Mencari Arah Baru Moderasi Islam

Ilustrasi: www.dar-alifta.org

Apapun definisi yang kita buat terhadap “modern Islam”, landasannya tetap sama yaitu respons inteligensia muslim atas modernisme yang berkembang di dunia Barat.

Berbagai varian modernisme Islam muncul dari cara pandang dan sikap inteligensia muslim atas modernisme. Sir Sayyid Ahmad Khan punya cara sendiri. Jamaluddin Al-Afghani, Muhammad Abduh, dan Rasyid Ridha punya cara yang berbeda dengan Hasan Al-Banna Dan Sayyid Qutb. Demikian Juga Syed Amir Ali dan Ali Abdel Raziq juga punya cara tersendiri. Demikian juga Sir Muhammad Iqbal punya cara berbeda.

Dalam konteks keindonesiaan, di Minangkabau moderasi dilakukan oleh para alumni Hijaz seperti Haji Miskin, Haji Piobang, dan Haji Sumanik. Di pulau Jawa, moderasi Islam dimulai oleh HOS Tjokroaminoto yang mendirikan Sarekat Islam. Selanjutnya secara terus-menerus berbagai varian moderasi Islam lahir dan berkembang. KH Ahmad Dahlan, Haji Agus Salim, Prawoto Mangkusasmito, Hamka, dan lainnya, punya pemikiran yang berbeda-beda dalam melakukan moderasi Islam.

Di Aceh, moderasi Islam ditandai dengan munculnya inteligensia modernis dan berdirinya beberapa organisasi seperti Serikat Islam di Aceh dipimpin oleh Teungku Abdul Manaf, gerakan moderasi Teungku Syaikh Abdul Hamid Samalanga. Organisasi modern seperti Muhammadiyah dan Sarekat Islam juga masuk ke Aceh.

Moderasi Islam di Aceh menjadi lebih sistematis dengan didirikannya lembaga pendidikan Islam modern. Tuanku Raja Keumala mendirikan Madrasah Khairiah pada 1916. Lalu Sayid Husin Syahab mendirikan Madrasah Ahlus Sunnah wal Jama’ah di Idi Aceh Timur pada 1928. Teungku Abdurrahman Seulimum mendirikan Perguruan Al-Islam. Kemudian Teungku Abdurrahman Meunasah Meucap mendirikan Jami’ah Almuslim di Matanggumpangdua.

PUSA merupakan gerakan moderasi Islam terbesar di Aceh. Perannya sangat besar, khususnya dengan berdirinya Normaal Islam Institute di Bireuen yang menjadi lumbung moderasi pendidikan Islam modern. Lembaga tersebut telah melahirkan sangat banyak guru agama yang mengajarkan Islam dengan pendekatan moderat. Di Normaal Islam Institute, intelektualitas dan ideologi digembleng secara ketat.

Pasca kolonialisme, berbagai organisasi baru lahir dalam rangka melanjutkan moderasi Islam. Pelajar Islam Indonesia (PII) Himpunan Mahasiswa Islam (HMI), dan Gerakan Pemuda Islam Indonesia (GPII) adalah gerakan Islam yang lahir dalam rangka mendukung kiprah politik Masyumi.

Selanjutnya setelah Masyumi dibubarkan, Dewan Dakwah Islam Indonesia (DDII) lahir untuk meneruskan ideologi keislaman.

Dalam lembaga pemerintahan, perguruan tinggi Islam pada masa Mukti Ali dan Harun Nasution, moderasi pembelajaran keagamaan menjadi semakin berkembang. Akhir-akhir ini perguruan tinggi Islam fokus pada kualitas publikasi ilmiah dengan mengedepankan teori-teori sosial yang dilahirkan para pemikir Barat.

Keberhasilan besar moderasi Islam oleh Kementerian agama dapat dilihat dari suksesnya program MAPK yang digagas Munawir Sadzali yang telah melahirkan banyak inteligensia muslim yang berkarier di lembaga pendidikan dan birokrasi. Tingginya gairah keilmuan dan berpandangan progresif merupakan ciri khas alumni MAPK.

Di samping bentuk kelembagaan moderasi Islam juga sagat dipengaruhi oleh semangat inteligensia modernis progresif seperti M. Dawam Rahardjo, Ahmad Syafi’i Ma’arif, Nurcholish Madjid, Budhy Munawar-Rachman, Haidar Bagir, dan beberapa nama lainnya.

Namun seiring perubahan zaman, bentuk moderasi Islam tentu semakin berkembang. Kenyataan ini menimbulkan banyak sekali pertanyaan seperti bagaimana bentuk ideal moderasi Islam untuk Indonesia? Seperti apakah gambaran ideal moderasi yang diharapkan lembaga keislaman modern seperti lembaga-lembaga pendidikan keagamaan dan organisasi-organisasi keislaman modern? Langkah apa saja yang telah ditempuh? Bagaimana arah baru moderasi ideal yang diharapkan? Dan seterusnya.

Ilustrasi: dar-alifta.org

Baca Juga

“Pulitek” Orang Aceh: Politik Keterusterangan

Pengalaman-pengalaman serupa tentulah dapat kita temukan di berbagai kesempatan, bahwa dalam relasi sosialnya, terutama dalam dunia politik, keterusterangan merupakan tipikal dari orang Aceh.

Kisah Persahabatan di Balik Meja Kerja

Waktu terus berjalan, tetapi persahabatan dan kenangan di balik meja kerja itu tetap hidup dalam hati mereka. Meskipun jalan hidup membawa mereka ke berbagai arah, ikatan yang telah terbentuk selama bertahun-tahun tidak akan pernah hilang.

BUKAN DI TANGAN MPR

Malah, sekarang, kita lebih mengkhawatirkan kapasitas partai politik, yang lebih mengejar hasil instan elektoral dengan mengajukan pelawak sebagai calon wakil walikota.

MEKKAH YANG DEKAT

Mekkah adalah tanah impian. Semua muslim mendambakan menginjakkan kaki di sana. Dari Mekkah, tempat di mana sakralitas ibadah haji dilakukan, cerita mengenai hubungan muslim dengan Tuhan dan masyarakatnya bermula.

Menyoal Frasa Wali Keramat dalam Cerpen Ada Sepeda di Depan Mimbar

Namun, pada poin kedua, di sini, imajinasi Khairil Miswar sama sekali bertolakbelakang dengan imajinasi saya. Gambaran imajinatif sosok Teungku Malem yang dianggap wali keramat, namun dia menghasut Tauke Madi untuk tidak lagi memperkerjakan orang yang tidak salat, bukan main anehnya