bagian dalam dapur ada akses ke ruang tengah bagian atas yang kujadikan ruang santai. Di depannya adalah ruang tidur. Jadi, dari dapur bisa mengakses teras dan ruang tengah menuju ruang tengah dan kamar atas.

Kamar tidur di atas kudesain klasik. Ranjang besi dengan tiang-tiang menyangga kelambu. Ruang santai atas ada sofa menghadap tivi yang menempel di dinding timur. Kalau makan dan mengobrol biasanya di dapur. Sebenarnya tamu sangat enak diterima di dapur. Ada makanan di sana dan tamu merasa seperti di rumah sendiri. Kami suka mengobrol di sana. Dengan anggota keluarga juga suka bersantai di dapur bagian atas yang sangat luas itu. Sisi timur samping tungku ada tikar tempat duduk. Sisi barat dekat dinding juga ada tikar tempat duduk. Enak sekali mengobrol di dapur. Minuman bisa terus ditambahkan. Makanan juga tidak putus. Kalau mau buang hajat bisa turun ke bawah. Kamar mandi di ruang taruh honda. Di bawah tangga.

Sejak ada dapur klasik di lantai dua itu, aku jadi sering-sering mengundang orang menjadi tamu di rumahku. Tamu itu, tidak diundang saja datang, apalagi diajak. Tapi harus dibatasi juga. Hanya siapa-siapa yang enak diajak bicara. Pastinya Jusmadi tidak. Karena kami bicaranya bukan cerita-cerita pengalaman pribadi, tetapi diskusi lintas wacana dan ilmu pengetahuan. Itu lebih berguna bagi kita yang hidup di dunia hanya sementara saja.

Kalau ada tamu kusuguhkan kopi. Makanan kecilnya timphan. Aku memasak menggunakan tungku. Kayu-kayu biasanya kubeli. Memasak pakai kayu kering rasa masakannya jauh lebih enak daripada pakai gas atau minyak tanah. Bahkan antar jenis kayu yang digunakan sangat menentukan rasa makanan. Tetapi itu tidak perlu terlalu dipikirkan. Punya kayu saja sudah sangat senang. Soalnya di kota barang itu langka.

Hidup di kota semuanya harus serba tertib dan penuh disiplin. Orang-orang boleh hidup sebebas-bebasnya sejauh dia tidak melanggar hukum dan mengganggu orang lain. Rupanya asap dari jendela dapur yang kubuat satu meter di atas tungku oleh tetanggaku dikatakan itu mengganggu. Tapi setahuku asap setelah ke luar langsung naik ke langit atau segera berhembus jauh. Tetapi tetangga tidak terima. Katanya itu polusi udara. Baiklah. Aku terpaksa membuat siasat dengan membangun jendela sebelah dinding dapur bagian barat. Juga tepat di atas tungku kubuat desain atap dapat mengusir asap dari dapur. Cooker hood tradisional.

Masalah asap berbuntut panjang. Maklum, belakangan lagi ngetren: masalah-masalah kecil, minta maafnya diterima. Dimaafkan. Tetapi tetap dianggap masalah besar dan terus diperpanjang. Aku dituntut atas kesalahan membuang asap ke wilayah udara orang lain. Aku dihukum harus membayar ganti rugi dan menutup lubang udara dinding sisi Barat. Tanpa lubang udara itu, meski sudah ada atap pembuang asap, ruangan dapur masih terasa pengap. Lubang dinding sisi Barat dapur atas kuperlebar.

Aku menjadi semakin rajin menerima tamu. Terutama untuk curhat masalah yang pernah kuhadapi. Aku mengutuk Jusmadi karena membela tetangga yang tidak kukenal dan telah menuntutku itu.
Sebagai pembalasan aku menuntut mereka karena membuat polusi suara. Tuntutanku tidak digubris. Tapi rupanya malah aku dituntut balik dengan tuduhan penistaan. Mereka kudoakan dapat merasakan Guantanamo. Supaya pandai membedakan antara polusi suara dengan suara kebaikan.

Baca Juga

“Pulitek” Orang Aceh: Politik Keterusterangan

Pengalaman-pengalaman serupa tentulah dapat kita temukan di berbagai kesempatan, bahwa dalam relasi sosialnya, terutama dalam dunia politik, keterusterangan merupakan tipikal dari orang Aceh.

Kisah Persahabatan di Balik Meja Kerja

Waktu terus berjalan, tetapi persahabatan dan kenangan di balik meja kerja itu tetap hidup dalam hati mereka. Meskipun jalan hidup membawa mereka ke berbagai arah, ikatan yang telah terbentuk selama bertahun-tahun tidak akan pernah hilang.

BUKAN DI TANGAN MPR

Malah, sekarang, kita lebih mengkhawatirkan kapasitas partai politik, yang lebih mengejar hasil instan elektoral dengan mengajukan pelawak sebagai calon wakil walikota.

MEKKAH YANG DEKAT

Mekkah adalah tanah impian. Semua muslim mendambakan menginjakkan kaki di sana. Dari Mekkah, tempat di mana sakralitas ibadah haji dilakukan, cerita mengenai hubungan muslim dengan Tuhan dan masyarakatnya bermula.

Menyoal Frasa Wali Keramat dalam Cerpen Ada Sepeda di Depan Mimbar

Namun, pada poin kedua, di sini, imajinasi Khairil Miswar sama sekali bertolakbelakang dengan imajinasi saya. Gambaran imajinatif sosok Teungku Malem yang dianggap wali keramat, namun dia menghasut Tauke Madi untuk tidak lagi memperkerjakan orang yang tidak salat, bukan main anehnya