Nietzsche menegaskan kematian Tuhan karena dia kesal dengan kepongahan manusia yang sulit menerima penderitaan dan suka menghindari kebahagiaan. Manusia begitu pesimis melihat dunia. Dianggapnya dunia ini merupakan tumpukan sampah yang tiada harganya. Pandangan itu melemahkan etos kerja, membunuh kreativitas, membungkam berbagai ekspektasi, dan mengerdilkan harapan-harapan.
Nietzshe jengkel dengan cara manusia menghadapi penderitaan: bersembunyi di balik selimut pamrih di kehidupan selanjutnya; alih-alih berdiri tegar menghadaapi penderitaan itu. Dia kesal banyaknya pemangku otoritas religius yang memanfaatkan kelemahan publik untuk mengeruk keuntungan. Lebih parah lagi, kalau ada di antara mereka yang melakukan pemaknaan teks suci sesuai selera.
Nietzsce ingin manusia tampil sebagai pemberani: tangguh menghadapi segala macam kondisi sulit. Tidak cengeng setiap mengemban masalah. Manusia harus tegar bila ditimpa kemalangan. Kuat menerima kehilangan orang-orang yang disayang. Manusia harus menjadi super.
Inilah yang berat. Nyatanya manusia memang makhluk yang lemah: mudah berkeluh kesah, kurang kesabaran setiap menghadapi penderitaan. Namun hendak bagaimana, manusia hanya bisa bertahan dengan kebahagiaan.
Thanos tidak paham itu. Dikiranya dengan memusnahkan setengah populasi, masalah bisa selesai. Yang ada adalah: manusia menjadi punah secara perlahan. Kehilangan orang yang dikasihi membuat manusia lemah. Itu menjadikan manusia tidak punya motivasi hidup dan akhirnya memilih ikut setengah populasi yang telah menjadi debu.
Thanos tidak pernah kerja di kantor pemerintahan. Dia tidak melihat bahwa dengan saling memberi senyum saat berpapasan dengan rekan di dekat tempat fingerprint, manusia menjadi bersemangat seharian di depan komputernya.Thanos tidak pernah ikut organisasi kepemudaan: satu pujian dari ketua umum, membuat seorang anggota semangat bekerja selama seminggu. Thanos tidak pernah sekolah di pesantren: satu apresiasi dari ustadz membuat seorang santri semakin semangat menghafal.
Thanos bukan manusia bumi. Dia tidak mengerti itu. Manusia bumi hidup beramah-tamah dan saling bertegur sapa. Sebab itulah mereka bahagia. Thanos tidak paham bahwa satu pelanggaran kecil dapat dimaafkan dengan sedikit senyum. Lihat saja seorang yang mengambil jalur salah karena malas putar balik jauh-jauh, dapat dimaafkan pengguna jalan normal apabila dia melakukan itu sambil senyum.
Mungkin karena juga bukan makhluk bumi, sebab itulah Superman dalam Injustice menerapkan kekuasaan tangan besi. Tetapi Superman melakukan itu berangkat dari sebuah pengalaman yang sangat manusia.
Kematian Louis membuat Superman murka. Itu membuatnya berkeinginan menerapkan sistem ketat agar tidak ada lagi keburukan di muka bumi. Superman berubah menjadi diktator: menguasai dunia dan menerapkan sistem aturan ketat. Siapapun tidak boleh berbuat kekurangan walau sekecil-kecilnya. Orang yang membuang sampah sembarangan saja dibunuh.
Batman dan rekannya tidak suka hal ini. Sebab itu dia menjadi pemberontak. Menurut kelompok Batman, aturan boleh dibuat, pelanggar perlu dihukum. Tetapi harus sesuai tingkat kejahatan yang dilakukan.
Pernah ada seorang pemimpin yang tidak membenarkan kekurangan walau sedikit saja. Tidak segan-segan dia memarahi siapa saja yang suka berbuat pelanggaran. Saingannya melihat peluang ini. Saingan itu yakin banyak orang tidak suka cara seperti itu. Cara pemimpin itu dilihat sebagai kelemahan oleh saingannya. Dan saingan berhasil mengalahkannya.
Banyak manusia memang tidak suka dengan kedisiplinan tingkat dewa. Banyak manusia punya naluri resistensi. Keberlangsungan hidup dan keseimbangan alam semesta tidak terjadi karena aturan yang sangat ketat, yang kemudian dipatuhi dengan sangat tertib. Keberlangsungan alam justru terjadi karena adanya keseimbangan antara putih dan hitam.
Keberlangsungan politik pemerintahan juga demikian. Banyak pemimpin daerah dipilih karena punya cukup modal untuk berkuasa. Dia harus membayar utang kepada penyokong. Maka dilakukanlah program daerah: seimbang antara membangun dengan mengembalikan modal. Maka itu ada jalan aspal yang dibuat seperti permadani: bisa digulung. Tidak di semua daerah begitu. Tetapi itulah keseimbangan: di beberapa daerah begitu; di beberapa daerah tidak.
Ada pengajar yang dengan sangat keras menyuarakan ekologi dan menyarankan ekowisata. Dia seperti lupa justru karena adanya sedikit krisis ekologi, seorang ayah masih dapat membuat anaknya terus hadir di ruang kelas sehingga pengajar itu masih dapat disebut pengajar. Dia idealis, namun lupa teori keseimbangan.
Saya punya teman yang tinggal di pondok. Bertahun-tahun dia didoktrinkan idealisme. Namun suatu ketika dia dipecat karena idealismenya mengganggu keseimbangan pondok. Nah, sebenarnya mana yang lebih perlu dikedepankan: idealisme atau keseimbangan?
Mungkin bagi manusia, keseimbangan bukan pada ketertiban tingkat dewa. Jangan-jangan keseimbangan justru terjadi karena adanya resistensi. Jangan-jangan keseimbangan terjadi bukan karena keadilan, melainkan karena ketidakadilan, injustice.
“Hidup memang tidak adil, jadi biasakanlah dirimu,” kata Patrick Star. Lebih dari itu, mungkin karena itulah manusia belum punah.
Pesan suci pernah berkata, kurang lebih, kalau saja manusia tidak ada yang berbuat dosa, maka dimusnahkan mereka semua. Kemudian diciptakan manusia lain yang akan berbuat dosa. Lalu mereka bertobat, kemudian dimaafkan. Nah. Bukankah ini dapat menjadi keterangan bahwa kita bertahan bukan karena kita sangat disiplin, melainkan karena kita suka resistensi.
Maka bila ada pemimpin yang terlalu tegas saat menemukan kekurangan, itu bahkan bisa membuat kita cepat punah. Untung saja ada pakar yang santun. Kalau tidak, mungkin kita sudah diganti dengan manusia lain.
Bila Bizarro diinspirasi dari teori refleksi Karl G. Jung, sepertinya Superman itu diinspirasi dari Nietzshe. Sebab itulah dia, setidaknya dalam Injustice, punya sifat psikologis sebagaimana sistem etika dikehendaki Nietzsche.