Fortuner Offroad

Aku membeli sebuah Toyota Fortuner 2011 dan memodifikasinya dengan sangat unik. Semua yang melihat pasti terkesima. Bannya besar dan pernya tinggi. Bannya seperti traktor punya. Tetapi penampilanku masih seperti biasa saja.
Tidak ada yang bisa menyangka pria gondrong hitam kurus dekil celana training lusuh dan baju kaos koyak adalah pemilik Fortuner offroad. Penampilanku yang seperti ini terkadang membuatku jengkel dengan manusia-manusia. Disapa saja reaksinya malah seperti baru melihat pencuri.

Kan, tidak mungkin aku harus memberitahukan, “Saya punya Fortuner offroad, balas senyum saya, donk.”
Parahnya lagi, kalau aku ke toko sering dicuekin. Pernah ada yang mengangkat tangan minta maaf. Apakah aku harus memarkir Fortuner offroadku di depan tokonya dan menunggu sampai dia benar-benar memperhatikan siapa yang akan turun, barulah pelayanannya kepadaku menjadi baik?

Pernah ada penjual nasi baru buka rak di warung kopi tempat aku biasa nongkrong. Aku pesan nasi, tidak dilayani. Sayang sekali dia tidak tahu Fortuner offroad yang parkir di depan warung kopi itu adalah punyaku. Terpaksa aku membeli nasi di tempat lain dan makan di warung kopi lagganan itu.

Tetapi terkadang kondisi lusuh seperti gembel sering bermanfaat bagiku. Saat aku berjalan menuju Fortuner offroadku, tidak ada yang mengira akulah yang akan naik ke mobil itu. Tukang parkir juga tidak menyangka. Jadi dia tidak bersiap-siap mencegat. Aku bisa langsung tancap gas. Dua ribu rupiah selamat. Jangan sepele dua ribu. Sehari dua puluh kali berhenti sudah berapa.

Namun penampilanku tidak dianjurkan untuk ditiru. Akan sangat merugikan dan amat menyusahkan hidup. Bahkan aku pernah dikira teroris. Tidak tahu juga sejak kapan teroris pakai sandal jepit, telana training lusuh, dan baju kaos koyak.
Tetapi ada seorang pria usia sekitar lima puluh, sangat tahu Fortuner offroad yang sedang parkir itu adalah mobilku. Padahal posisiku dengan mobil kebangganku berjarak agak jauh. Dia memandangi mobilku dengan emosi penuh kekaguman. Sesekali melihat ke arahku dengan mimik wajah seolah berkata, “Mobilmu sangat luar bisa”. Tetapi uniknya entah kenapa, air wajahnya menunjukkan kepadaku bahwa dia berkata, “Mobilmu luar biasa, aku bangga padamu yang memilikinya”. Aneh sekali. Padahal aku bukan siapa-siapa dia.

Padahal di Kompleks Westview, saat hendak pulang atau pergi, bila kebetulan bertemu beberapa penghuni Westview lainnya yang kebetulan di pinggir jalan, saat aku sapa dan tegur, sulit sekali mereka membalas sapaan. Biasanya saat kusapa, malah melihat aku dengan raut wajah seolah berkata, “Siapa loe nyapa-nyapa gua,” sambil pandangan sinis ke arahku dari ujung kaki yang mengenakan sandal jepit, kemudian celana training koyak, dan kaos bolong-bolong.

Pulang ke Westview memang aku tidak pernah membawa Fortuner offroadku. Aku memilih naik motor ke sana. Jalanan menuju ke sana sempit. Merepotkan dengan mobil. Apalagi Fortuner offroaku yang bannya besar itu. Makanya setelah dua atau tiga kali menegur orang yang yang sama tetapi tidak dibalas, aku memutuskan berhenti menyapanya. Selanjutnya aku menjadi sombong terhadap mereka. Karena, sombong terhadap orang sombong itu sedekah.

Pada satu waktu, pria lima puluh itu duduk dengan anak gadisnya. Aku sedang melintas di hadapan mereka. Pria lima puluh mengatakan kepada putrinya akan mengawinkannya dengan aku. Anaknya itu tidak tahu bahwa aku pemilik Fortuner offroad. Tetapi uniknya gadis itu tersenyum dan tersipu sambil mencuri pandang ke arahku. Aku menangkap dari air mukanya bahwa dia sangat senang denganku. Uniknya perempuan itu, tidak seperti orang-orang Westview, tidak melihat aku dari ujung sandal hingga ujung kepala.

Aku terima saja nikahnya. Aku yakin perempuan itu tipe manusia yang tidak memandang orang dari permukaannya. Aku yakin nanti dia tidak akan suka arisan. Aku geli sekali melihat istri-istri arisan. Pakai baju paling mahal. Aku menduga isi pembicaraannya pamer-pamer harta. Memuji-muji temannya supaya nanti dia dapat giliran dipuji juga. Aku geli sekali. Nanti ada pembicaraan pamer-pamer prestasi suami: suami aku promosi jabatan, suami aku naik pangkat, suami aku dapat proyek, dan seterusnya. Geli membayangkannya.

Lagipula perempuan itu anak orang kaya. Makanya aku menikahi dia. Bestieku bilang, aku beruntung menikahinya.
“Apa yang kau lakukan sudah benar. Karena kalau menikahi anak orang kayu, nanti kamu mati, anakmu ada yang memberi makan,” kata bestieku.

Belakangan di Westview sudah ada yang tahu bahwa aku memiliki Fortuner offroad. Makanya saat kusapa senyumnya sumringah. Aku heran kenapa baru ramah setelah tahu aku punya Fortuner offroad yang megah. Padahal kalaupun aku punya Fortuner offroad, tidak akan kuberikan kepada dia. Bahkan bukannya kalau aku punya Fortuner offroad, terbuka peluang dia akan kuminta pinjam uang bila kantongku tipis setelah mengisi solar. Atau bila Fortuner offroadku mogok pagi hari, aku akan minta tolong dia mendorongnya. Bukankah seharusnya mereka ramah kepadaku bila tidak tahu atau aku tidak punya Fortuner offroad? Dengan begitu aku tidak akan meminjam uang dan tidak akan menguras tenaga mereka. Aneh sekali.

Beberapa orang yang membuat aku sudah trauma menegurnya ada yang mengeluh. Kenapa aku sombong sekali. Nah, ini membuatku jadi heran. Padahal awal-awal aku suka menyapa tapi dibalas dengan menatap dari ujung sandal hingga ujung rambut. Bahkan pernah ada penghuni baru yang sebenarnya jalur pulang-pergiku tidak di lorong rumahnya. Tetapi aku sengaja melewati jalan itu supaya bisa bertegur sapa dengannya. Tetapi, ya gitu: hanya membalas dengan menatap dari ujung sandal hingga ujung rambut. Bahkan bukan membalas senyum malah mempelototi. Padahal aku tidak bermaksud meminjam uang kepadanya. Itu terjadi tiga kali. Aku tidak berani melewati lorong itu lagi.

Tetapi tidak semua seperti itu. Ada beberapa yang saat pertama kusapa, sebelum ada yang tahu aku punya Fortuner offroad, dia memang sudah ramah. Maka orang seperti itu terus kusapa dan beri senyum saat bertemu. Tapi sayangnya beberapa yang ramah statusnya bukan pemilik. Beberapa malah sudah pindah. Sementara yang asli mengkredit umumnya tidak ramah saat awal-awal kusapa.

Aku heran apa yang mereka sombongkan. Bukankah rumahnya kredit. Kenapa pula sombong sekali.

Baca Juga

Maharaja

“Bila sedang berada di puncak gunung, buatlah suara-suara yang merdu. Karena semua teriakan akan kembali padamu.” (Jalaluddin Rumi) Saya baru saja menonton film Maharaja yang

Sekuler

Beberapa hari lalu ada kuliah umum. Pembicaranya adalah seorang guru besar. Banyak wawasan baru yang didapatkan dari menyimak kuliah umum itu. Di antaranya adalah mengenai

Kamis Kedua Terakhir (Bagian Pertama)

  Saat duduk di teras depan rumahnya, Apa Cantoi mengenang hari lebaran yang telah lewat beberapa hari lalu. Dia ingin sekali kembali pada hari-hari yang

“Pulitek” Orang Aceh: Politik Keterusterangan

Pengalaman-pengalaman serupa tentulah dapat kita temukan di berbagai kesempatan, bahwa dalam relasi sosialnya, terutama dalam dunia politik, keterusterangan merupakan tipikal dari orang Aceh.

Kisah Persahabatan di Balik Meja Kerja

Waktu terus berjalan, tetapi persahabatan dan kenangan di balik meja kerja itu tetap hidup dalam hati mereka. Meskipun jalan hidup membawa mereka ke berbagai arah, ikatan yang telah terbentuk selama bertahun-tahun tidak akan pernah hilang.