Evolusi Media Wacana Pemikiran Islam

Perkembangan wacana pemikiran Islam awalnya terjadi dengan sangat bersemangat di Sumatera Barat pada akhir abad kesembilan belas. Yudi Latif menjelaskan, hal itu terjadi karena perkembangan mesin cetak yang membuat para tokoh pembaru pemikiran Islam dapat menerbitkan pikiran-pikiran mereka dalam bentuk buletin dan majalah. Kontennya tentu mengikuti corak pikiran cendikiawan modernis Muslim di sana yakni seputar pentingnya purifikasi Islam dari bid’ah dan khurafat dan pentingnya adaptasi pemikiran Islam dengan perkembangan sains dan teknologi yang sedang dikembangkan Barat. Semangat purifikasi agama tidak lepas dari kebangkitan gerakan Wahabi di Saudi. Sementara semangat adaptasi Islam dengan sains dipengaruhi oleh pemikiran modernis seperti Muhammad Abduh. Para tokoh yang terlibat antara lain Haji Rasul, Thaib Umar, dan Muhammad Salim (Yudi Latif, 2013: 166).

Gerakan pengembangan moderasi pemikiran dalam coraknya masing-masing selanjutnya terjadi di Jawa (Deliar Noer, 1996: 14-115). Mereka menggunakai berbagai jenis media untuk mensosialisasikan ide-idenya, termasuk menerbitkan media cetak. Cokroaminoto, Sukarno, Kartosuwiryo, Semaun, Ki Hajar Dewantara, dan banyak nama lainnya rutin memanfaatkan media cetak untuk mengembangkan ide-ide dan pemikiran masing-masing. Diskursus yang diwacanakan utamanya seputar nasionalisme, islamisme, dan sosialisme.

Baik yang terjadi di Sumatera Barat maupun pulau Jawa, selain mengefektifkan media cetak dengan menerbitkan pikirannya dalam bentuk tulisan yang mana itu membuat mereka menjadi penulis keren serta karya-karyanya tak lekang oleh zaman, mereka juga adalah orator ulung. Mereka harus mampu menguasai panggung dalam menyebarkan gagasan-gagasannya. Sebab itulah tokoh Islam seperti Cokroaminoto, Hamka, Kartosuwiryo, dan lainnya, memiliki kecerdasan linguistik yang tinggi, baik dalam menulis maupun beretorika. Sebab itulah, para pendahulu pembaruan pemikiran Islam adalah orator ulung yang mampu menghipnotis audiens yang memadati aula luas maupun lapangan terbuka.

Gambaran di atas sebenarnya dapat menjadi inspirasi bagi pembangunan kembali wacana pemikiran Islam yang telah luntur belakangan melalui pemanfaatan media mutakhir. Ada sangat banyak media yang tersedia dalam rangka pengembangan wacana pemikiran Islam.

Pasca kemerdekaan, ketika memasuki era baru pembaruan pemikiran Islam yang ditandai oleh presentasi Cak Nur di kantor PII Menteng Raya 58, kecerdasan mengartikulasikan gagasan dalam bentuk tulisan tetap sangat diperlukan. Pada masa itu, seminar menjadi satu media penting penyebaran gagasan pemikiran. Artikel bahan materi ditekankan untuk disiapkan oleh pemateri. Artikel-artikel itu biasanya dikumpulkan oleh penerbit dan penulis untuk diterbitkan menjadi buku. Penerbit Mizan punya jasa besar untuk itu. Mereka menerbitkan buku-buku penting tentang wacana pemikiran Islam seperti Intelektual Inteligensia karya M. Dawam Rahardjo, Menggagas Fikih Sosial karya Ali Yafie, Islam Rasional karya Harun Nasution, Paradigma Islam karya Kuntowijoyo, Islam Aktual karya Jalaluddin Rakhmat, Islam Kemodernan dan Keindonesiaan karya Cak Nur, Memahami Beberapa Aspek Ajaran Islam karya Mukti Ali, Cakrawala Islam karya Amien Rais, Membumikan Al-Qur’an karya M. Quraish Shihab, dan banyak lainnya. Buku-buku ini umumnya berangkat dari artikel-artikel yang dihimpun dari makalah yang disampaikan para penulisnya dalam seminar. Jasa Haidar Bagir dalam hal ini sangat besar.

Di samping itu, jasa penerbit Paramadina, LP3ES, Erlangga, Gramedia, dan beberapa penerbit lainnya dalam menerbitkan buku mengenai wacana pemikiran Islam patut diapresiasi. Buku-buku tersebut di atas dapat dikatakan sebagai referensi wajib bila ingin terlibat dalam wacana pemikiran Islam. Karena, memasuki sebuah wacana tidak mungkin dilakukan tanpa terlibat dengan gagasan-gagasan sebelumnya. Seperti menulis artikel jurnal mutakhir, keterlibatan dalam wacana pemikiran Islam itu harus menemukan lacuna dalam sebuah ruang dialog yang lebih luas.

Pada masa Orde Baru, seminar memang menjadi media dominan dalam penyebaran wacana pemikiran Islam. Dalam seminar, pembicara perlu memiliki intonasi yang mudah dipahami sehingga harus memiliki kejernihan pikiran dan lisan. Pembicara perlu memperhatikan pembicaraannya supaya tetap pada pembahasan terkait pokok pembicaraan. Artikel-artikel yang dibagikan panitia penyelenggara kepada peserta yang hadir adalah oleh-oleh paling berharga yang dapat ditelaah kembali dan dikoleksi.

Diskusi ilmiah biasanya dilakukan oleh kelompok muda yang terkadang menghadirkan seorang pakar dalam bidang tertentu. Tak jarang juga diskusi itu dilakukan bersama dalam suatu komunitas tanpa mengundang pemateri khusus. Salah seorang menjadi pemantik diskusi. Sebenarnya model seperti ini dapat mendorong keaktifan bersama dan membangkitkan motivasi masing-masing anggota kajian untuk meningkatkan wawasan dan pemahamannya. Forum Mahasiswa Ciputat yang disingkat Formaci merupakan salah satu forum diskusi yang paling mampu melahirkan para pemikir. Diskusi semacam ini juga suka dilakukan organisasi kepemudaan seperti PII dan HMI dalam taklim dan kajiannya. Sejarah mencatat, model diskusi demikian telah mulai dilaksanakan Cokroaminoto dirumahnya. Anggota tetap diskusi itu adalah para pemuda yang ngekos di rumahnya termasuk Sukarno.

Beberapa majalah sempat menjadi media transformasi gagasan wacana pemikiran Islam. Meskipun didirikan oleh islamis seperti Hamka, majalah Panjimas atau Panji Masyarakat kerap memuat gagasan-gagasan sekular Cak Nur. Hal ini merupakan bentuk kedewasaan intelektual masa lalu. Mereka sangat demokratis. Meskipun memiliki pandangan masing-masing, tetapi bersikap terbuka atas segala bentuk perbedaan gagasan. Kepada yang berbeda pandangan dilihat sebagai adversary, bukan enemy.

Sikap demikian antara lain terbukti dalam majalah Panjimas. Media ini benar-benar menjadi wadah wacana pemikiran keislaman lintas pemahaman. Selain Panjimas, terdapat juga majalah yang menjadi media transormasi pemikiran Islam seperti Tempo yang dulu rutin menerbitkan gagasan pemikiran Cak Nur dan lainnya (Bustamam-Ahmad, 2017:116).

Selain majalah, jurnal juga sempat menjadi media transformasi gagasan pemikiran Islam yang progresif. Jurnal Ulumul Qur’an yang dikelola M. Dawam Rahardjo menjadi salah satu media penting transformasi gagasan pemikiran Islam. Jurnal berbentuk majalah yang diterbitkan LSAF dan ICMI ini menerbitkan artikel-artikel berkualitas yag ditulis pemikiran Islam ternama seperti M. Quraish Shihab Kuntowijoyo, Azyumardi Azra, dan lainnya serta memuat artikel-artikel para pemikir pembaharu Islam seperti Mohammad Arkoun, Muhammad Baqir Sadr, Hassan Hanafi, dan lainnya.

Kemudian ada LP3ES yang dikembangan Fachry Ali menerbitkan jurnal Prisma. Jurnal tersebut membahas tentang opini, penelitian, refleksi, dan solusi atas problematika ekonomi, sosial, budaya, dan agama. Meskipun umumnya membahas tentang ekonomi dan sosial, jurnal tersebut juga sering mengangkat tema kajian pemikiran keagamaan.

Jurnal Titik Temu juga menjadi media penting dalam pengembangan wacana pemikiran Islam. Jurnal yang diterbitkan Nurcholish Madjid Society tersebut memuat kajian-kajian penting tentang moderasi pemikiran Islam dan pentingnya keterbukaan dalam beragama sehingga perlu membuka diri atas prinsip universalitas agama-agama. Di samping itu, ada jurnal Al-Hikmah yang juga menjadi media penting transformasi gagasan pemikiran Islam progresif.

Namun yang penting untuk di catat adalah, pada masa itu, jurnal tidak sama dengan sekarang yang perlu akreditasi dan indeks ini dan itu sehingga membuat artikel-artikelnya menjadi rumit dipahami masyarakat. Jurnal-jurnal sekarang juga banyak ditulis dalam bahasa asing. Sehingga hari ini jurnal menjadi elitis, segmentaris, dan hanya dikonsumsi oleh sebagian kecil insan akademik.

Koran juga tidak dapat dimungkiri punya peran besar dalam pewacanaan pemikiran Islam. Republika memiliki andil dalam menyebarkan gagasan pemikiran Islam. Sementara Kompas dan Media Indonesia juga sering menerbitkan artikel yang ditulis oleh inteligensia progresif seperti Sukidi, Ulil Absar-Abdalla, Yudi Latif, Buya Syafii Ma’arif dan lainnya.

Blog juga sangat efektif sebagai media penyebaran gagasan pemikiran Islam. Media ini efektif digunakan Jaringan Islam Liberal yang dipimpin Ulil Absar-Abdallah untuk menyebarkan gagasan-gagasan pembaruan. Beberapa lembaga Islam progresif lainnya juga kerap mengelola webstite yang menyediakan blog khusus menerbitkan berita dan opini mengenai wacana pembaruan pemikiran Islam.

Bahkan blog masih sangat efektif digunakan hingga hari ini. Pengembangan gagasan pemikiran Islam sangat mudah dilakukan melalui blog. Website seperti bagbudig.com dan normalpress sangat aktif membahas kajian pemikiran Islam. Khairil Miswar memimpin blog-blog tersebut dalam rangka akomodasi gagasan inteligensia muda dalam menyampaikan gagasan dan pemikirannya. Selain itu, Nuralwala juga menyediakan blog yang diisi para pemikir muda dalam mengaktualisasikan gagasan pemikiran Islam.

Ketika buku menjadi sarana utama pengembangan pemikiran Islam, tokoh pemikir Islam yang sangat jeli melihat peluang media tersebut untuk didayagunakan sebagai wadah penyegaran pemikiran Islam antara lain adalah Komaruddin Hidayat. Beliau menghimpun banyak tulisan dari para inteligensia muslim untuk diedit dan diterbitkan. Book chapter yang diedit Prof. Komar dapat menjadi bahan pengayaan wawasan tentang wacana pemikiran Islam karena membahas berbagai tema yang sedang menjadi problematika sosial pada masanya yang diulas dan diberikan sudut pandang solusi dan pemecahan masalah dari berbagai dimensi oleh para penulisnya.

Salah satu buku penting dalam wacana pemikiran Islam yang diedit Prof. Komaruddin Hidayat bersama Ahmad AF adalah Passing Over. Saya teringat membaca buku itu ketika di sekretariat Pengurus Daerah PII Bireuen yang waktu itu terletak di Tutu Meuria. Setiap hari saya bawa tas, isi buku tersebut, membawa kopi dimasukkan ke dalam botol yang dibuat di rumah. Fokus pembahasan buku tersebut adalah pluralisme agama. Argumen utama buku terbitan Gramedia ini adalah bahwa dalam teks suci agama, pesan universalisme agama-agama sangat kuat. Bahwasanya setiap agama itu memesankan untuk mengutamakan kemanusiaan, keadilan, kedamaian, dan persatuan. Karena sejatinya setiap agama itu mengandung pesan yang sama yakni tidak menyekutukan Tuhan, memperayai hari akhirat, dan berbuat kebaikan. Agama-agama, khususnya antara Islam, Yahudi, dan Nasrani, dimensi kesamaannya sangat banyak. Sayangnya, sejarah teologi terus-menerus berusaha fokus pada dimensi-dimensi perbedaan.

Buku lainnya yang diedit Komaruddin Hidayat dan Ahmad Gaus AF adalah ‘Islam, Negara, dan Civil Society’. Buku yang diterbitkan Paramadina pada 2005 dalam rangka mengenang kontribusi pembaruan pemikiran Islam Munawir Sjadzali tersebut fokus pada penegasan bahwa Indonesia yang berasaskan Pancasila sejalan dengan spirit Islam. Pembahasan buku tersebut antara lain menerangkan bahwa Nabi Muhammad sendiri tidak menegaskan pendirian negara Islam. Negara berbasis konstitusi agama yang dijalankan para sahabat dan generasi setelahnya merupakan hasil ijtihad. Islam sendiri sebenarnya fokus pada nilai individu. Sebab itulah, buku tersebut hendak menunjukkan bahwa stabilitas agama dan negara hanya akan terlaksana apabila gerakan Islam fokus pada dimensi kultural masyarakat sipil.

Buku keren lainnya yang patut menjadi rujukan utama dalam memasuki wacana pemikiran Islam di Indonesia adalah ‘Menjadi Indonesia’. Saya sangat terkesan dengan buku tersebut. Waktu menjadi pengurus wilayah PII Aceh, saya pernah ke Jakarta. Itu tahun 2007. Waktu luang saya manfaatkan untuk ke Perpustakaan Universitas Indonesia. Waktu itu perpustakaannya di gedung berlantai dua. Bangunan dan dekorasinya sangat istimewa. Di sana saya menemukan buku yang juga diedit Komaruddin Hidayat dan Ahmad Gaus AF itu. Saya membaca buku terbitan Mizan pada 2006 itu dari pagi sampai sore. Sangat menikmati. Buku yang ditulis bersama oleh para pemikir hebat sangat banyak manfaatnya. Karena menawarkan pembahasan dari berbagai perspektif.

Buku ‘Menjadi Indonesia’ fokus pada sepakterjang peran nilai-nilai keislaman dalam membangun Indonesia sejak tiga belas abad lampau. Islam telah berhasil memberikan kontribusi besar dalam membangun mental dan membentuk karakter masyarakat Indonesia yang majemuk. Tidak dapat dimungkiri, Islam yang bersifat universal telah berhasil menyatukan masyarakat Nusantara yang terdiri dari beragam etnis.

Selain Komaruddin Hidayat dan Ahmad Gaus AF, Budhy Munawar Rachman juga memiliki andil besar dalam menyosialisasikan gagasan pemikiran Islam progresif dalam bentuk buku. Di antaranya adalah buku Kontekstualisasi Doktrin dalam Sejarah Islam. Buku terbitan Paramadina itu memuat tulisan Cak Nur, Harun Nasution, Jalaluddin Rakhmat, Komaruddin Hidayat, dan lainnya.

Buku Islam dan Kebhinekaan yang diterbitkan beberapa tahun lalu juga punya kualitas penting dalam wacana pemikiran Islam. Buku tersebut diawali dengan artikel panjang dari Alwi Shihab. Selanjutnya melibatkan banyak artikel pemikir keislaman lainnya. Sepertinya buku tersebut diterbitkan Gramedia pada 2018. Kalau tidak salah ingat, saya membelinya di Gramedia Medan pada 2019.

Perjuangan Komaruddin Hidayat dalam membangkitkan progresivitas wacana pemikiran Islam tidak sampai di situ. Seperti Cokroaminoto yang cerdas dalam memanfaatkan berbagai media sebagai sarana menyebarkan pencerahan, Komaruddin Hidayat juga efektif dalam memanfaatkan berbagai jenis media sesuai perkembangan zamannya.

Media televisi juga pernah menjadi sarana Komaruddin Hidayat menyebarkan wacana pemikiran Islam. Kalau tidak salah, Prof. Komar mengisi program acara The Great Lecturer yang ditayangkan Metro TV. Acara tersebut menghadirkan para pakar kajian keislaman yang membahas berbagai tema menurut keahlian masing-masing. Ada kajian tentang tafsir, sejarah, hadis, fikih, dan sebagainya.

Sosial media Facebook juga tidak luput dari pendayagunaan Komaruddin Hidayat dalam mengembangkan wacana pemikiran Islam. Melalui lifestreaming di rumahnya, Prof. Komar mengundang para pakar untuk berdiskusi seputar wacana pemikiran Islam.
Berikutnya datang pandemi yang menyebabkan orang-orang tidak bisa bebas berinteraksi secara langsung. Rupanya Komaruddin Hidayat Memanfaatkan media Zoom Webinar untuk mendiskusikan wacana pemikiran Islam. Prof. Komar dengan program Caknurian Urban Sufism mengundang para pakar dari lintas disiplin keilmuan untuk membahas problematika politik, sosial, sains, keagamaan, spiritualitas, dan sebagainya untuk berbicara sesuai keahlian masing-masing.

Melalui media Zoom, ternyata tantangan pembatasan interksi langsung menyediakan ruang daring yang dapat dimanfaatkan menjadi peluang. Bayangkan sebelumnya orang harus bersusah payah untuk datang ke sebuah forum diskusi. Via Zoom, semuanya tinggal klik link, dan diskusi pun dapat diikuti. Dulunya para pembicara terkadang harus diundang dari tempat yang jauh di luar Jabodetabek, via Zoom, para pembicara lintas pulau bisa dengan mudah menyampaikan materi hanya dengan berada di rumah saja.

Selain Caknurian Urban Sufism, via Zoom, pembahasan wacana pemikiran Islam juga sering dilakukan Budhy Munawar-Rachman melalui berbagai forum kajian. Terbaru adalah program Kader Pemikiran Islam yang merupakan kegiatan bertujuan kaderisasi generasi muda guna menghidupkan kembali wacana pemikiran Islam.

Instagram juga tidak luput dari sasaran cendikiawan dalam menyosialisasikan gagasan pemikiran Islam. Hal yang paling diingat adalah program-program yang dilakukan Nurcholish Madjid Society melalui akun resmi instagramnya. Dengan dipandu Fachrurrozi, siaran Instagram tersebut diisi oleh inteligensia muda dengan mendiskusikan tema-tema nasionalisme, multikulturalisme, dan harmonisme beragama.

Dengan demikian, sangat banyak media yang dapat didayagunakan untuk menyebarkan gagasan pemikiran Islam progresif. Siapa saja dapat berkontribusi untuk menyampaikan gagasannya melalui media-media seperti Youtube, Facebook, Instagram, blog, bahkan Tik Tok. Ya, Tik Tok. Belakangan saya pernah melihat Tik Tok digunakan sebagai media mereview buku, gagasan, pemikiran, dan sebagainya.

Baca Juga

“Pulitek” Orang Aceh: Politik Keterusterangan

Pengalaman-pengalaman serupa tentulah dapat kita temukan di berbagai kesempatan, bahwa dalam relasi sosialnya, terutama dalam dunia politik, keterusterangan merupakan tipikal dari orang Aceh.

Kisah Persahabatan di Balik Meja Kerja

Waktu terus berjalan, tetapi persahabatan dan kenangan di balik meja kerja itu tetap hidup dalam hati mereka. Meskipun jalan hidup membawa mereka ke berbagai arah, ikatan yang telah terbentuk selama bertahun-tahun tidak akan pernah hilang.

BUKAN DI TANGAN MPR

Malah, sekarang, kita lebih mengkhawatirkan kapasitas partai politik, yang lebih mengejar hasil instan elektoral dengan mengajukan pelawak sebagai calon wakil walikota.

MEKKAH YANG DEKAT

Mekkah adalah tanah impian. Semua muslim mendambakan menginjakkan kaki di sana. Dari Mekkah, tempat di mana sakralitas ibadah haji dilakukan, cerita mengenai hubungan muslim dengan Tuhan dan masyarakatnya bermula.

Menyoal Frasa Wali Keramat dalam Cerpen Ada Sepeda di Depan Mimbar

Namun, pada poin kedua, di sini, imajinasi Khairil Miswar sama sekali bertolakbelakang dengan imajinasi saya. Gambaran imajinatif sosok Teungku Malem yang dianggap wali keramat, namun dia menghasut Tauke Madi untuk tidak lagi memperkerjakan orang yang tidak salat, bukan main anehnya