Fenomena Quotes Gadungan

Belakangan benyak tersebar flayer yang berisi satu atau dua kalimat dan dianggap quotes di media sosial. Pemilik ”quotes” menulisnya sendiri satu atau dua kalimat. Kemudian menyebarkannya sendiri di media sosial. Ini adalah fenomena baru.
Sebelumnya, quotes diambil orang dari karya-karya pemikir besar seperti Plato, Aristoteles, Abu Hamid Al-Ghazali, Immmanuel Kant, Jalaluddin Rumi, dan lainnya.

Quotes secara umum juga bisa ditemukan di lembaran paling bawah teka-teki silang. Meskipun kita tidak sempat membacanya karena sedang sibuk memikirkan isi kolom TTS. Itu sebenarnya adalah kalimat-kalimat bijak yang bermakna bagi kehidupan.

Quotes adalah kutipan kalimat bijak dari karya pemikir besar. Karena merupakan sebuah kutipan, maka yang mengutip tentu saja bukan pemilik apa yang dikutip. Jadi, ”quotes” yang berkembang belakangan ini, bukanlah quotes. Karena dia tidak dikutip dari sumber tententu, melainkan diketik sendiri, didesain sendiri, disebarkan sendiri, dan dikagumi sendiri. Kalau tetap dianggap quotes, itu adalah quotes gadungan.

Fenomena quotes gadungan petanda ingin tenar tetapi malas bekerja keras. Pencitraan instan. Malas bekerja keras dengan membaca, mengkaji, dan mengritisi buku-buku tebal dan berkualitas. Malas menulis pikiran secara jelas dan terperinci.

Fenomena orang-orang yang membuat sendiri “quotes”nya, mengingatkan saya kepada modernis. Mereka ketika ingin jadi alim, langsung beli gamis putih, lobe putih, ridak hijau. Tidak ketinggalan tasbih. Bekal pengetahuan agama cukup dari medsos. Setelah itu langsung menyerukan kepada orang bahwa dia adalah seorang ulama.

Bandingkan dengan quotes dari pemikir besar. Itu diambil dari ribuan halaman buku yang mereka tulis. Itu seperti ulama beneran. Mereka belajar agama kepada guru muktabar secara sistematis, mulai dari kitab paling mendasar, hingga seterusnya. Prosesnya berlangsung puluhan tahun.

Quotes itu semestinya adalah kata-kata atau kalimat bijak. Makna suatu kalimat itu, bijak atau tidak, bukan penulisnya sendiri yang menilai dan menentukan, tetapi orang lain. Sebab itulah, quotes haruslah kalimat yang dikutip orang lain karena pelaku kutipan menganggap kalimat yang dikutip itu adalah kalimat yang mengandung kebijaksanaan. Kalau menulis sendiri, itu bukan kutipan. Diri sendiri juga tidak berhak mengatakan yang kita kutip dari tulisan kita sendiri itu adalah kalimat yang bijak.

Orang-orang yang suka membuat ”quotes” sendiri, posting sendiri, like sendiri, dan seterusnya, berarti menganggap apa yang dia tulis itu adalah kata-kata yang bijak. Bayangkan. Mereka mengklaim sendiri apa yang ditulis itu adalah kalimat yang bijak.

Padahal sebuah kutipan, bila tidak bijak, bukan quotes namanya, tapi kriteria meme saja tidak terpenuhi. Kalau membuat sendiri ”quotes”, jangan-jangan apa yang kita kira adalah kata-kata bijak, jangan-jangan tidak lebih baik daripada meme. Kadang-kadang, ”quotes” yang ditulis sendiri, isinya tidak lebih baik dari banyak meme yang bisa ditemukan di punggung truk dan labi-labi.

Baca Juga

“Pulitek” Orang Aceh: Politik Keterusterangan

Pengalaman-pengalaman serupa tentulah dapat kita temukan di berbagai kesempatan, bahwa dalam relasi sosialnya, terutama dalam dunia politik, keterusterangan merupakan tipikal dari orang Aceh.

Kisah Persahabatan di Balik Meja Kerja

Waktu terus berjalan, tetapi persahabatan dan kenangan di balik meja kerja itu tetap hidup dalam hati mereka. Meskipun jalan hidup membawa mereka ke berbagai arah, ikatan yang telah terbentuk selama bertahun-tahun tidak akan pernah hilang.

BUKAN DI TANGAN MPR

Malah, sekarang, kita lebih mengkhawatirkan kapasitas partai politik, yang lebih mengejar hasil instan elektoral dengan mengajukan pelawak sebagai calon wakil walikota.

MEKKAH YANG DEKAT

Mekkah adalah tanah impian. Semua muslim mendambakan menginjakkan kaki di sana. Dari Mekkah, tempat di mana sakralitas ibadah haji dilakukan, cerita mengenai hubungan muslim dengan Tuhan dan masyarakatnya bermula.

Menyoal Frasa Wali Keramat dalam Cerpen Ada Sepeda di Depan Mimbar

Namun, pada poin kedua, di sini, imajinasi Khairil Miswar sama sekali bertolakbelakang dengan imajinasi saya. Gambaran imajinatif sosok Teungku Malem yang dianggap wali keramat, namun dia menghasut Tauke Madi untuk tidak lagi memperkerjakan orang yang tidak salat, bukan main anehnya