Langsa Kota Paling Toleran

 

Pertama-tama, harus disyukuri bahwa sebuah lembaga survey, telah mengeluarkan Kota Langsa dari daftar kota-kota intoleran di Indonesia. Dengan demikian, Kota Langsa kembali kepada ”reset pabrik”, yakni kota toleran. Bahkan menurut saya, Langsa adalah kota paling toleran. Sayangnya, lembaga tersebut memasukkan tiga kota di Aceh sebagai kota intoleran yakni Banda Aceh, Sabang, dan Lhokseumawe.

Kita sebenarnya heran kenapa beberapa kota di Aceh tersebut digolongkan sebagai kota intoleran. Sepertinya lembaga survey itu perlu eksplorasi fenomenologis, tidak hanya survey.
Saya tidak tahu persis bagaimana lembaga itu menentukan skor. Saya menduga, kasus-kasus intoleransi terkait keberagamaan menjadi kredit poin penting sebagai ukuran intoleransi.

Beberapa tahun lalu, beberapa tindakan intoleran pernah terjadi di Langsa yakni penolakan kost buat mahasiswa dan mahasiswi Kristen di sekitar lokasi kampus dan teguran kelompok agama ke sebuah kafe. Namun kasus-kasus itu hanyalah tindakan aksidental oknum tertentu yang sama sekali tidak berpengaruh terhadap harmonisme Langsa sebagai kota multikultural. Sebab itulah, kejadian-kejadian itu dapat diatasi dengan baik.

Mengenai Banda Aceh yang masih masuk sebagai kota intoleran, saya tidak tahu persis. Begitu jauh jarak antara saya dan kota itu. Namun saya menduga, usaha-usaha beberapa akademisi perguruan tinggi keagamaan dalam mengupayakan munculnya regulasi-regulasi tertentu adalah kredit penting untuk skor intoleransi. Beberapa regulasi dimaksud memang semakin membuat Aceh terkesan eksklusif dan jauh dari nilai-nilai Kutaraja sebagai kota kosmopolit sebagaimana masa Hamzah Fansuri.

Tentang Sabang saya benar-benar tidak tahu. Mungkin karena kota itu adalah kota wisata, jadi disorot secara intens.
Demikian juga dengan Lhokseumawe. Saya tidak tahu pasti kenapa masuk daftar. Kalau ingin mengatakan sebagian kelompok tertentu melakukan penertiban atas kafe-kafe, itu adalah kejadian-kejadian bertahun-tahun yang lalu. Namun untuk kebutuhan sebuah riset tentang kafe remaja, saya kekurangan data data di kota itu. Mungkin saja para remaja ngafenya ke Bireuen. Kota itu memberikan kesempatan baik bagi remaja untuk ngafe.

Hal menarik dari Bireuen adalah, meskipun di sana dapat menjadi destinasi favorit bagi remaja untuk ngafe, namun pengawasan pihak pengawal regulasi tidak kendur. Mereka punya cara cerdas dalam menjaga keseimbangan antara eksistensi kafe sebagai tempat mencari nafkah ribuan orang dan tegaknya regulasi dan kebijakan. Semoga saja kota-kota lain dapat belajar kepada para pengawal regulasi di Kota Juang itu.

Kembali ke Langsa, kota tersebut merupakan kota paling heterogen. Ragam suku dan ragam agama berbaur di sana. Namun harmonisme warganya masih paling top. Saya penasaran kepada lembaga yang menerbitkan skor kota intoleran. Apakah mereka memiliki landasan ontologis dan epistemologis dalam menentukan skor. Secara ontologis, Langsa misalnya, ketika dimasukkan sebagai kota intoleran beberapa tahun lalu, tidakkah itu terlalu berlebihan, mengingat hanya karena satu dua kasus, multikulturalisme yang memang merupakan pembentuk identitas kota Langsa menjadi terabaikan.

Langsa dibangun dengan multikulturalisme. Menurut sebuah riwayat, Kota Langsa didirikan bersama-sama oleh dua kerajaan yakni Kerajaan Elang dan Kerajaan Angsa. Dua kerajaan ini berbaur dan berdirilah sebuah kota. Dalam perspektif sejarah modern, pada awalnya, Kota Langsa berdiri dengan dibangunnya perkebunan oleh kolonial dengan mendatangkan banyak orang, yang umumnya dari Pulau Jawa.

Kemudian datang orang Minang untuk berdagang, orang Aceh dan Melayu datang untuk mengajar, orang Mandailing dan orang Batak datang untuk menjadi pegawai, dan sebagainya.
Dengan demikian, multiklturalisme adalah darah daging Kota Langsa. Berbagai etnis telah menurunkan beberapa generasi. Semuanya saling bertetangga, berelasi, berbaur, kawin mawin, dan seterusnya.

Dengan demikian, Langsa merupakan salah satu kota paling multikultural di Indonesia. Sepanjang sejarah, krisis besar dan berkepanjangan tidak pernah terjadi dan tidak pernah melibatkan identitas tertentu baik kesukuan maupun agama.

Pertanyaannya adalah, apakah identitas multikultural semacam ini tidak masuk dalam kredit skor toleransi lembaga itu, sehingga satu atau dua kasus intoleransi oleh pihak dan oknum tertentu yang mengatasnamakan identitas tertentu menyebabkan kredit intoleransi Kota Langsa melonjak seketika hingga sempat masuk ke dalam daftar kota intoleran di Indonesia.

Untung saja Kota Langsa telah keluar dari daftar kota intoleran. Namun hal ini tidak memberikan jaminan Langsa untuk tahun-tahun berikutnya tidak akan lagi masuk ke dalam daftar kota intoleran.

Saya menduga kredit skor intoleransi sangat bergantung pada sebuah tindakan intoleran oleh oknum tertentu yang sebenarnya tindakan tersebut sangat parsial dan akidental; namun kredit poinnya sangat tinggi apabila menjadi viral.

Secara karakter, individu-individu warga Kota Langsa umumnya adalah orang yang berpendidikan tinggi dan berwawasan luas, khususnya karena alasan ramai di antaranya adalah orang yang telah pergi ke mana-mana; sudah bertemu dengan banyak orang yang berbeda suku dan beda agama.
Di Langsa sendiri, umat Kristen dan Budha hidup rukun bersama kaum Muslim. Sementara itu, tindakan intoleran yang menjadi ukuran lembaga survey itu adalah intoleransi beragama. Dengan demikian, kredit intoleransi muncul ketika terjadi tindakan yang dianggap intoleran dalam agama.

Dengan demikian, kelompok agama menjadi penentu utama poin toleransi-intoleransi. Sehingga harapan kita adalah, setiap kelompok agama harus menunjukkan sikap-sikap yang mencerminkan toleransi dalam urusan-urusan dan narasi-narasi menyangkut agama.

Kelompok agama perlu mempertimbangkan bahwa bila Langsa masuk ke dalam kota intoleran, banyak orang akan menduga bahwa kota tersebut tidak menawarkan kenyamanan. Tanpa kenyamanan, tentu saja investasi akan sulit didapatkan. Padahal dengan adanya investasi, kesejahteraan masyarakat dapat ditingkatkan. Dengan meningkatnya kesejahteraan, semua pihak dapat belajar dan mengaji dengan nyaman. Lembaga-lembaga pendidikan agama di kota itu dapat menjadi pilihan warga Kota Langsa dan masyarakat dari tempat yang jauh.

Di samping itu, kelompok agama, pemerintah, dan perguruan tinggi punya peran besar dalam menghindarkan kota Langsa dari kemungkinannya masuk daftar kota intoleran. Pemerintah harus dapat membangun hubungan harmonis dengan semua elemen pemuka agama sehingga dapat terbangun integrasi.

Perguruan tinggi punya tanggungjawab besar antara lain memastikan civitas akademikanya memiliki pandangan keagamaan yang moderat dan inklusif. Perguruan tinggi juga bertanggungjawab untuk menginternalisasikan nilai-nilai moderat kepada mahasiswanya, sehingga mereka tidak terjebak oleh narasi-narasi intoleran dalam agama.

Perguruan tinggi di Kota Langsa, khususnya perguruan tinggi keagamaan, harus mengambil peran penting dalam mengawal Kota Langsa agar terus menjadi kota yang paling moderat, paling inklusif, dan paling toleran.

Editor: KM

Baca Juga

Biografi Hamzah Fansuri

Hamzah Fansuri lahir sekitar pertengahan abad ke-15 pada periode akhir Samudra Pasai. Beliau mengenyam pendidikan pada Zawiyah Blang Pria. Kemudian hijrah ke Singkil dan mengajar pada lembaga pendidikan di sana. Tidak lama kemudian, melalui Barus, Hamzah Fansuri bertolak ke Timur Tengah untuk menuntut ilmu. Kembali ke Aceh, Hamzah Fansuri menetap di Fansur yakni Ujong Pancu, Peukan Bada, Aceh Besar.

Ragam Orientasi Bahasa Indonesia (Asal Usul Bahasa Persatuan)

Karya ilmiah Sutan Takdir Alisjahbana seperti Perkembangan Sejarah Kebudayaan Indonesia Dilihat dari Segi Nilai-Nilai  telah menunjukkan tentang bagaimana bahasa Indonesia sangat mampu menjadi sarana penulisan ilmiah. Penulisan ilmiah yang membuktikan kompatibilitas tinggi bahasa Indonesia sebagai sarana penulisan ilmiah selanjutnya juga dapat dilihat dalam karya Ignas Kleden, Sikap Ilmiah dan Kritik Kebudayaan. Tulisan ilmiah tentang agama juga ditulis oleh Sutan Takdir Alisjahbana yakni Pemikiran Islam dalam Menghadapi Globalisasi dan Masa Depan Umat Manusia. Karena memang bahasa Indonesia yang dulunya dalam format bahasa Melayu telah digunakan oleh Hamzah Fansuri, Syamsuddin Al-Sumatrani, Abdurrauf Al-Singkili, dan lainnya, telah sangat baik menjadi sarana komunikasi literatur agama.

Penyebaran Modern Bahasa Melayu Pasai (Asal Usul Bahasa Persatuan)

Bahasa Melayu Pasai yang telah luas penyebarannya telah menjadi sarana komunikasi efektif dalam menyatukan masyarakat Nusantara. Penguasaan bahasa Melayu Pasai yang sangat luas juga menyebabkan terjadinya penyerapan berbagai kosakata lokal masing-masing. Sehingga membuat bahasa Melayu Pasai itu terus mengalami penyempurnaan sebagai bahasa persatuan.

Transformasi Bahasa Melayu Pasai (Asal Usul Bahasa Persatuan)

Dalam pengantar karyanya Mir’at Al-Tullab Abdurrauf Al-Singkili menegaskan:

“Maka bahwasanya adalah Hadarat yang Mahamulia (Paduka Seri Sulthanah Taj Al-‘Alam Safiat Al-Din Syah) itu telah bersabda kepadaku daripada sangat lebai akan agama Rasulullah bahwa kukarang baginya sebuah kitab dengan bahasa Jawi yang dibangsakan kepada bahasa Pasai yang muhtaj (diperlukan) kepadanya orang yang menjabat qadi pada pekerjaan hukmi daripada segala hukum syara’ Allah yang mu’tamad pada segala ulama yang dibangsakan kepada Imam Syafi’i radhuallahu ‘anhu”  :