Konflik Hulu dan Hilir Kesultanan Peureulak dan Samudra Pasai: Perspektif Kenyahjajahan Sosiologi

Pendahuluan

Artikel ini bertujuan melakukan eksplorasi dasar menggunakan kacamata hulu dan hilir yang sepertinya lebih sesuai dengan tipikal sosial masyarakat Melayu-Indonesia-Nusantara. Penelitian menggunakan teori-teori Barat yang telah dianggap mapan dalam dunia akademik sering sekali menimbulkan reduksi berlebihan atas data dan sering kehilangan nuansa lokasi penelitian ketika digunakan sebagai landasan pembingkaian sosial masyarakat Timur. 

Sebagai kasus yang dimajukan, artikel ini ingin melihat kembali konflik yang terjadi antara Peureulak Tunong dan Peureulak Baroh menggunakan perspektif sosiologis hulu dan hilir. Konflik di Peureulak melibatkan kelompok esoterik yang berakar pada Sultan Alaidin Maulana Sayyid Abdul Aziz Shah dan kelompok eksoterik yang dipimpin Meurah Muhammad Amin. Satu bagian lagi adalah mengajukan perspektif hulu dan hilir dalam melihat konflik antara masyarakat hilir yang memajukan Meurah Silu dan masyarakat hulu yang dipimpin Maharaja Bakoy di Samudra Pasai. 

Hulu dan Hilir dalam Masyarakat Melayu-Indonesia-Nusantara

Pada sebuah pertemuan, sosiolog Prof. Syed Farid Alatas mengajukan pandangan agar tidak serta-merta menerima pola pandangang Barat dalam meneliti sosial di Melayu-Indonesia-Nusantara karena realitas sosialnya berbeda. Misalnya di Barat, klasifikasi sosial berdasarkan masyarakat kota dan desa. Cara pandang ini, bila diterapkan di Melayu-Indonesia-Nusantara, berpeluang melahirkan distorsi. 

Profesor Farid mengajukan sebuah tesis melihat pembagian sosial di Melayu-Indonesia-Nusantara adalah pembagian pada masyarakat hulu dan masyarakat hilir. Masyarakat laut atau pesisir dengan masyarakat pedalaman. 

Sungai adalah penentu lahirnya kebudayaan masyarakat di Melayu-Indonesia-Nusantara. Awalnya, sebagaimana dikemukakan seorang antropolog muda, Sumatera misalnya, setidaknya bagian utara, tanpa penghuni. Kemudian orang orang dari berbagai penjuru bumi datang menduduki. Yang datang terkemudian berpindah dari hilir menuju hulu sungai. Kemudian yang datang terkemudian menduduki hilir. Migrasi dari hilir ke hulu tentu terjadi melalui sungai. Hutan tropis tidak bisa ditaklukkan. Hanya sungai satu-satunya jalan.

Mulai dari peradaban masa lalu hingga kota-kota di masa kini, di negeri Melayu-Indonesia-Nusantara, selalu berada di pinggir sungai. Banda Aceh, Meureudu, Samalanga, Geudong, Peureulak, Medan, Palembang, Jakarta, dan seterusnya, semuanya dibangun di pinggir sungai. 

Muhammad Said dalam Aceh Sepanjang Abad menggambarkan dua bangsa Melayu yakni Melayu Tua dan Melayu Muda. Melayu Tua menduduki pedalaman dataran tinggi Sumatera seperti Batak dan Gayo. Melayu Muda mendominasi pesisir. Bila dikaitkan dengan pandangan antropolog muda tadi, maka tentu Melayu Tua itu awalnya menduduki pesisir atau hilir. Kemudian mereka berpindah melalui sungai menuju hulu. 

Muhammad Said menggambarkan perpindahan itu terjadi sebagaimana berpindahnya orang Gayo dari pesisir Pasai menuju dataran tinggi Gayo. Tesis dalam Aceh Sepanjang Abad menggambarkan perpindahan terjadi karena mereka menolak agama Islam. Tesis itu bersumber pada Hikayat Raja-Raja Pasai. Hikayat itu ditulis orang pesisir sebagai pendatang baru ke Pasai. Jadi itu perspektif kelompok penulisnya. Nanti dapat kita buktikan kegalatan tesis itu.

Para pendatang dari berbagai penjuru negeri adalah masyarakat nomaden, petarung, penjelajah, dan seterusnya. Maka ketika mereka menetap di suatu pesisir, keluasan pengalaman, keuletan, dan seterusnya yang mereka miliki dapat menaklukkan pendahulunya yang sudah mulai hidup nyaman, bertani, singkatnya menjadi terdomestikasi. Yuval Noah Harari dalam Sapiens mengatakan, daya manusia yang telah terdomestikasi menjadi amat merosot. Sehingga mereka terpinggirkan secara budaya, dan secara literal, di negeri Melayu, mereka benar-benar harus minggir ke hulu. Saya jadi ingat orang Betawi yang terpinggirkan ke hulu akibat pembangunan Jakarta yang luar biasa berlebihan. Tetapi di seluruh negeri Melayu, yang terjadi memang begitu: yang telah menetap sebelumnya di pesisir harus pindah ke hulu karena kalah bersaing dengan yang datang kemudian. 

Gambaran hulu-hilir bila dijadikan teori untuk melihat sosial masyarakat Melayu, Indonesia, Nusantara, akan lebih sesuai sehingga tidak banyak dari gejala sosial yang terdistorsi. 

Bersama rekan-rekan, saya pernah meneliti tentang konflik dalam kesultanan Peureulak. Tesis yang dimajukan sarjana sebelumnya: konflik itu adalalah ketegangan antara Sunni dan  Syiah. Temuan penelitian kami, ternyata itu merupakan konflik antara sultan dari keturunan Nahkoda Khalifah yang berada di Peureulak Tunong dan dinasti Meurah yang menguasai Peureulak Baroh. Kami menunjukkan bahwa konfliknya bukan persoalan para sultan yang Syiah dan para meurah yang Sunni. Waktu itu tidak ada konflik antara Sunni dan Syiah. Bahkan dua identitas itu pada masa tersebut, belum dikenal. Ternyata, kami nenunjukkan bahwa, konflik tersebut adalah dikarenakan: kelompok meurah di hilir yang berpandangan eksoterik menentang kelompok sultan di hulu yang berpandangan esoterik sehingga menjalankan agama secara integral dengan budaya setempat. 

Penelitian itu kami lakukan menggunakan pisau analisis sejarah Kuntowijotyo. Beliau adalah sejarawan yang terlalu banyak mengambil cara pandang Barat dalam riset sejarah. Klasifikasi sosial ala Barat adalah masyarakat borjuis dan agraris. Skripsi Kuntowijoyo, Peran Borjuasi dalam Transformasi Eropa melihat masyarakat borjuis. Sementara disertasinya tentang Perubahan Sosial dalam Masyarakat Agraris: Madura 1850-1940 melihat masyarakat agraris. Dengan demikian, metodologi sejarah Kuntowijoyo bercorak sangat baratsentris. Sehingga kajian kami untuk Peureulak menggunakan pisau analisis baratsentris. 

Dibutuhkan kemandirian peneliti Melayu-Indonesia agar dapat melahirkan teori-teori yang dapat membuat realitas sosial Indonesia-Melayu tidak terlalu tereduksi, sebagaimana contohnya cara pandang hulu hilir tadi.

Kalau saja kami menggunakan kacamata konsep hulu-hilir untuk mengkaji konflik Peureulak, tentu penelitian kami akan semakin keren. Konsep hulu-hilir yang dipantik Prof. Farid membuka banyak sekali temuan baru yang dapat saya lihat dari konflik di Peureulak. 

Profesor Farid menjelaskan, dengan menggunakan cara pandang hulu-hilir, maka perlu dianalisis kondisi ekonomi, politik, dan segmen sosial lainnya sehingga dapat menggambarkan secara deskriptif masing-masing tempat (hulu dan hilir). Itu dapat memberikan banyak sumbangan dalam rangka menemukan motif konflik secara lebih rinci dan jelas. 

Masyarakat pesisir itu, sebagaimana dijelaskan Prof. Farid, punya watak seperti masyarakat badui di gurun pasir: suka berpindah-pindang, petarung yang andal. Saya menambahkan sebagaimana digambarkan Fritjof Shoun:  ya dan tidak ditentukan dengan pedang. Namun perpindahan masyarakat badui adalah melintasi hamparan mencari oase baru. Sementara perpindahan masyarakat pesisir adalah melintasi hamparan laut mencari daratan baru. Mentalitas masyarakat pesisir inilah yang mampu membuat pendahulunya tersisihkan ke hulu dan mereka mampu menaklukkan masyarakat hulu, sebagaimana takluknya kekuasaan khalifah di Peureulak Tunong dan takluknya Maharaja Bakoy di hulu sungai Pasai yang sepertinya kini wilayah Meurah Mulia dan sekitarnya berkonflik dengan utusan syarif Makkah dalam konflik Samudra Pasai. 

Konflik Peureulak

Dalam bingkai hulu-hilir, saya menemukan bahwa penaklukan meurah yang dipimpin Meurah Muhammad Amin di hilir sungai Peureulak dilakukan bukan semata-mata motif agama. Saya melihat, masyarakat pesisir butuh sumber alam yang cukup untuk dijual di pesisir atau diangkut sendiri ke negeri-negeri tujuan dagang. Sumber alam itu tentunya melimpah di hulu. Maka itu, orang hulu oleh orang hilir, diusahakan agar dapat ditundukkan. 

Sentimen agama dapat menjadi pemicu efektif atas setiap krisis. Maka di Peureulak, pada masa itu, balutan konfliknya adalah harmonisme agama dan budaya lokal dalam cara pandang esoteris oleh masyarakat hulu di Peureulak Tunong yang dipimpin oleh khalifah Aziziyah yang berpangkal pada sultan pertama: Sultan Alaidin Maulana Sayyid Abdul Aziz Shah, berhadapan dengan cara beragama yang lebih literalistik dalam cara pandang eksoterik yang melihat adanya praktik kesyirikan dalam agama yang dipimpin oleh alumni pelajar agama dari Hijaz, Meurah Muhammad Amin. 

Kemenangan Meurah Muhammad Amin tentu saja tidak lepas dari sokongan para pedagang dan masyarakat pesisir yang membutuhkan banyak sumberdaya alam di hulu sungai Peureulak. Di samping itu, mental petarung, keluasan wawasan, dan kecerdasan berpolitik masyarakat pesisir, membuat mereka berhasil menggoyahkan dan selanjutnya meruntuhkan kesultanan Peureulak yang dipegang oleh para keturunan Nahkoda Khalifah itu. 

Konflik Samudra Pasai

Cara pandang hulu-hilur yang sangat sesuai dengan realitas sosial masyarakat Melayu-Nusantara juga berlaku dalam konflik di Pasai. Maharaja Bakoy yang memimpin Pasai berdomisili di hulu. Kekuasaannya terganggu oleh pemberontakan yang terjadi wilayah kekuasaan hilir. Maharaja Bakoy mewarisi cara pandang agama esoterik yang berakar hingga para esoterik di Peureulak. 

Kemajuan Pasai sebagai salah satu bandar utama di Selat Malaka membuatnya membutuhkan banyak sekali hasil bumi untuk diekspor. Juga barang-barang yang diimpor membutuhkan pasar yang kuat. Segala kebutuhan itu hanya bisa dipenuhi dari hulu sungai Pasai (krueng Pasee). Hulu yang awalnya juga berada di bawah kekuasaan Maharaja Bakoy melepaskan diri dan kemudian hendak menaklukkan hulu. Maka tentu Maharaja Bakoy perlu ditundukkan. 

Bandar di hulu sangat membuat Timur Tengah punya kepentingan besar. Tidak hanya dimensi perdagangan, para utusan dari Arab mengirim pendakwah sekaligus diplomat politik yang kemudian meneguhkan Meurah Silu sebagai pemimpin politik dengan gelar Sultan Malik al-Saleh. 

Meurah Silu sendiri sebenarnya adalah berasal dari garis keturunan dari Sultan Alaidin Maulana Sayyid Abdul Aziz Shah. Para syarif Makkah tidak suka menobatkan pemimpin kecuali dari darah Quraish. Meurah Silu punya syarat itu, sekaligus dia merupakan pemuda potensial yang terasing dari Pasai. Setelah pergi berpetualang hingga Peusangan dan Samalanga, barulah kembali ke Pasai dan mendapatkan perlindungan dari kelompok di hilir. Dengan bekal banyak ilmu dan keahlian yang dimiliki, Meurah Silu memiliki peran besar dalam mengatasi kepemimpinan Maharaja Bokoy. Semua kelebihan itu membuat uturan syarif Makkah yakin menobatkannya. 

Tipikal keberagamaan pesisir, sama seperti masa kesultanan di Peureulak Baroh, bersifat lebih praktis dan tekstualis. Cara beragama itu kompatibel bagi masyarakat yang punya banyak kesibukan dengan urusan petualangan, perdagangan, dan bekerja. Berbeda dengan masyarakat hulu yang lebih santai, akomodatif, sehingga sangat menyesuaikan diri dengan lingkungan alam tropis yang menuntut kehati-hatian dalam bertindak sehingga dapat hidup harmonis dengan alam yang ganas. 

Pandangan kesatuan alam, manusia, dan Tuhan dalam sebuah hierarki wujud tampak kompatibel sebagai pedoman berkehidupan masyarakat hulu. Syaikh Abdul Jalil menjadi pemuka spiritual di hulu. Ajarannya itu diikuti dan diapresiasi Maharaja Bakoy.

Cara-cara beragama masyarakat hulu dilihat oleh masyarakat pesisir dan para utusan dakwah dari Arab sebagai suatu keanehan yang mengandung muatan kesyririkan. Karena memang mereka yang datang dari gurun Arab tidak punya problem yang sama dengan masyarakat hutan hujan tropis. 

Perbedaan sikap keagamaan inilah yang menjadi bingkai efektif menaklukkan masyarakat hulu. Mereka dianggap telah menjalankan praktik keagamaan menyimpang. Dalam literatur, Maharaja Bakoy dituduh ingin mengawini putrinya sendiri. Istilah “menikahi putrinya sendiri” merupakan alegori religius yang bermakna melakukan tindakan di luar syariat. Kaum sufi, khususnya sufi falsafi sebagaimana diajarkan Syaikh Abdul Jalil dan diapresiasi Maharaja Bakoy kepada masyarakat Pasai, dianggap oleh kelompok pendakwah dari Arab telah melakukan tindakan melanggar syariat sehingga patut diperangi. 

Maka ditaklukkanlah Maharaja Bakoy beserta pengikutnya. Dengan demikian, kekuasaan Pasai menjadi sangat luas dan mampu memenuhi kebutuhan untuk ekspor dan mampu mendapatkan pasar dalam rangka impor. Kekuasaan yang didukung para pendakwah dari Arab pun menjadi sangat kuat. Bahkan mampu menaklukkan wilayah Samudra hingga kerajaan itu menjadi Samudra Pasai.  

Cara beragama yang sistematis orang pesisir di Pasai itulah yang tampaknya membuat orang Gayo kurang puas sehingga mereka memilih pindah ke hulu sungai Pasai. Sulit diterima tesis yang berpandangan orang Gayo menolak agama Islam. Karena agama itu telah berada di Pasai di bawah kekuasaan Maharaja Bakoy lama sebelum kesultanan Samudra Pasai didirikan. Tampaknya yang mereka tolak adalah sikap keberagaan yang berbeda dengan sebelumnya. Kemudian orang Gayo menyebar di dataran tinggi selatan Payabakong. Perpindahan itu tentu terjadi melalui sungai. Ketika masa modern orang kolonial Belanda ingin membuka akses ke negeri Gayo, mereka harus melakukan usaha yang sangat keras dan mengeluarkan uang sangat banyak dengan membangun jalan Takengon-Bireuen. Itu terjadi karena mereka memilih jalur darat, berbeda dengan jalur masa lalu via sungai. 

Penutup

Tulisan ini diharapkan dapat menjadi pemantik untuk dilakukannya penelitian sejarah yang lebih sistematis dengan data-data yang lebih akurat. Pendekatan cara pandang hulu-hilir bisa dimajukan dalam rangka menjadikan bingkai penelitian menjadi lebih mampu menjelaskan fenomena siosial Melayu-Indonesia-Nusantara. Penelitian menggunakan bingkai baratsentris disadari telah memberikan banyak kekurangan dalam rangka meneliti dunia Timur, khususnya Melayu-Indonesia-Nusantara. Bahkan tidak jarang bingkai mereka melahirkan pemutarbalikan fakta, baik disengaja maupun tidak. 

Harapannya, penelitian selanjutnya diharapkan dapat meluruskan tesis dari artikel ini, khususnya mengenai latar belakang Meurah Silu yang memang data yang tersedia sangat simpang-siur. Data-data mengenai Maharaja Bakoy yang sangat terbatas juga perlu dilacak secara lebih serius agar dapat menanggapi artikel ini secara lebih akurat. Maka itulah saya tidak mengajukan referensi detail sebagaimana sebuah karya ilmiah. Supaya peneliti dapat mengeksplorasi sendiri data-data dari analisis literatur yang akurat. 

Sebagaimana Pof. Syed Farid Alatas mengatakan bahwa selayaknya sosiologi Ibn Khaldun tidak hanya digunakan sebagai data, namun dapat dirumuskan menjadi teori, sebenarnya banyak pikiran-pikiran dari intelektual di Indonesia juga tidak hanya dipandang sebagai data, tetapi juga dapat dirumuskan menjadi teori, menjadi bingkai analisis sosiologi dan bahkan kajian sejarah. 

Pikiran-pikiran R.A Kartini misalnya, dapat dirumuskan menjadi landasan teoretik memajukan teori sosial Indonesia sebagai mazhab debaratsentris. Demikian juga pikiran-pikiran Pramoedya Ananta Toer dalam novel-novelnya juga dapat dirumuskan menjadi sebuat teori sosial yang relevan mengkaji Indonesia. Karya Pram yang merupakan karya sastra bukan masalah menjadikannya basis teori ilmial. Kita perlu ingat bahwa Republik Plato telah lebih dua ribu tahun menjadi paradigma kajian sosiologi, politik, epistemologi. Buku fenomenal itu ditulis dalam bentuk sebuah novel. Demikian juga karya-karya Nietzsche yang umumnya bercorak sastawi telah menjadi basis postmodernisme. 

Bayak intelektual Indonesia lainnya yang pemikiran-pemikiran mereka dapat dirumuskan menjadi basis teori berbagai disiplin keilmuan. Dengan begitu, bias baratsentris, perspektif kolonialis, orientalis, yang berpeluang memberikan ketidakpuasan atas kajian Melayu-Indonesia-Nusantara dapat diatasi. Saatnya merumuskan teori kenyahjajahan sosiologi, dekolonialisasi:  mengenyahkan kemaruk perspektif kolonial, mengurangi kecenderungan penelitian yang berbias teori dan paradigma Barat. 

Baca Juga

“Pulitek” Orang Aceh: Politik Keterusterangan

Pengalaman-pengalaman serupa tentulah dapat kita temukan di berbagai kesempatan, bahwa dalam relasi sosialnya, terutama dalam dunia politik, keterusterangan merupakan tipikal dari orang Aceh.

Kisah Persahabatan di Balik Meja Kerja

Waktu terus berjalan, tetapi persahabatan dan kenangan di balik meja kerja itu tetap hidup dalam hati mereka. Meskipun jalan hidup membawa mereka ke berbagai arah, ikatan yang telah terbentuk selama bertahun-tahun tidak akan pernah hilang.

BUKAN DI TANGAN MPR

Malah, sekarang, kita lebih mengkhawatirkan kapasitas partai politik, yang lebih mengejar hasil instan elektoral dengan mengajukan pelawak sebagai calon wakil walikota.

MEKKAH YANG DEKAT

Mekkah adalah tanah impian. Semua muslim mendambakan menginjakkan kaki di sana. Dari Mekkah, tempat di mana sakralitas ibadah haji dilakukan, cerita mengenai hubungan muslim dengan Tuhan dan masyarakatnya bermula.

Menyoal Frasa Wali Keramat dalam Cerpen Ada Sepeda di Depan Mimbar

Namun, pada poin kedua, di sini, imajinasi Khairil Miswar sama sekali bertolakbelakang dengan imajinasi saya. Gambaran imajinatif sosok Teungku Malem yang dianggap wali keramat, namun dia menghasut Tauke Madi untuk tidak lagi memperkerjakan orang yang tidak salat, bukan main anehnya