(Ringkasan Disertasi Miswari)
Signifikansi kajian komparasi Wujudiah Hamzah dan filsafat Sadra telah memenuhi persyaratan sebuah kajian komparasi yakni memiliki aspek kesamaan dan aspek perbedaan.
Persamaan signifikannya adalah sama-sama mengakui univokasi wujud dan menerima hudhuri sebagai sumber pengetahuan mendasar.
Pentingnya kajian komparasi ini secara aksiologis antara lain untuk membangun semangat apresiasi karya anak bangsa sendiri sebagaimana dilakukan masyarakat Persia atas pemikiran Mulla Sadra.
Signifikansi lainnya dari kajian dua pemikir ini adalah dari Mulla Sadra untuk memberikan cara mensintesis keragaman ilmu pengetahuan yang berkembang sangat pesat. Dan dari Hamzah Fansuri untuk menyederhanakan kajian-kajian yang berat supaya mudah dipahami masyarakat sesuai konteks kebudayaannya.
Wujudiah
Kajian teoretis Wujudiah sangat penting untuk memahami perkembangan pemikiran Wujudiah hingga mendapatkan sintesis dan penyederhanaan penyampaiannya melalui tangan Hamzah Fansuri. Kritik demi kritik oleh satu sufi terhadap sufi sebelumnya menunjukkan proses penyempurnaan ajaran Wujudiah.
Kajian ini juga sangat panting untuk menemukan bagaimana Ar-Raniri menolak ajaran Hamzah Fansuri antara lain karena akomodasinya atas ajaran Al-Hallaj dan Bayazid Al-Bistami. Konsep-konsep ajaran dan bunyi syatahat beserta latar belakang kemunculannya perlu dideskripsikan supaya kajiannya berimbang.
Di samping itu, bila ajaran-ajaran ini tidak disinggung, maka akan menghilangkan landasan kritik Al-Raniri. Sedikit latar belakang kehidupan para sufi perlu dikemukakan untuk menunjukkan bagaimana konsep, itikad, perbuatan tidak wajar, dan syatahat mereka muncul. Juga untuk menunjukkan bagaimana mereka sangat menekankan pentingnya syariat dan akhlak. Juga dikemukakan ayat-ayat yang sesuai dengan itikad kaum sufi agar ajaran mereka tidak dianggap keluar dari prinsip-prinsip agama. Karena memang ajaran sufi itu adalah bagian penting dalam Islam dan sama-sekali tidak menyimpang dengannya.
Karya Hamzah
Terdapat tiga prosa dan tiga puluh puisi dari Hamzah. Puisi-puisinya secara umum berbicara tentang hakikat ilahi, hubungan manusia dengan Tuhan, dan apa yang harus dilakukan manusia agar wasil Allah. Syariat tarikat dan makrifat adalah titik tekan ajaran Hamzah Fansuri.
Pandangan Urafa
Bagi urafa, rahman dalam basmalah adalah memberikan wujud sehingga sekalian alam beroleh wujud. Sementara rahim adalah pemberian ilmu makrifat kepada para nabi dan aulia. Sementara bagi mutakallimin, rahman berarti memberikan hidayah bagi segenap makhluk di dunia. Sementara rahim adalah memberikan taufik bagi orang-orang terpilih di akhirat.
Bagi urafa, jalan menuju wasil adalah syariat, tarikat, hakikat, dan makrifat. Siapa yang fana seperti katak di laut. Menutup mulut mati, membuka mulut tertelan air laut. Bagi urafa rezeki itu untuk sekali waktu makan. Semuanya diserahkan kepada Allah. Bagi mutakallimin, mencari rezeki cukup untuk persediaan sehari.
Sifat Haqq Ta’ala
Mengenal sifat sebenarnya bukan sebagaimana mengenal aksiden. Melainkan mengenal melalui kasyaf.
Pertama Hayat. Tanpa hayat mati hukumnya. Dengan hayat maka dapat berilmu.
Kedua Ilmu. Sebagai yang mengetahui disebut awal, batin, sebagai yang diketahui disebut akhir, zahir. Zahir melalui manusia.
Ketiga Iradat. Beriradat karena berilmu. Dengan iradat menjelma makhluqat. Menjelma melalui AmrNya.
Keempat Qaudrat. Segala ketetapanNya tak teringkari.
Kelima Sami’. Pendengarannya sangat jelas hingga apa yang terbesit di benak manusia. Keenam basar. Dia melihat dengan Ilmu-Nya.
Ta’ayyun
Semua pemikir berusaha menjelaskan hubungan ketunggalan dan kemajemukan. Pythagoras tetrakis, Alfarabi emanasi, Suhrawardi emanasi, Ibn Arabi tajali. Hamzah ta’ayyun. Ahadiyah (la ta’ayyun), wahdah (taayyun awal: wujud, syuhud, nur), wahidiyah (tayyun tsani: suwar ilmiah, hakikat asya’ ruh idhafi), alam arwah (taayyun tsalis: ruh insani, ruh hayawani, ruh nabati), alam mitsal (hakikat bentuk: kejadian alam terus menerus).
Anak Dagang
Dalam pandangan Hamzah, manusia hidup di dunia seperti pedagang yang datang sejenak untuk satu urusan lalu segera kembali. Manusia hidup seperti anak dagang, mengumpulkan bekal untuk kehidupan akhirat.
Fansur
Seperti Singapura hari ini. Ada kemungkinan Syahri Nawi adalah Pasai. Sekolah Hamzah di Blang Pria, lalu ke Singkil. Kemudian dari Barus bertolak ke Timur Tengah. Lalu menetap di Fansur yang tidak jauh dari pusat kekuasaan Aceh Darussalam. Dalam kondisi sibuk berniaga itulah Hamzah menyebar ajarannya melalui analogi-analogi yang mudah dipahami masyarakat Melayu.
Analoginya seperti tanah dan perabotan, matahari dan sinarnya, catur dan buah catur, laut dan ombak, dan analogi-analogi lainnya.
Tanah adalah analogi wujud mendasar. Periuk buyung bejana analogi makhluqat. Namanya ada hakikatnya tanah. Keseluruhan perabotan itu adalah tanah. Membuat perabotan dilakukan secara sederhana dalam masyarakat Melayu. Kontur tanahnya memungkinkan. Banyak tanah liat.
Cahaya dianalogikan dengan Haqq Taala dan sinarnya dianalogikan dengan makhluqat. Asalnya satu zahirnya banyak. Cahaya adalah analogi primordial untuk menjelaskan hubungan ketunggalan dan kemajemukan.
Sejak Zarathustra, juga Alquran, Al-Ghazali, Suhrawardi, Ibn Arabi, Hamzah dan bahkan Sadra menggunakan cahaya untuk menggambarkan hubungan ketunggalan dan kemajemukan.
Kayu dan buah catur dipakai sebagai analogi menjelaskan bahwa sejatinya adalah kayu yakni wujud sementara dilarik berbagai bentuk hanya tampilan. Diberi berbagai nama hanya sebutan, sejatinya adalah kayu. Makhluk seperti buah catur namanya ada hakikatnya tiada karena yang hakikat hanya kayu. Makhluk seperti buah catur yang nasibnya mutlak tunduk pada pemain catur. Catur mudah sekali dibuat karena negeri Melayu banyak pohonnya. Masyarakat Melayu yang petani dan pelaut juga punya banyak waktu menunggu angin dan musim diisi dengan bermain catur. Negeri Melayu menjadi sangat dekat dengan permainan dari India dan Timur Tengah itu karena pantainya adalah jendela pelabuhan dunia.
Laut seperti alim, qasim, Haqq Taala. Bahar amiq peri Zat Nya. Tiada yang sampai. Menyelam seperti gajah mina itu nabi dan aulia. Ikan tongkol menyelam tiada dalam. Ombak adalah ma’lum, maqsum. Seperti makhluk. Sejatinya laut. Sejati makhluk adalah wujud dari Haqq Ta’ala. Seperti ombak sejatinya laut. Menjadi berbagai bentuk semua kembali ke laut. Seperti makhluk. Menjadi berbagai nama kembali kepada Haqq Taala. Laut dan ombak adalah dekat dengan masyarakat Melayu yang mendominasi pesisir.
Buah bundar analogi untuk Qadim: tiada permulaan tiada akhiran. Tiada depan tiada belakang. Buah bundar cocok untuk analogi masyarakat Indonesia yang mengenal sangat banyak buah yang bentuknya bundar.
Manusia dianalogikan dengan Haqq Taala dan profesinya dianalogikan dengan sifat-sifatNya. Setiap orang dikenal melalui profesinya. Juga Haqq Taala dikenal melalui sifatNya. Raja adalah analogi untuk Tuhan yang berkuasa dan berniscaya memiliki hamba. Raja itu berkuasa dan hamba itu tunduk.
Bayangan di cermin adalah analogi untuk makhluk yang tunduk mutlak pada kehendak empu bayangan. Dan tidak ada ada tanpa empunya bayangan.
Air adalah analogi wujud yang memberikan kehidupan kepada sekalian tumbuhan yang dianalogikan dengan semua makhluk yang diberikan wujud. Pemandangan ini sangat biasa di negeri Melayu yang tropis.
Air yang menjadi samudra, menjadi uap, menjadi awan, menjadi hujan, menjadi sungai dianalogikan seperti wujud Haqq Taala yang hadir dalam beragam maujudat, namun hakikatnya adalah Haqq Taala.
Batu adalah analogi makhluk yang sama sekali tidak berdaya di hadapan Haqq Taala. Juga batu adalah analogi selain Tuhan yang bila masih terlihat maka belum baik fananya. Tapi kalau sudah hanya melihat emas, maka sempurnalah fananya.
Wujudiah yang dianggap sangat rumit oleh Hamzah menjadi sangat sederhana dengan menggunakan analogi-analogi yang akrab dengan seharian masyarakat.
Filsafat
Pembahasan filsafat sangat penting untuk menemukan latar belakang pemikiran Sadra, khususnya tentang sintesisnya atas karya filsafat Islam sebelumnya, hal-hal yang menginspirasi gagasan-gagasannya, dan untuk menunjukkan posisi Sadra dalam filsafat meskipun sebagian menganggapnya sebagai arif murni.
Pikiran Umum Sadra
Sadra hadir untuk mensistesis filsafat, kalam, dan tasawuf. Sintesa adalah budaya yang sedang berkembang dalam tradisi keilmuan pada masa Mulla Sadra. Thusi dan guru sadra, Mir Damad termasuk pemikir yang sedang berusaha mensistensa pemikiran Islam.
Ontologi pemikiran Sadra bertujuan menjelaskan gagasan-gagasan ontologi Sadra secara umum dengan fokus latar belakang kelahiran gagasan-gagasanya. Latar belakang ini sangat ditentukan oleh filsafat sebelumnya. Karena secara umum pemikiran Sadra adalah sintesa dari pemikiran sebelumnya.
Kemendasaran wujud pertama kali disinggung oleh Aristoteles. Lalu diberi perhatian tentang pembedaannya oleh Al-Farabi. Selanjutnya dianalisis lebih serius oleh Ibn Sina dengan mengatakan bahwa ketika suatu ekstensi atau mawjudat dianalisis mental, akan membaginya kepada dua hal yakni wujud dan mahiyah. Dalam hal ini Ibn Sina mengatakan wujud itu lebih mendasar. Selanjutnya Suhrawardi datang mengatakan yang mendasar adalah mahiyah. Bahwasanya kursi ada, kambing ada, kayu ada hanya menjadi kopula atau tambahan bagi mahiyah. Maka yang mendasar bukan wujud melainkan mahiyah.
Selanjutnya Mulla Sadra mengatakan wujud itulah yang nyata pada realitas, sementara mahiyah hanya tambahan bagi wujud. Mahiyah hanya proyeksi pikiran untuk mengenal wujud.
Dalam persoalan ini, Suhrawardi mengira pembagian wujud dimaksud Ibn Sina adalah dalam ranah akal. Ternyata yang dimaksud Ibn Sina adalah pada realitas eksternal. Penjelasan ini baru dilakukan oleh Nasrudin Thusi dalam tahkiknya atas Isyrarat wa Tanbihat. Sadra menunjukkan wujud lebih mendasar pada realitas eksternal, karena pada realitas eksternal, wujud itu memiliki efek. Juga wujud dapat bergradasi. Sementara mahiyah tidak bergradasi.
Epistemologi Sadra
Sadra membagi ilmu kepada empat dimensi yakni fisika, metafisika, matematika, dan logika. Dia juga membagi ilmu kepada syariyyah yakni ilmu dari wahyu dan aqliyah yakni ilmu melalui usaha akal. Ilmu kekal tidak kekal tidak kekal,(logika, musik, badi’ bayani, pertikangan, politik, pertanian, dsb) dan ilmu kekal (rukum iman, musyahadah).
Dari cara perolehannya ilmu terbagi menjadi hushuli dan hudhuri. Hushuli ilmu melalui indra dan pikiran. Hudhuri melalui penyingkapan batin. Hushuli terbagi menjadi tasawur (konsepsi) dan tasdiq (afirmasi).
Sadra menerima ketidakakuratan definisi dari Suhrawardi. Sadra menegaskan pengetahuan adalah hadirnya subjek kepada objek. Kehadirannya adalah wujudnya. Bila subjek dan objek terpisah, maka perlu perantara lalu perantara dan seterusnya menjadi tasalsul. Seluruh tingkatan akal dari indra hingga kasyaf adalah daya jiwa.
Kemendasaran Wujud
Wujud itu bersifat univokal. Secara konsep wujud adalah sesuatu yang paling terang. Tidak perlu didefinisikan. Pada pengalaman, wujud hadir lebih mendasar. Kemendasaran wujud diperoleh melalui burhan arsy malakuti. Wujud adalah pemersatu segala mahiyah. Mahiyah hanya pembatasan dan modus untuk mengenal wujud. Pada realitas, wujud hanya bisa dikenal melalui kasyaf. Wujud itu tidak dapat didefinisikan. Wujud itu pemberi efek. Wujud tidak dapat didefinisikan. Wujud adalah pemersatu segala realitas. Segala mawjudah mengada dengan wujud.
Taskik Wujud
Pembahasan taskik wujud bersyarat pada pemahaman asalat alwujud. Dalam taskik kesatuan mengalir dalam keberagaman, keberagaman kembali kepada kesatuan. Keberagaman itu nyata, ketunggalan juga nyata. Ketunggalan harus nyata karena dengannya berhubung segala tingkatan wujud. Kemajemukan juga harus nyata. Bila tidak, tidak ada gradasi.
Kenyataan keberadaan takskik dibuktikan pada realitas eksternal dengan adanya wujud lebih kuat seperti wujud akal dan ada wujud uang lebih lemah seperti wujud imajinal. Ada wujud yang lebih terdahulu seperti wujud sebab dan ada wujud terkemudian seperti wujud akibat.
Taskik al wujud adalah sintesis gagasan Ibn Sina tentang kemendasaran sekaligus kemajemukan wujud, manifestasi cahaya Suhrawardi, dan kesatuan dari Ibn Arabi.
Sebagian pengikut Sadra berpandangan taskik adalah gagasan final Sadra. Sebagian berpendapat taskik adalah persiapan bagi wahdatul wujud. Maka sebagian pengikut sadra berpandangan gagasannya itu adalah wujudiah. Sebagian berpandangan adalah filsafat. Perdebatan itu masih berlangsung hingga kini.
Kefakiran akibat
Akibat bergantung mutlak pada sebab seperti bergantungnya kopula pada subjek. Seperti kata adalah dalam kalimat Ahmad adalah penulis. Hanya menjadi keterangan bagi subjek. Kopula punya nama tetapi tidak punya hakikat. Akibat sejatinya adalah kehadiran sebab secara menyeluruh.
Basit artinya tidak rangkap, baik rangkap materi dan bentuk, genus dan differensia, wujud dan mahiyah, dan tidak rangkap ada dan tiada. Basit haqiqah adalah kesempurnaan segala sesuatu, tetapi bukan apapun dari segala sesuatu.
Basit haqiqah melingkupi segenap wujud dalam gradasinya. Basit haqiqah juga paling sempurna karena darinya segala aktualitas bersumber. Basit haqiqah paling jauh dari rangkap. Makanya dia paling sederhana.
Gerak Substansi
Gerak Substansi adalah revolusi dalam filsafat. Sebelumnya gerak dianggap terjadi pada aksiden. Dan substansi sebagai penggeraknya. Oleh sadra dianggap terjadinya gerak aksiden adalah karena gerak substansi.
Penyebab gerak pasti bergerak. Penyebab gerak bukan di luar subjeknya. Aksiden yang bergerak adalah pancaran substansinya yang juga bergerak. Waktu sebagai dimensi keempat dari materi maka itu meniscayakan gerak itu terjadi terus-menerus.
Gerak adalah kesempurnaan pertama potensi sebagai potensi atau keluarnya potensi menjadi aktualitas. Disebut kesempurnaan pertama karena gerak adalah menjadi kesempurnaan pertama dari potensi menjadi aktualitas. Sehingga dapat menjadi potensi bagi aktualitas lainnya. Elemen aksiden gerak: kualitas, kuantitas, tempat, dan posisi. Terjadi gerak padanya karena relasi iluminasi (idhafah isyraqiyah) dari substansi.
Substansi bergerak karena wujud yang satu. Unsur gerak adalah: penggerak, yang digerakkan, titik awal, titik akhir, aspek yang bergerak, waktu. Titik awal adalah potensi. Titik akhir adalah aktualitas. Gerak adalah proses penyempurnaan wujud. Maka mustahil terjadi gerak terbalik. Mustahil pula terjadi reinkarnasi.
Ittihad Aqil Ma Ma’qul
Sadra menerima pengetahuan indra, wahmi, imajinasi, inteleksi, sebagai persiapan pengetahuan. Namun sejatinya pengetahuan adalah kesatuan subjek dan objek dalam satu wujud. Bila tidak antara subjek dan objek butuh perantara. Seterusnya hingga tasalsul. Mengenal sesuatu adalah kehadiran wujudnya. Karena aksiden-akasiden atau forma itu hanyalah kreativitas akal.
Pengetahuan adalah kreativitas jiwa yang membentuk gambar-gambar sedemikian rupa. Sehingga muncul subjek yang mengetahui, objek yang diketahui, dan hubungan keduanya yang disebut dengan ilmu. Pengetahuan adalah kehadiran jiwa pada beberapa fakultas dan melakukan kreativitasnya. Sejatinya pengetahuan adalah perluasan jiwa. Pengetahuan adalah bagian dari proses penyempurnaan jiwa.
Persamaan Hamzah dan Sadra terkait fokus penelitian ada lima yakni univokasi dan kemendasaran wujud, pengenalan diri sebagai langkah menuju pengetahuan sejati, ilmu hudhuri sebagai pengetahuan sejati, eksistensi alam potensial, dan kefakiran mutlak makhluk atas Khalik.
Kesamaan Univokasi dan Kemendasaran Wujud
Bagi Sadra dan Hamzah, wujud itu univokal. Wujud bagi mereka merupakan dasar realitas. Selainnya oleh Hamzah disebut wahmi dan oleh Sadra disebut gradasi. Hamzah mengaku kemajemukan itu hanya wahmi. Namanya ada, hakikatnya tiada. Seperti buah catur. Aksiden-aksiden sebagai modus pengetahuan hanyalah wahmi atau hasil kreativitas inteleksi. Semakin jauh dari hakikat atau sumber gradasi, maka kemajemukan semakin banyak. Seperti buah catur. Semakin rendah perannya, semakin majemuk ia.
Kemajemukan itu seperti aneka tumbuhan, sumbernya air. Hamzah dan Sadra tidak sepakat dengan nihilisme yang mengatakan realitas semesta itu tidak ada, atau skeptisme yang mengaku semesta itu tidak dapat diketahui. Hamzah dan Sadra mengakui bahwa alam itu nyata yakni wujud. Sementara kemajemukan itu adalah athar oleh Hamzah dan wujud khariji oleh Sadra.
Hamzah mengatakan kemajemukan itu sumbernya dari kecenderungan nama dan sifat ilahi. Sementara Sadra menyebutnya sebagai taskik.
Pengenalan diri sebagai Langkah Menuju Pengetahuan Sejati
Hamzah menganalogikan manusia seperti perahu. Harus menyiapkan bekal untuk berlabuh. Sadra juga menegaskan bahwa karier jiwa bersama jasad hanya sementara. Jasad hanya persiapan untuk kesempurnaan jiwa. Manusia harus melakukan perjalanan dalam dirinya, seperti empat perjalanan oleh Sadra dan empat tahapan (syariat, tarikat, hakikat, dan makrifat Hamzah. Semua perjalanan ini bertujuan untuk memperoleh ilmu yakin yakni ilmu hudhuri.
Ilmu Hudhuri sebagai Pengetahuan Sejati
Hamzah dan Sadra sepakat bahwa ilmu hudhuri adalah satu-satunya pengetahuan yang paling terpercaya. Ilmu representasi hanyalah modus pengenalan wujud. Objek-objek ilmu representasi oleh Hamzah disebut wahmi sementara oleh Sadra disebut sebagai kreativitas intelek melimitasi wujud agar terpahami nalar. Sejatinya hanya wujud. Itu hanya dapat dikenali melalui ilmu hudhuri.
Objek pengetahuan yang oleh Hamzah disebut athar ilahi atau oleh Sadra disebut mazahir ilahiyah adalah penggambaran jiwa atas wujud yang merupakan perluasannya sehingga skema ilmu hushuli ini sebenarnya adalah ilmu hudhuri juga. Dalam hal ini, Hamzah mengatakan buyung, kendi, tempat, adalah bentuknya saja, hakikatnya adalah tanah yang dianalogikan dengan wujud. Demikian juga Sadra yang menegaskan bahwa pengetahuan adalah perluasan wujud dalam aktualitas jiwa yang mana jasad dan gambar hanyalah persiapan semata.
Eksistensi Alam Potensial
Hamzah dan Sadra sepakat bahwa semesta tidak berasal dari ketiadaan melainkan hadir melalui aktualitas dari hayula atau ayan tsabitah. Alam potensial itu berada dalam ilmu Tuhan yang oleh Hamzah dianalogikan dengan lautan yang mana segala kejadian itu tetap dalam ilmu Tuhan sebagaimana tetapnya air laut meskipun bermunculan berbagai aktualitas ombak.
Sadra dalam hal ini menjadi bernuansa teologis mengatakan aktualitas alam adalah berasal dari sifat wajib al wujud seperti Al-Murid, Al-Karim, dan Al-Muhsin. Hamzah Sendiri mengatakan, alam potensial itu seperti biji yang telah mengandung segala potensi semesta untuk mengaktual. Ketika akan aktual sebagai satu ketetapan, alam potensial seperti awan yang telah mengandung air yang siap untuk tercurah untuk menumbuhkan segala jenis tanaman.
Sistem Hamzah juga mirip dengan gambaran Sadra yang menyatakan bahwa kebaruan semesta memang merupakan sifatnya yang terus berubah sementara wujud mutlak sebagai asal jiwa itu tetap sifatnya. Senada dengan hal itu, Hamzah mengatakan bahwa air menguap, turun hujan, mengalir di bumi, tidak mengubah ketetapan laut.
Kefakiran Mutlak Makhluk kepada Khaliq
Kefakiran mutlak makhluk kepada Khaliq oleh Hamzah dianalogikan seperti ketundukan bayangan atas empunya bayangan, gambar bangunan dalam imajinasi utus, ketundukan besi atas tukang besi, dan ketundukan batu atas pemegangnya. Sementara Sadra menggambarkannya seperti ketundukan akibat atas sebab yang mana akibat sejatinya adalah kehadiran sebab secara menyeluruh. Juga Sadra menggambarkannya seperti ketundukan kopula atas subjek.
Dalam alam wahidiyyah segala potensi telah terkandung. Selanjutnya mengaktual dalam taayyun rabi dan khamis. Aktualitas semesta terjadi secara terus menerus menunjukkan kehadiran wujud secara terus menerus hal ini sebagaimana gambaran Sadra bahwa kehadiran sebab atas akibat adalah menyeluruh dan terus menerus.
Perbedaan antara Hamzah dan Sadra paling mencolok adalah perbedaan konteks budaya, perbedaan pemahaman atas status kemajemukan realitas eksternal, dan perbedaan akomodasi atas ajaran mereka di negeri masing-masing.
Perbedaan Konteks Budaya
Perbedaan Konteks budaya menyebabkan Hamzah dan Sadra melahirkan corak ajaran masing-masing yang berbeda. Dalam negeri Melayu yang kurang populer dengan filsafat Aristotelian, perkembangan pemikiran Islam adalah corak Neoplatonisme. Sementara di Persia, berbagai varian pemikiran Islam berkembang dengan baik, sehingga perkembangan berbagai varian pemikiran berlaku seimbang. Hal ini menyebabkan Hamzah hanya mensintesakan pemikiran Wujudiah sebelumnya. Sementara Sadra mensintesiskan berbagai varian pemikiran.
Konteks masyarakat Melayu sedemikian rupa menjadikan Hamzah sangat kreatif dalam menyederhanakan pemikirannya melalui analogi-analogi yang sangat mudah dipahami masyarakat dalam konteks budayanya. Sementara pada masa Sadra, di Persia masih terjadi usaha sintesis berbagai varian pemikiran oleh pemikirnya. Sehingga Sadra mampu melahirkan sebuah karya yang dianggap mampu mensintesis ilmu kalam, tasawuf, dan filsafat. Seluruh konsep dalam gagasan Mulla Sadra itu saling berketerkaitan satu sama lain.
Bila Ajaran Hamzah sempat diterima lalu kemudian ditolak antara lain karena faktor politik, sebaliknya ajaran Sadra awalnya sempat ditolak lalu selanjutnya diterima dan diapresiasi. Ajaran Hamzah selanjutnya menjadi sasaran kritik para ulama seperti Raniri. Sementara ajaran Sadra diterima dan diapresiasi dengan munculnya dua varian yakni meyakini dan memaknai ajaran Sadra adalah tasawuf wujudiah dan sebagian lainnya menganggap ajaran Sadra adalah filsafat murni.
Ajaran Hamzah ditolak antara lain karena ikut mengakomodir ajaran ittihad Abu Yazid Al-Bistami dan ajaran hulul Al-Hallaj. Sementara sebagian pendukungnya meyakini Sadra mengajarkan kesatuan wujud sementara gradasi wujud hanya persiapan bagi kesatuan wujud. Sementara yang lain menganggap ajarannya adalah gradasi wujud. Yang meyakini ajaran Sadra adalah kesatuan wujud menganggapnya adalah sufi (seperti Sayyid Yadullah Yazdan Panah dan Jawadi Amuli). Sementara yang lain menganggap ajaran Sadra adalah filsafat (seperti Thabattaba’i dan Taqi Musbah Yazdi).
Perbedaan Pemahaman Status Kemajemukan
Hamzah menolak kemajemukan karena baginya wujud itu satu. Selainnya adalah wahmi. Semesta adalah wahmi dari segi bentuk dan nama hakikatnya adalah satu wujud. Sementara bagi Sadra, wujud itu satu sekaligus bergradasi. Meskipun gradasi itu dalam kesatuan namun Sadra mengakui kemajemukan itu nyata (sekaligus ketunggalan juga nyata). Ambiguitas inilah yang membuat ajaran Mulla Sadra menjadi sangat unik.
Perbedaan Multi Perspektif Varian dan Sasaran Kritik
Ajaran Sadra awalnya ditolak di Persia karena dianggap bertentangan dengan spirit metafisika Persia sebelumnya. Namun selanjutnya anggapan itu perlahan terbukti tidak benar. Sehingga selanjutnya ajaran Sadra diterima dengan baik.
Sebaliknya ajaran Hamzah yang mulanya diapresiasi, selanjutnya mengalami penolakan, khususnya oleh Raniri. Dia menolak ajaran Hamzah antara lain karena dianggap telah memasukkan beberapa itikat pemikiran yang dianggap sesat seperti Tasasukiyyah, Jawhar Basit, Wathaniyah, Barahiman, dan Hululiyah. Hamzah dianggap sesat karena menganggap yang menjadikan, yang dijadikan dan aktivitas kejadian adalah satu. Hamzah juga dianggap sesat karena meyakini kekekalan alam seperti itikad Jahamiyah Zanadiqiyyah dan meyakini eksistensi ayan tsabitah itu ril. Itikad kesatuan matahari, cahayanya, dan panasnya adalah satu juga dianggap seperti itikad Nasrani.
Hamzah juga dianggap sesat karena menyifatkan Tuhan dan makhluk seperti Laut. Dan ombak dan melarang itikad hubungan makhluk dan Tuhan seperti kain basah. Air dan kain berbeda. Hamzah juga dianggap sesat karena menerima ajaran Bayazid dan Al-Hallaj. Padahal Hamzah tidak menerima Ittihad dan Hulul. Yazid dan Al-Hallaj sendiri sebenarnya tidak beritikad demikian, melainkan hanya menggunakan istilah itu karena masa itu bahasa tasawuf filosofis masing belum kaya.
Sementara ajaran Sadra dimaknai sebagian sebagai irfan dan sebagian sebagai filsafat. Hasan Muallimi, Jawadi Amuli, dan Sayyid Yadullah Yazdan Panah menggambarkan filsafat Sadra sebagai kesatuan wujud dengan menjelaskan hubungan ketunggalan dan kemajemukan melalui istilah haitsiyyah.
Haitsiyyah Ithlaqiyah adalah mode aspek mutlak seperti wujud Tuhan tidak butuh perantara apapun.
Haitsiyah ta’liliyah yakni relasi model aspek kausatif, seperti hubungan wujud sebab dengan akibatnya. Misalnya hubungan air panas dengan api dijelaskan melalui konsep ini. Api sebagai pemberi efek panas disebut haitsiyah ta’liliyah.
Haisiyah taqyidiyah adalah relasi model aspek kondisional yang mana sesuatu berelasi karena kondisi tertentu. Misal bangku bocor adalah karena ada relasi aku dengan mobil. Relasi ini terbagi tiga.
Haisityah taqyidiyah nafadiyah digunakan dalam menjelaskan mengada mahiyah. Wujud mengada dengan sendirinya. Mahiyah mengada dengan haitsiyah taqyidiyahnya wujud. Misal, wujudnya pohon mengada dengan wujudnya. Mahiyahnya pohon mengada dengan haisiyah taqyidiyah wujudnya pohon.
Haitsiyah taqyidiyah indimajiyah adalah modus relasi wujud bagi ma’qulat tsani falsafi. Sehingga ranah ini bukan tambahan bagi wujud melainkan mewujud melalui haitsiyah taqyidiyah indimajiyah.
Haitsiyah taqyidiyah sya”niniyah adalah gambaran bagi kehadiran jiwa bagi berbagai ranah seperti indrawi, inteleksi, imajinasi, dan sebagainya. Haitsiyah taqyidiyah sya”niniyah juga menjadi gambar hadirnya kemajemukan dalam kesatuan. Gambaran Yazdan Panah itu adalah pemaknaan ajaran Sadra yang sangat bercorak irfan nazari (tasawuf filosofis, wujudiah).
Thabattabai sebaliknya membuat filsafat Sadra menjadi sangat peripatetsi. Dia memisahkan argumen mistis, doktrin, dan burhan selanjutnya fokus pada argumen burhan dalam mengulas sadra.
Thabattabai menunjukkan bahwa fokus dialog Sadra adalah dalam ranah filsafat. Sebab itulah pendekatan filsafat sangat diseriusi Sadra khususnya dalam Asfar. Tbattabai juga memperbarui sistem argumen sains kuno dengan penemuan sains modern dalam argumentasi sadra.
Murid Thabattabai’i,
Muhammad Taqi Misbah Yazdi, juga memberlakukan filsafat Sadra secara sangat peripatetis. Menurutnya puncak filsafat Sadra adalah taskik.
Hamzah dan Sadra sama-sama berhasil mensintesis pemikiran Islam sebelumnya sesuai konteks masyarakat Masing-masing. Hamzah mensisntesi tasawuf filosofis. Di negeri Melayu, yang kuat adalah tradisi neoplatosnisme. Sementara di Persia, Sadra mensintesis nyaris seluruh varian intelektual sebelumnya.
Hamzah mensintesis dan mengajarkan Wujudiah dengan cara sederhana yakni melalui analogi-analogi yang dekat dengan masyarakat. Sementara Sadra melakukan sintesa canggih sesuai tuntutan masyarakat intelektual di masanya.
Banyak pemikir asing dan Nusantara yang masih bisa dikaji secara komparatif. Karya Hamzah masih sangat banyak ruang untuk diteliti. Nilai ajaran Hamzah memiliki sangat banyak nilai aksiologis untuk ditawarkan sebagai solusi atas berbagai persoalan. Demikian juga Pemikiran Sadra masih punya banyak ruang untuk diteliti.
Kajian perbandingan wujudiah Hamzah Fansuri dan Mulla Sadra juga masih bisa difokus pada dimensi tertentu lainnya seperti aksiologi, etika, dan sebagainya.