Fida

Karena hanya sambilan saja supaya tidak terlalu suntuk di kost, aku memilih berjualan sapu tangan, masker, dan beberapa jenis lainnya yang biasanya dibutuhkan para pejalan kaki yang setiap hari hilir mudik di hadapanku, melintasi pasar kecil dekat sebuah stasiun kereta api. Pasar ini sebenarnya tidak terlalu ramai pembeli. Yang terlihat ramai hanya orang-orang yang melintasi pasar menuju stasiun. sebab itulah, para pedagang, yang hanya terdiri dari beberapa kios kecil saja, sering bersitegang sesama mereka. Sebenarnya sumber perkelahian mereka adalah karena frustasi, bukan persaingan. Buktinya tidak ada di antara mereka yang berjualan jenis dagangan yang sama.

Posisiku sendiri agak jauh dari sebuah sudut tempat kios-kios itu. Aku mangkal tepat di sisi sebuah tembok besar. Di depan tembok itu ada sebuah jalan dua jalur. Jalan itu mentok dengan tembok sehingga yang dari jalan itu harus belok kanan menuju jalan utama, atau belok kiri, melintasi rel dua jalur menuju sebuah jalan kecil ke arah pemukiman.

Dari arah jalan raya, setiap sekitar jam dua belas siang, selalu aku melihat seorang pria kurus, tinggi, potongan rambut sangat pendek hampir botak, bercelana jins dan hampir selalu mengenakan kaus oblong putih.

Dia selalu datang dengan sepeda BMX putih yang sepatutnya hanya untuk anak-anak tetapi penyangga sadelnya ditinggikan. Melintas di depanku. Dia ke salah satu warung yang tidak jauh di depanku, di sudut pertigaan sebelah kananku. Warung itu adalah warung nasi Padang. Tapi aku tahu pemilik hingga pelayannya adalah orang Jawa. Memang tidak ditulis secara eksplisit.

Yang mengesankan warung itu adalah warung nasi padang adalah nama warungnya yang ditulis dengan karakter berbentuk atap rumah gadang. Warung itu juga kerap memutar lagu-lagu Padang.

Jauh, jauh rantau denai pajauh
Jalang, jalang indak ka denai jalang

Tetapi mereka tidak dapat menyembunyikan cita rasa masakan khasnya. Sambalnya tidak pernah pedas. Selalu manis. Itu sesuai dengan selera lidahku. Terkadang juga aku makan di warung itu. Kemudian menjadi semakin sering. Alasannya segera kukabarkan.

Satu hari ada sebuah bus metromini melaju kencang dari hadapanku. Angkutan umum sebenarnya sangat jarang melintasi jalan dua jalur di depan tembok dekat stasiun. Tentunya aku dapat menduga bus itu baru saja menjemput rombongan. Biasanya rombongan itu adalah ibu-ibu Tionghoa yang pergi beribadat atau kunjungan wisata.

Sebenarnya jalan di hadapanku itu adalah jalan kompleks perumahan berbentuk ruko, meskipun lantai bawahnya tidak digunakan untuk toko, yang banyak dihuni etnis Tionghoa.

Bus yang melaju kencang itu tidak terlalu membuatku panik. Karena aku berdiri dan menggelar dagangan tepat di arah jalan masuk. Jadi kalau pun mobil itu remnya blong, tidak akan menghantamku. Kecuali kalau bus itu naik ke atas taman pembatas jalan yang lebarnya dua meter itu. Sepertinya tidak. Ada beberapa tiang lampu jalan yang akan menghalangi. Tetapi sesuatu di luar dugaan terjadi. Bus itu malah masuk ke tempat putar balik dan terus melaju ke arahku. Aku jadi gemetar. Apa yang harus kulakukan?

Melompat setinggi mungkin hingga bus itu hanya akan menghantam dinding tepat di belakangku? Tidak mungkin. Bus itu terlalu tinggi.

Tiba-tiba pandanganku terarah pada sebuah sepeda BMX putih dikendarai pria kurus berkaus putih. Tidak seperti biasanya hanya melintasiku menuju warung nasi, kini sepeda itu mengarah kepadaku. Dia mendayung sangat santai dan tiba-tiba sudah berada hadapan barang daganganku.

Dia menyapa dengan cara yang sangat sederhana, seperti sudah kenal beberapa lama, seperti sudah beberapa kali berbincang-bincang.

“Barang-barang ambil di mana, Bro?”

Dari aksen pertanyaan, aku tahu dia tidak benar-benar ingin tahu jawabannya tetapi hanya sekadar basa-basi.

Aku sempat melirik bus yang akan menabrakku dan ternyata sudah berhenti dan sengaja melawan arus untuk menurunkan penumpang untuk ditransitkan ke bus lain yang sama-sama metromini. Rupanya ada dua bus di hadapan kami. Berlawanan arah. Ibu-ibu Tionghoa sedang berduyun-duyun pindah ke ke bus yang arahnya membelakangi kami.

“Tanah Abang,” jawabku.

Kami berbincang-bincang lama, hampir satu jam. Lalu dia mengajakku bersama ke warung nasi. Cacing-cacing di dalam perutku tidak bisa menolak. Dari sana aku tahu dia adalah pemilik sebuah gelaran lapak luas di jalan utama tidak jauh dari stasiun. Selain sebagai pedagang sukses, dia telah dua tahun belakangan berperan ganda sebagai agen dan distributor pakaian.

Pria itu bernama Fida. Pastinya Fida adalah manusia yang ambigu. Semua tentang dia ambigu. Namanya ambigu. Orang akan sulit membedakan dia adalah laki-laki atau perempuan. Selain berperan ganda dalam pekerjaan, dia juga berperan ganda dalam urusan seksual. Itu kuceritakan nanti.

Seperti biasa di warung nasi, sambil menikmati hidangan, aku menikmati lagu Padang. Fida makan tanpa suara. Dia sangat fokus pada hidangan yang disajikan perempuan muda, putih, tapi agak gemuk itu.

Lagu Padang terus menggema mengisi ruangan dan mampu menghidupkan suasana sebuah warung makan yang biasanya sangat senyap.

Caliak lagak urang kini
Antah apo lah namonyo
Lah malang nan gadih gadih
Tiok diawai tiok bapunyo…

Sementara Fida sedang sangat khusyuk makan, aku sendiri beberapa kali sempat melirik perempuan lainnya yang kuduga partner-nya perempuan agak gemuk tadi. Perempuan ini parasnya lebih cantik, lebih kurus, lebih tinggi, lebih putih, punya lesung pipi, dan pesonanya menunjukkan dia adalah seorang perempuan yang sangat berwibawa.

Selesai makan, aku dan Fida berbincang sejenak lagi. Fida adalah laki-laki yang sangat cool, pendiam, dan berwibawa. Seperti Edward Cullen. Aku ingin sekali punya sikap cool seperti dia.

Kata Fida, beberapa hari ke depan dia ke luar kota. Kami berpisah setelah Fida membayar semua pesanan kami. Secara bersamaan kami meninggalkan warung. Aku kembali ke lapak jualan. Tidak sabar ingin segera besok siang kembali. Aku ingin kembali ke warung nasi itu. Ada sesuatu di sana yang membuatku ingin segera kembali ke sana.

Pulang ke kost, aku terus-menerus mengingat perempuan itu. Bukan yang lebih gemuk, tetapi yang lebih cantik, lebih kurus, lebih tinggi, lebih putih, punya lesing pipi, lebih panjang dan lebih lurus rambutnya.

Aku harus tidur. Tapi tidak bisa. Aku tidak sabar menunggu besok siang. Aku berpikir kalau saja aku cepat tidur, pagi akan cepat datang. Aku coba tidur tapi tak bisa. Aku terus berjuang untuk tidur, tapi selalu gagal. Menjelang subuh baru aku bisa tidur.

Aku bangun telat. Hampir jam sepuluh baru tiba di lokasi jualan. Biasanya kalau sudah jam sembilan di rumah, aku batal berangkat jualan. Tapi hari ini misiku bukan jualan. Dan kalau kuingat-ingat, hampir setiap hari motivasi sebenarnya bukan murni untuk jualan. Ada saja. Tapi hari ini misinya sangat jelas. Terang-benderang. Misiku adalah makan siang.

Tidak lama lagi jam sebelas. Jualan baru laku satu. Itu sudah sangat lumayan. Karena barang-barang itu larisnya pagi dan sore. Jadwal padat kereta. Orang-orang pergi dan pulang.

Sedikit lagi setengah dua belas, aku segera ke warung itu. Lagu Padang berdendang. Aku pesan nasi. Aku pura-pura sangat lapar, makan dengan cepat. Dua perempuan muda itu, aku yakin, sering mencuri pandang ke arahku. Aku tahu di Jakarta ini aku sangat tampan. Jadi aku maklumi itu.

Habis makan aku meneguk air putih yang disediakan. Aku mencoba membuka percakapan. Lagu Padang terus menggema.

Singkek alah diuleh, sayuik alah disambuang, tiok dijuluak tak sampai juo…
Antah bilo ka lareh, buah masak diujuang, Ranting taraso tinggi juo…
Batang nan tumbuah di tanah lereang, tiok nan jatuah ka parak urang…
Panek diawak kayo diurang, raso dikito bilo kasanang….

“Warteg dengan lagu Padang,” bunyi mulutku. Kedua gadis itu saling menatap sambil tersenyum. Lalu keduanya saling tertawa kecil.

“Bagi saya ini adalah warung Padang,” kataku.

Keduanya tersipu. Kepada lebih cantik, lebih kurus, lebih tinggi, lebih putih, punya lesing pipi, lebih panjang dan lebih lurus rambutnya, kebetulan lebih dekat posisi duduknya denganku, kutanya, “Apa judul lagu ini?” Keduanya saling menatap. Salah satu di antara mereka menyebutkan judulnya. Aku membuka layar androidku dan mengunduh lagu itu. Saat lagu itu hampir selesai terunduh, terdengar seorang perempuan tua berteriak-teriak ke arah warung makan. Kedua perempuan muda di sampingku ketakutan. Waktu itu aku belum benar-benar paham apa kasusnya. Sepintas kutangkap masalahnya adalah tentang pembagian warisan. Karena terlalu sering di pasar, aku paham penyebab klasik pertengkaran di pasar. Tetapi masalah warisan adalah kasus pertengkaran baru di pasar.

Perempuan itu berteriak bukan menjadi alasan aku bangkit dan menghampirinya. Tetapi dua perempuan cantik di sampingku yang wajah mereka semakin pucat adalah satu-satunya alasan aku bangkit. Aku memang suka membuat sensasi di depan perempuan cantik.

Aku menghampiri perempuan tua yang berteriak itu. Jarak aku dan perempuan tua yang terus mengomel itu sekitar dua meter. Aku tidak melihat ke arahnya. Aku menghadap orang-orang yang berkumpul untuk melihat apa yang terjadi. Mungkin suaraku dua kali lebih keras daripada perempuan tua yang sedang merepet itu.

Aku berteriak tentang peringatan Nabi bahwa ilmu yang pertama-tama dicabut dari manusia adalah ilmu faraid sehingga manusia akhir zaman akan terus-menerus bertengkar soal warisan yang itu membuat kehormatan mereka hilang.

Aku terus berteriak tentang bagaimana sistem kapitalisme membuat manusia bekerja seperti sapi perah. Kukatakan banyak kampus dibuka, tetapi pengangguran semakin parah. Kuteruskan tentang zionisme, pragmatisme, Inferno Dante, Kapitalisme Fukuyama, Globalasi Martin Wolf, pendidikan ideal Laskar Pelangi, Momo Michael Ende, Totto Chan, dan bumi adalah perempuan tua yang yang terus-menerus bersolek sehingga mampu membuat manusia semakin tertarik kepadanya dan melupakan Tuhan.

Aku terus berteriak hingga tak sempat melirik bagaimana orang-orang terkagum-kagum dengan “orasi” singkatku. Kulirik ke arah perempuan tua itu. Ternyata dia sudah lenyak entah ke mana. Memang sejak aku berteriak, aku tak dapat lagi mendengar ocehannya. Aku tidak tahu kapan dia berhenti. Mungkin dia berhenti karena menganggap aku orang gila.
Orang-orang tertawa. Salah satu menghampiri menepuk pundakku menyampaikan kekagumannya. Salah seorang membisikkan, “Perempuan tua itu memang layak diperlakukan demikian”.

Aku menduga tindakan perempuan tua tadi bukan pertama kali. Dengan penuh rasa bangga aku kembali ke warung nasi. Berkat aksi itu, aku dapat mengobrol dengan dua perempuan penjaga warung. Ternyata salah satu di antara mereka sudah janda. Tapi tak apa. Karena yang sudah janda bukan yang lebih cantik, lebih kurus, lebih tinggi, lebih putih, punya lesing pipi, lebih panjang dan lebih lurus rambutnya.

Mereka menceritakan panjang lebar tentang akar pertengkaran mereka dengan perempuan tua yang merepet tadi. Perempuan tua itu adalah adik tiri ayahnya gadis yang lebih cantik, lebih kurus, lebih tinggi, lebih putih, punya lesing pipi, lebih panjang dan lebih lurus rambutnya.

Asalnya warung itu adalah milik ayahnya. Dulu warung dikelola oleh seorang pria Padang. Tetapi ayahnya sudah meninggal dengan mewariskan utang pada adik perempuannya yakni perempuan tua yang merepet tadi. Perempuan tua itu tidak punya bukti piutang. Surat tanah mereka juga tidak ada.

“Kami berusaha bertahan sebisanya.” Aku tidak terlalu peduli dengan akar masalah mereka. Aku hanya pura-pura simpati saja saat mereka bercerita.

Dari cerita itu aku mengetahui bahwa si janda itu ternyata hanya pekerja di warung itu. Tapi dia sudah sejak lama. Sejak ayahnya perempuan lebih cantik, lebih kurus, lebih tinggi, lebih putih, punya lesing pipi, lebih panjang dan lebih lurus rambutnya masih hidup.

Karena sudah agak akrab, aku berani meminta nomor hape. Dari WAan hubungan kami semakin akrab. Perempuan yang lebih cantik, lebih kurus, lebih tinggi, lebih putih, punya lesing pipit, lebih panjang dan lebih lurus rambutnya bernama Rosmiati. Tetapi karena tinggal di Jakarta, dia dipanggil Ria. Rekannya bernama Santi. Nama aslinya Surianti.

Beberapa hari berikutnya aku ke warung nasi bersama Fida. Hubunganku sudah begitu akrab dengan Ria. Saat jumpa darat, aku tidak mau berlebihan dengan Ria. Aku tidak perlu memperlihatkan itu kepada Fida.

Setelah makan kami berbincang-bincang. Santi memberitahukan mereka tutup hari Minggu. Ada syukuran kecil-kecilan di rumah. Aku dan Fida diundang.

“Kalian bisa datang sejak Sabtu malam untuk bantu-bantu,” ucap Ria langsung menatap Santi untuk memastikan kemungkinan ucapannya. “Iya. Soalnya kami butuh laki-laki untuk bantu-bantu,” Santi menambahkan.

Aku senang sekali dengan tawaran itu. Tidak sabar menunggu hari Sabtu. Sejak Jumat aku tidak jualan. Untuk menciptakan kesan sensasional pada Sabtu malam. Wajah pucat habis jualan akan mengganggu penampilanku. Jadi aku perlu menghindari matahari selama dua hari.

Aku memakai setelan terbaikku. Fida biasa-biasa saja. Hanya pakai kaus putih Cap Angsa. Alas kakinya Swallow saja. Aku curiga tapi terpesona dengan gayanya. Kupastikan kepadanya. Ternyata benar dugaanku. Fida sudah menikah. Istrinya di kampung. Di sebuah pelosok utara pulau Sumatera. Daerahku dekat dengan daerah Fida. Pantas saja dia biasa-biasa saja bertamu pertama kali dengan lawan jenis. Aku mengharapkan Fida bersedia dengan Santi. Ria buatku. Aku yakin itu. Sebuah ekspektasi normal. Tetapi ternyata alam berkata lain.

Kami tiba di hadapan pintu. Tidak ada orang kecuali tuan rumah. Tidak tampak seperti besok akan ada acara. Kecuali Ria dan Santi sedang menggunting dan melipat serbet. Itu pun bisa jadi untuk persiapan di warung. Terbesit di pikiranku mereka menipu. Kuduga besok tidak ada acara apa-apa. Apa itu hanya alasan mereka saja biar kami ke rumahnya?

Kami dipersilakan masuk. Dua gelas teh hangat dan beberapa potong roti sudah tersedia. Fida membuka pembicaraan. Sementara dua perempuan itu sibuk melipat serbet saja.
“Jadi mau ada acara apa kalian?” tanya Fida.

Dua perempuan itu hanya senyum saja. Ria tersenyum kepada Santi. Memberi isyarat untuk menjawab.

“Sudah, pokoknya kalian besok datang saja,” Jawab Santi santai.

Sedang asyik bicara, seorang laki-laki berwajah tampan, badan kekar melintas dari dapur ke kamar belakang. Ada dua kamar di rumah itu. Aku penasaran siapa laki-laki itu.
“Itu abangnya Ria,” kata Santi, “Namanya Beni”.

Aku langsung curiga itu adalah nama Jakartanya saja. Lalu laki-laki bertubuh kekar itu keluar. Dia memberikan senyum manis. Dari cara Beni tersenyum aku sempat hampir curiga. Setelah dia menyapa kami dan bercakap-cakap, dugaanku benar. Beni itu beda.

Aku sangat benci dengan laki-laki berkelainan. Aku geli. Tetapi ada beberapa hal yang membuatku merasa lebih nyaman dalam kondisi ini.

Hanya tiga orang yang tinggal di rumah ini. Tidak ada yang benar-benar laki-laki. Aku berasumsi bisa sering sering ke rumah ini untuk menemui Ria. Beni tentu tidak akan keberatan karena aku laki-laki. Dalam perhitungan kasarku, Beni juga adalah perempuan. Jadi ada tiga perempuan di rumah ini. Hanya perempuan. Tentunya Beni akan suka dengan kehadiranku. Aku kan laki-laki. Setidaknya orang tuaku dulu memaksa harus begitu.

Hal yang lebih membuatku beruntung adalah kehadiran Fida. Dia ternyata sangat akrab dengan Beni. Malam itu mereka bercakap-cakap lama. Ternyata Beni adalah agen kain bahan yang dikirim dari Bandung. Fida dan Beni berencana bekerja sama. Fida ingin melebarkan usahanya dengan memproduksi sendiri baju kaus.

Sebulan berselang aku terlibat dengan bisnis itu. Aku menjadi banyak berjualan kaus. Banyak warnanya. Kaus polos. Harganya bisa dijual sangat murah.

Aku menjadi sangat sering di rumah Ria. Kami menjadi sangat akrab. Kuharap Fida tidak akan pernah tahu hubunganku dengan Ria.

Pada suatu hari aku menemukan Fida bersama Beni sedang dekat-dekatan. Mereka tidak sempat melihatku. Aku putar balik. Kembali ke tempat jualan. Hari berikutnya kukatakan pada Ria, sepertinya Fida dan Beni punya hubungan khusus. Awalnya Ria pura-pura kaget. Tetapi akhirnya dia mengaku telah lama mengetahui hubungan mereka. “Awalnya aku berang. Tetapi lama-lama mencoba memaklumi mereka. Beni punya kelainan orientasi sejak kecil.

“Orangtua kami telah berusaha keras. Tetapi gagal.”

Awalnya aku punya niat untuk menjadikan hubunganku dengan Ria jadi semakin serius. Mungkin itu bisa mengobati penyakit kelainan orientasi yang sebenarnya juga kualami. Tetapi mengetahui abangnya punya kelainan orientasi seksual, aku menjadi ragu. Kalau jadi menikah dengan Ria umpamanya, maka tentu aku tidak bisa menghindari kakaknya itu.

Penyakit disorientasiku bisa semakin kambuh. Aku juga tidak ingin menyakiti Fida.
Namun aku memaksakan diri untuk semakin dekat dengan Ria. Sayangnya, suatu hari kutemukan Ria dan Sinta sedang melakukan sesuatu yang menunjukkan mereka juga kelainan orientasi.

Ilustrasi: telusuri.id

Baca Juga

Maharaja

“Bila sedang berada di puncak gunung, buatlah suara-suara yang merdu. Karena semua teriakan akan kembali padamu.” (Jalaluddin Rumi) Saya baru saja menonton film Maharaja yang

Sekuler

Beberapa hari lalu ada kuliah umum. Pembicaranya adalah seorang guru besar. Banyak wawasan baru yang didapatkan dari menyimak kuliah umum itu. Di antaranya adalah mengenai

Kamis Kedua Terakhir (Bagian Pertama)

  Saat duduk di teras depan rumahnya, Apa Cantoi mengenang hari lebaran yang telah lewat beberapa hari lalu. Dia ingin sekali kembali pada hari-hari yang

“Pulitek” Orang Aceh: Politik Keterusterangan

Pengalaman-pengalaman serupa tentulah dapat kita temukan di berbagai kesempatan, bahwa dalam relasi sosialnya, terutama dalam dunia politik, keterusterangan merupakan tipikal dari orang Aceh.

Kisah Persahabatan di Balik Meja Kerja

Waktu terus berjalan, tetapi persahabatan dan kenangan di balik meja kerja itu tetap hidup dalam hati mereka. Meskipun jalan hidup membawa mereka ke berbagai arah, ikatan yang telah terbentuk selama bertahun-tahun tidak akan pernah hilang.