Mendadak Pengantin

Hitam manis, si hitam manis
yang hitam manis, pandang tak jemu
si hitam manis pandang tak jemu
hitam manis, hitam manis

Saiful menyanyikan lagu sendu lama itu secara tak beraturan bukan karena tidak beralasan. Dia punya alasan: Balas berbalas pesan singkat seperti ini:

”Apa kamu mirip Twinkle Khanna, ya? Kadang saya membayangkan kamu mirip Rafeena Tandon. Tentunya kamu lebih cantik dari Aishwarya Ray. Kuduga kau mirip Madonna: Tentu saja waktu dia masih muda.”

”Apakah kamu sedang mempermainkan wajahku?”

”Tapi wajahmulah yang selalu setia mempermainkan imajinasiku.”

”Aku ada satu permintaan, maukah kamu mengabulkannya?”

”Silakan Tuan Putri. Dengan senang hati akan hamba penuhi.”

”Bisakah imajinasi dan khayalanmu menghapus wajahku?’

”Ampuni hamba Tuan Putri. Pikiran hamba terlalu liar untuk dapat hamba kendalikan. Sebenarnya ini bukan keinginan hamba. Bila Tuan Putri tidak ingin imajinasi ini liar lagi, mohon tuan putri memberikan jawaban: Di antara Madonna, Aishwarya Ray, dan Ronaldinho, Tuan Putri lebih mirip siapa?”

”Saya lebih mirip ibu dan bapak saya.”

Itu bukan jawaban. Tapi Saiful yakin dia lebih mirip Aishwarya Ray: Hitam manis, hidung mancung, dengan mata paling indah di dunia.

Sejak pertama berhubungan melalui udara, wajah perempuan itu belum pernah dilihatnya secara langsung. Hanya foto yang tidak memperlihatkan wajah dengan jelas yang bisa ditemukan Saiful melalui sebuah media sosial. Tapi Saiful begitu nyaman dengan namanya: Cut Nyak Rahmah Idris.

Saiful tak peduli dia cantik atau manis. Karena belum melihat jelas wajah perempuan itu, jadi imajinasi dan khayal Saiful bebas menembus-nembus awan-awan berlapis yang membuat malam menjadi pekat, mencari wajah gadis idamannya di sela-sela kulit otak di dalam kepala.

Kadang Saiful terbayang wajah perempuan itu lebih cantik dari Cinta Laura. Sering pula wajahnya mengalahkan bentuk wajah maha indah Rafeena Tandon. Tapi kadang-kadang terbayang domba paling gemuk dalam Shaun the Sheep, yang makan apa yang ada, termasuk radio.

Sebenarnya bisa saja Saiful memeriksa perempuan yang membuatnya terpesona melalui mesin pencari di udara. Wajahnya mungkin saja lebih jelas ditemukan melalui internet. Tapi itu selalu diurungnya. Mungkin karena Saiful tidak ingin membatasi imajinasi tentang keindahan perempuan itu dalam persepsi konkret. Mungkin juga karena jarang punya kuota internet.

“Aku tidak ingin mengurung dirimu dalam warna dan bentuk. Kamu harus terus menjadi Aishwarya Rai-ku,” berkata Saiful pada dirinya sendiri.


Pulang dari Jakarta, keesokan harinya langsung berangkat ke arah timur dekat Lhokseumawe. Obsesi bertemu dengan Rahmah membuat Saiful berbunga-bunga. Karena itu, kadang pemuda itu menyanyikan lagu India, kadang lagu nostalgia, selama dalam perjalanan menuju kota tempat gadis itu tinggal selama sekolah di perguruan tinggi.

Hari mulai gelap.

”Sedang bahagia rupaya?” tegur seorang laki-laki umur lima puluhan di dalam angkutan umum. Saiful memperbaiki posisi duduk. Perasaan gembira masih menghiasi seluruh rongga dadanya. Ia tidak menjawab pertanyaan penumpang di sampingnya itu. Hanya menghadiahi sebuah senyum.

Sementara itu, Cut Nyak Rahmah Idris baru saja pulang dari warung tidak jauh dari rumah. Saat ini dia sedang memasak di dapur. Dia belum makan sedari siang. Seharian dia di kampus untuk menyelesaikan administrasi tugas akhir. Dan kini hanya akan makan mie instan.

Rahmah menyeka keningnya dengan belakang tapak tangan. Mungkin untuk mengusir beberapa bulir keringat yang ada di sana. Setelah mie diseduh di mangkok, diletakkan di atas meja. Hatinya sedang berbahagia. Dilihatnya ponselnya di atas meja. Diambil.

Rahmah melangkah keluar. Di teras rumah dia duduk di atas kursi yang dikawani meja dan satu kursi lagi. Dua belah jempol tangan menari-nari di atas tombol ponsel yang kecil-kecil. Delapan jari lainnya menyangga benda kesayangannya itu. Semakin disayang saja benda itu beberapa waktu belakangan.

”Sudah sampai di mana, wahai Tuan? ” pesan dikirim.

”Wahai Gusti Putri, ampun beribu ampun Gusti Putri. Saat pesan Gusti Putri hamba baca, hamba sudah berada di Simpang KKA. Ketika balasan ini hamba tulis, telah pula hamba berada di seputaran Krueng Mane. Hamba perkirakan saat pesan ini dibaca olehmu, hamba sedang di atas empat roda melintasi Batuphat dengan kecepatan di atas seratus kilometer perjam. Ya, kendaraan ini larinya sekencang kereta api yang biasa mengantar kami Jakarta-Yogyakarta. Tahukah kamu, Kulon Progo namanya. Indah bukan namanya?”

Dengan malas, campur suka, Rahmah menarikan kembali dua jempolnya di keypad.

”Ya udah, hati-hati aja.”

Teringat mie instannya yang mungkin sudah bengkak di dapur, Rahmah berlari kecil menuju dapur. Pintu kamarnya terbuka. Terlihatnya cermin yang digantung di dinding kamar. Dia masuk. Menghadapkan wajahnya ke cermin. Dia bicara sendiri:

”Tuan Saiful, apakah aku ini layak untumu? Ah, tidak. Kamu terlalu tampan. Hamba hanya gadis kampung. Lagi pula…,” Rahmah mencium pangkal lengan bagian bawah bajunya ‘Hamba bau sekali. Tapi aku tidak akan mandi. Biarlah kau jumpai aku, untuk pertama kali ini, kau lihat aku apa adanya. Dalam keadaan terburuk. Sebab nanti, bila Allah merestui, hari-hari yang kau lalui bersamaku adalah dalam keadaanku seperti ini.”

Rahmah tidak suka dengan tingkah perempuan selama ini yang memakai dempul tebal di wajah mereka agar terlihat cantik. Itu menipu orang lain. Apalagi menipu calon pasangan. Itu tindakan yang membahayakan.

Di dalam minibus Saiful merasan semakin deg-degan. Rasa penasaran yang terakumulasi selama beberapa bulan kini meluap semua.

Selama ini Saiful membiarkan imajinasinya melambung tinggi. Menghayalkan tentang pujaan hatinya. Kalau mau dia dapat membuka mesin pencari. Setidaknya bisa jadi gambar perempuan itu tertangkap mesin pencari. Tapi Saiful tidak mau. Internet terkadang menipu.

Di tempat lain, di depan cermin, Rahmah masih terpaku. Pandangannya menembus kaca melintasi bayangan dirinya, melampaui dinding di balik kaca. Perasaannya bercampur aduk. Ada rasa senang dan bahagia, ragu yang tak beralasan, ada rindu yang sejenak lagi akan tumpah, ada rasa takut yang hampir-hampir ditemui alasannya kenapa.

Rahmah teringat Saiful pernah berkata gadis-gadis pada iklan shampoo terlihat lebih cantik saat rambutnya kusut. Ada keteduhan, sifat alami, ada aura diri yang terpancar saat belum mandi. Ada alasan yang baik untuk sifat malas mandi bagi setiap wanita yang kekasihnya punya cara pandang seperti Saiful. Maka Rahmah tidak akan bersolek seperti badut. Dia hanya melototi cermin dengan bola mata besarnya. Memastikan tidak ada kotoran mata.

Bapak Idris menyewakan rumah di salah satu komplek perumahan tidak jauh dari Lhokseumawe untuk anak perempuannya selama kuliah.

Saiful turun di tempat yang Rahmah instruksikan. Pemuda itu mulai memasuki kompleks, mencari nama jalan yang Rahmah sebutkan. Tidak ketemu. Lelah.

Saiful menemukan musola yang tampak sederhana di dalam kompleks itu. Dia masuk dan berwudhu. Bagian dalam musola jauh lebih mewah dari bagian luarnya. Meskipun waktu salat baru tiba, menemukan musola yang tidak ada seorang pun salat fardhu di dalamnya adalah hal biasa. Apalagi waktu Isya. Terkadang warga masih melakukan tahlil di rumah duka.

Pencarian dilanjutkan. Insruksi melalui udara terus membimbing Saiful. Akhirnya dia menemukan rumah tujuan. Persis sesuai instruksi. Tidak salah lagi. Saiful berdiri kaku di depan pagar. Sedikit berbahaya bertamu. Sudah mulai larut malam. Apalagi ke rumah lawan jenis bukan muhrim. Tapi Saiful tidak perlu terlalu khawatir, kata Rahmah, dia tidak tinggal sendiri.

Saiful takut dan gemetar. Tentang kondisi di situ. Tentang kondisi hatinya, dia gelisah. Semuanya dipertaruhkan saat itu. Sebentar lagi, seorang wanita yang dikhayalkan kecantikannya melebihi ratu mana pun akan segera dia jumpai langsung. Hari-hari tidak pernah Saiful lewati tanpa berbalas-balas pesan dengan dia. Suara Rahmah sudah sangat akrab di telinga Saiful, melebihi akrabnya suara induk ayam bagi telinga anak-anaknya.

Pintu pagar bewarna hitam tertutup. Perasaan Saiful jadi tidak enak. “Kalau tahu mau ada tamu kenapa dia tutup pintu,” Saiful menggerutu.

Pemuda itu ragu campur takut. Tiba-tiba pria kurus tinggi itu berubah gemetar. Bagaimana tidak. Selama ini Saiful hanya mengenal Rahmah melalui ponsel. Saiful membeli sebuah ponsel bekas di toko ponsel yang dijaga seorang laki-laki asal daerahnya. Di toko itu, banyak orang asal daerah Saiful yang tinggal di Jakarta berlangganan. Di kontak telepon ponsel bekas yang baru dibeli itu, ada sebuah nama yang membuat Saiful Terkesan: Cut Nyak Rahmah Idris.

Bagi seorang pemuda lajang seperti Saiful, itu nama yang unik sekali. Ditelepon langsung.
Suara perempuan menyahut, “Halo, Assalamu’alaikum.”
Saiful langsung yakin yang mengangkat itu orang sedaerah dengannya. Lidah tidak bisa berbohong.

Tapi suara itu terdengar seperti suara anak SD. Saiful sempat menduga yang punya nama di nomor kontak adalah ibunya si pengangkat telepon. Tetapi Saiful berpikir, apa salahnya mencoba.

“Kakak mana, dek?”

“Kakak?” suara itu terdengar bingung, “Enggak ada kakak!? Enggak punya kakak.”

“Loh, jadi ini nomor siapa?”

“Memangnya mau menelepon siapa?”

“Cut Nyak Rahmah.”

“Itu nama saya.”

“Sekolah kelas berapa?” Saiful bertanya karena heran kenapa ada anak SD sudah pegang ponsel dan namanya disimpan di hape oleh orang lain.

“Sudah kuliah.”

Saiful terdiam. Kenapa sudah mahasiswa suaranya terdengar seperti anak kecil? Oh, memang ada orang seperti itu dan tidak sedikit. Apalagi perempuan.
Selanjutnya mereka menjadi semakin sering berkomunikasi via ponsel.

Terkesan dengan nama, kemudian Saiful menemukan teman yang enak diajak mengobrol. Pada perbincangan suatu kali, pemuda itu mengajak Rahmah berbicara tentang cinta dan makna kehidupan. Perempuan itu mampu memberi gambar ke dalam imajinasi seindah lukisan Leonardo Da Vinci. Kata-katanya seindah yang diuntai Kahlil Gibran. Saiful menyimpulkan Rahmah adalah orang yang memaknai hidup dengan baik. Begitu bersahaja dalam kesehariannya. Dan yang paling mengesankan Rahmah sanggup jatuh cinta dan berjanji setia selamanya, walau dengan pemuda yang belum pernah dia kenal, walau wajahnya belum dia tahu persis. Wajah Saiful juga juga tidak pernah dengan terang ditunjukkan di media sosial.

Di depan pintu pagar, dalam ketakutan dan kebimbangan, Saiful terus mengoceh sendiri kenapa bila tamu akan datang gerbangnya tidak dibuka saja.

“Padahal dia tahu baru kali ini aku ke mari.” Saiful mengambil ponselnya. Dikirimnya pesan memberitahukan dirinya telah di depan pintu pagar rumah. Lima menit menunggu tak ada balasan. Tidak ada pintu rumah terbuka dan tidak seorang gadis cantik keluar menghampiri. Coba dia menelepon, tiada diangkat. Semua perasan berhimpun menjadi takut. Jantungnya berdetak kencang.

Dalam keadaan seperti ini Saiful menengadah ke langit, ”Ya Tuhan, apakah ini hukuman bagiku? Jauh-jauh datang ke sini untuk menemui pujaan hati, kau beri ujian seperti ini. Kalau bisa jangan seperti ini hukumannya.”

Seperti sinetron spiritual untuk anak-anak, atau seperti dalam film India, munajatnya pada Tuhan langsung dikabulkan. Suara pintu rumah dibuka. Saiful segera membelakangi gerbang, berdiri di sudut.

Gesekan besi terdengar. Bunyi itu hanya beberapa meter di dekat pemuda itu. Jantungnya terasa copot. Dalam hati Saiful mengucap, “Ya, Tuhan. Kini dia di belakangku. Aku ingin sekali melihatnya. Di kedalaman hati paling dalam, terkirim doa, “Ya Tuhan, semoga dia sangat cantik”.

”Masuklah,” kata Rahmah setelah membuka pintu pagar.

Suara itu, suara itulah yang hampir setiap malam terdengar telinga Saiful. Di rumah-rumah kos dekat kampusnya, Saiful suka duduk setiap malam, mendengar musik di teras lantai dua, mencari wajah pujaan hatinya di langit setiap malam, menelepon untuk mendengar suaranya, berkirim pesan sambil saling belajar merangkai kata. Kini dia, yang telah membuat Saiful jatuh cinta ada di belakangnya.

Saiful membalikkan badan. Masih menunduk. Perlahan dia menyeret pandangan mulai dari tanah. Matanya menangkap sepasang sandal Swallow biru yang ada duri-duri lembut di tapaknya itu. Sandal itu hanya sebagian saja terlihat, selebihnya ditutupi kain bewarna putih.

Perlahan pandangan ia naikkan. Pelan-pelan menyurusi kakinya yang bersembunyi di balik kain putih.

Perempuan itu keluar dengan mengenakan setelan mukena. “Baru selesai salat dia rupanya” Saiful membatin.

Belum sempat pandangan benar-benar mencapai wajah Rahmah, suara sepeda motor di belakang Saiful menghentakkan jantung. Dia terkejut hebat. Segera ia menoleh ke belakang. Dua pemuda menatap sinis ke arah Saiful. Memelankan motornya setelah digas kencang. Saiful sadar itu upaya supaya dia menoleh. Mereka menatap Saiful lekat-lekat. Wajah tidak bersahabat dengan mata menantang ditujukan ke arah Saiful. Kemudian mereka berlalu.

Saat Saiful menolehkan kembali wajah tertangkap olehnya sebuah wajah. Aishwarya Rai pecah berkeping-keping menjadi abu lalu terbang mengikut udara. Cahaya wajah Madonna ciut keriput seperti selembar kertas diremas, lalu terbakar. Wajah Rafeena Tandon dan Twinkle Khanna cepat-cepat anjak kaki, lari terbirit-birit sebelum bernasib serupa Madonna dan Aishwarya Rai.

Saiful tidak sanggup menjaga sikap yang telah direncanakan untuk tampil berwibawa dan elegan kalau berjumpa Rahmah. Mulutnya melebar. Bola mata pria itu melotot seakan mau copot. Gadis di hadapan Saiful senyum saja. Bibirnya warnanya pink. Saiful memeriksa melalui cahaya lampu jalan tepat di atas mereka. Tidak bergincu rupanya. Pink alami.

Belum pernah Saiful melihat wanita secantik ini. Sepasang alis tebal yang menghiasi kedua bola matanya yang hitam pekat.

”Kenapa diam saja?”

Saiful seolah tidak mendengar ucapan gadis itu. Dia hanya mempelototi bidadari di hadapannya. Padahal lampu jalan dan halaman rumah tidak terang-terang amat. Tapi jelas dilihatnya perempuan itu kuning langsat. Dilirik lagi ke bawah untuk memastikan. Meski tidak tampak seluruhnya, di atas Swallow biru juga jelas sepasang kaki kuning langsat. Kalau wajah bisa. Tetapi kaki tidak dapat menipu.

“’Minum apa?” Rahmah bertanya lagi, “Menawari minuman di pagar?” Saiful bertanya dalalam hati.

”Kamu,” jawab Saiful tak sadar.
”Hah?”
”Boleh masuk?”
”Harusnya dari tadi.”

Saiful ke teras dan duduk di kursi yang tersedia. Rahmah menghilang melalui pintu rumahnya. Saiful melirik ke jalan karena suara sepeda motor tadi terdengar lagi. Dua pemuda tadi ternyata mengamati dirinya dari jarah yang agak jauh.

Setelah beberapa lama menunggu, Saiful mengomel dalam hati, “Dia lama sekali keluar. Mana minuman yang tadi ditawarkan.”

Saiful semakin tegang karena merasa semakin tidak aman dengan gelagat orang-orang di jalan. Semakin ramai saja.

Di dapur, Rahmah melihat mie instannya telah membengkak.

“Tidak mungkin di makan lagi”, pikirnya. Rahmah mendengar suara bising iring-iringan sepeda motor. Dari dapur dia memanggil Saiful.

”Abang, Mas, Kanda, Cut Bang? Panggilan apapun kau harus kupanggil. Masuklah. Di luar dingin. Masuklah. Masuklah.”

Saiful tidak mengindahkan perintah itu walau ia dengar jelas apa yang Rahmah teriakkan.

Tidak berani masuk. Saiful was-was, panik.

“Kenapa tidak dia yang keluar. Malah memintaku masuk. Kenapa harus menjerit-jerit?” Saiful menggerutu.

Dalam keadaan hati Saiful yang serba tak menentu, tiba-tiba: ckriiing’. Saiful melihat ke kaca jendela di belakangnya, agak sedikit di atas kepala. Hanya sepuluh sentimeter dari kepala Saiful. Kaca jendela itu berlubang. Tidak sempat berpikir anehnya batu atau apa pun yang menembus kaca hitam itu, tamu ganjil bagi pandangan masyarakat daerah itu bergegas masuk.

Saiful duduk di sudut ruang tamu. Dia memperhatikan Sebuah tivi enam belas inci di depannya. Lantainya dilapisi karpet tebal yang lembut. Rahmah datang menghampiri. Diperhatikannya lagi bidadari itu.

“Pasti gadis secantik dia, di dunia ini cuma satu. Sempurna,” bisik Saiful dalam hati.

Di pintu depan, Rahmah melirik keluar. Lalu masuk menuju kamar depan yang kecil. Rumah ini cuma punya dua kamar. Kamar depan milik Rahmah seukuran ruang tamu. Kamar satunya lagi tertutup rapat. Pintu kedua kamar itu berdekatan. Di belakang ada dapur. Saiful dapat melihat sebuah kamar mandi dari dekat dapur dari tempat duduknya.

Saiful yakin tuan rumah telah mensterilkan kamar mandi dari benda-benda tergantung yang tidak layak dilihat seorang tamu.

Rahmah mencari poselnya. Dengan ekspresi tampak panik, Rahmah memainkan jarinya di ponsel. Tampaknya dia sedang mengirim sebuah pesan. Saiful menduga seperti itu. Tapi ia tak tahu kepada siapa.

Rahmah menghampiri Saiful dan mengajak duduk di dapur. Sambil berjalan Saiful sempat melirik ke sebuah benda yang menenpel di kusen pintu kamar depan. Peluru. Masuk beberapa inci.

Rupaya tadi adalah suara kaca yang ditembusi peluru. Saiful sempat heran kenapa peluru itu bisa di sana. Peluru di dunia nyata memang beda dengan peluru di film. Peluru di film bahkan tidak mampu menembus pintu mobil. Namun di dunia nyata, peluru jauh lebih ganas. Ketika masa penuntutan referendum, masyarakat di seluruh penjuru daerah yang hendak ke Banda Daerah dapat melihat peluru menembusi bak dump truk yang super tebal. Meski kali ini yang dilihat Saiful hanya peluru dari senjata angin, tetapi kekuatannya lebih dahsyat daripada peluru senjata api laras panjang di film.

”Setahuku daerah ini sudah aman,” bisik Saiful kepada Rahmah dengan napas terengah.

Tangan kanan Rahmah diangkat. Telunjuk membentuk garis vertikal menyilang bibirnya yang merah jambu tipis. Melotot ke arah Saiful. Persis seorang ibu yang memperingatkan anaknya untuk tidak berisik.

“Aih, aku semakin cinta padanya. Meluap-luap. Rasanya mau terbang. Ah, dalam situasi menegangkan seperti ini aku masih sempat kasmaran,” Saiful membatin.

”Indah rupanya sudah pulang ke kampung.”

Indah adalah adik Rahmah. Mereka tingga berdua di rumah itu. Saiful mengenal Indah melalui komunikasi dengan Rahmah lewat ponsel.

Sebelumnya Rahmah tidak tahu adiknya sudah pulang ke Lhoksukon. Hari ini seharian Rahmah di kampus. Menjelang Magrib baru pulang.

“Oh, tidak.” Saiful membatin.

“Berarti aku sedang berdua dengan lawan jenis dalam sebuah rumah.” Saiful semakin panik. Mau permisi segera pulang tidak mungkin. Peluru itu jelas mengancamnya. Setidaknya menyampaikan sebuah pesan.

Rahmah bergegas ke ruang depan. Saiful tak tahu apa yang akan dilakukan perempuan itu. Belum tiba Rahmah di pintu muka, tiba-tiba mereka tidak bisa melihat apa-apa. Semuanya jadi gelap.

Dua orang tiba-tiba masuk ke dalam rumah langsung ke arah dapur. Salah seorang di antaranya menarik tangan Saiful dengan hampir sekuat tenaganya. Tangan Saiful terus ditarik. Semuanya masih gelap. Tapi Saiful bisa merasakan badannya telah berada di halaman rumah.

“Saat pemuda kampung mengintai, malah perempuan ini mematikan semua lampu rumahnya,” pikir Saiful. “Apa maunya?” Saiful semakin ketakutan. Dia mengira Rahmah yang mematikan saklar di meteran listrik.

Saiful berusaha memahami maksud Rahmah. Dalam sedetik terlintas seribu kemungkinan. Dalam situasi seperti itu, sulit berspekulasi.
Saiful sudah berada di halaman rumah. Lengannya masih digenggam dua orang, kiri dan kanan. Saiful melihat sesuatu yang putih dari arah jalan menuju pagar. Saiful jadi merinding. “Rupanya ada hantu juga di komplek perumahan ini,” Saiful membatin.

Hantu itu meraih pintu pagar.

“Ini bukan hantu. Hantu masuk tak perlu buka pintu,” pikir Saiful.

Sosok dalam gelap itu langsung mendekati Saiful. Lelaki berbaju putih itu berpekik, ”Kenapa lampunya dimatikan?”

Beberapa orang ternyata mengikuti di belakang sosok baju putih menuju halaman rumah. Salah seorang di antaranya berjalan meraih saklar ampermeter listrik. Seketika seluruh isi rumah terang-benderang. Sebiji lampu teras lumayan mampu menerangi seluruh halaman rumah yang memang tidak luas itu.

Barulah tampak lelaki baju putih di samping Saiful secara jelas. Kumisnya pendek, tegang, tidak begitu lebat. Tubuhnya jauh lebih pendek dari Saiful. Baju putihnya adalah teluk belanga. Dia mengenakan sarung biru. Ternyata pria di belakang lelaki baju putih jumlahnya lebih banyak dari yang diduga Saiful sebelumnya. Jumlah mereka sekitar enam orang. Dua di antaranya bergerak mendekati Saiful. Empat lainnya bersiaga di depan pintu rumah yang ternganga. Mereka bersigap seperti akan menangkap kucing pencuri ikan jatah makan ayah.

Terlintas dalam pikiran Saiful untuk segera lari. Itu sangat mudah baginya. Pintu pagar terbuka. Kalau lari keluar Saiful hanya perlu terus lari ke arah timur, setelah menjumpai perempatan, tinggal belok kanan, seratus meter langsung jumpa jalan negara.

Tapi itu tidak Saiful lakukan. Dia merasa masih laki-laki. Lari dari masalah seperti ini adalah lebih memalukan daripada bercerai sepuluh kali. Saiful tidak ingin putus hubungan begitu saja dengan Rahmah. Mungkin dia benar-benar telah jatuh cinta pada Rahmah, lama sebelum kali pertama melihat gadis itu.

Saiful segera di bawa ke musola komplek. Disuruh berwudhu, lalu berdiri di hadapan musola.

”Salat Isya’ dulu,” kata salah seorang berbaju hijau.

Saiful sudah salat Isya’ tadi. Di sini juga, di musola ini. Tapi tidak berani membantah. Dia masuk, salat sunnat wudhu dua rakaat, lalu keluar lagi.

”Kenapa cepat sekali?”
”Dua rakaat.”
”Kenapa dua rakaat?”
”Sudah salat Isya’ tadi.”

Salah seorang tinggi tegap menghampiri. ”Ouw. Sebelum berzina salat dulu.” Dia tertawa. Diikuti beberapa rekannya.

”Siapa nama?” salah satu tinggi tegap membentak.

”Saiful,” jawabnya santai.

Dalam kondisi seperti ini kiranya sangat memalukan bagi Saiful menyebutkan nama lengkapnya. Menyebut nama pendek saja agak berat.

”Apa pekerjaan?”
”Jualan, Bang.”
”Jual apa?”
”Pakaian, Bang.”
”Di mana?”

Menurut pikiran Saiful, laki-laki ini waktu kecil ingin menjadi polisi bagian penyidik.

”Keliling. Saya pedagang keliling.”

Saiful berpikir jawabannya sudah cukup dan tepat. Tidak perlu mengatakan pekerjaan sampingan sebagai mahasiswa. Ini hanya akan merepotkan dirinya dan membuat para pemuda itu bingung. Lagi pula mahasiswa lainnya juga akan bingung kalau ada mahasiswa yang menjadi pedagang keliling, apalagi jualannya pakaian dalam.”

Pernah sewaktu seseorang menolong, Saiful mengatakan kulian jurusan filsafat. Saat dia menanyakan, “Filsafat jadi apa?” Saiful sempat kebingungan juga. Mengatakan ingin jadi filosof akan memperbesar persoalan. Pertanyaan bisa semakin banyak lagi. Maklum saja, masyarakat sekarang sudah sangat cerdas. Mereka punya orientasi yang jauh ke depan. Mereka sadar semua orang hari ini harus menentukan hidup mereka di masa depan. Seorang mahasiswa Keguruan mesti menjadi guru. Mereka tahu betul mahasiswa kedokteran akan menjadi dokter. Mereka paham jurusan pertanian tidak menjadi petani. Tapi mungkin tidak semua dari mereka tahu bahwa sastrawan sangat jarang dari jurusan sastra.

Dua orang pemuda masuk pekarangan musola. Mereka mengobrol dengan para pemuda lainnya. Tampaknya mereka sedang melakukan suatu negosiasi. Dapat diketahui Saiful dua orang pemuda itu adalah di antara para pemuda yang mondar-mandir di depan rumah Rahmah sedari Saiful tiba.

Seusai mengobrol dengan pemuda lainnya, dua orang pemuda itu pergi. Saiful diminta masuk musola. Rupanya Rahmah telah dahulu berada di dalam musola. Dia dikawal dua orang lainnya masuk ke rumah Rahmah. Saiful dan Rahmah didudukkan bersandingan. menghadap dua orang laki-laki. Keduanya memakai baju teluk belanga. Yang satu putih, satunya lagi hijau. Keduanya membelakangi mimbar musola.

Beberapa ayat Al-Qur’an dibacakan. Lalu hadits-hadits Nabi Saw. Semuanya yang menyinggung tentang larangan dan bahaya zina. Saiful dan Rahmah telah diklaim bersalah. Kepada Rahmah dikatakan orang tuanya telah dihubungi tapi ayahnya ngotot tidak mau datang.

Saiful sendiri masih menikmati drama khas tanah airnya. Sedari tadi pikirannya hanya diliputi kekaguman. Bagaimana tidak. Mendatangi rumah teman perempuan, lalu diintai beberapa pemuda, kemudian diteror dengan senapan angin canggih yang memiliki penyadap suara dan berakhir di musola.

Setelah bercakap-cakap dengan rekan di sampingnya, lelaki berbaju putih mengatakan pada Saiful bahwa mereka harus dinikahkan. Seribu pertanyaan masih ingin diajukan Saiful sebelum keputusan gila ini dijatuhkan pada mereka: Siapa wali nikahnya? Bukankah ini sama seperti menculik anak orang?

Di luar, warga yang datang semakin berduyun-duyun. Rupaya kejadian ini telah merambah ke seluruh kompleks, bahkan mungkin seluruh kecamatan. Pernikahan aneh bin ajaib juga dilaksanakan. Saiful hanya mengikuti arahan. Dia takut bila tidak menurut akan dihajar massa yang semakin ramai tiba di lingkungan musola. Saiful ingat dengan temannya dulu yang kini menjadi preman di Medan. Katanya dia hanya takut dua perkara. Pertama ular, kedua massa. Massa memang mengerikan.

Rahmah tampak panik. Bagaimana tidak, dia harus menikah dengan lelaki yang baru kali ini ia jumpai. Tipe hukuman seperti ini memang sangat aneh. Saking anehnya patut masuk ke dalam rekor sepuluh hukuman paling aneh di dunia. Dan ini setidaknya harus menduduki peringkat tiga besar.

Meski Saiful melihat model hukuman seperti itu sangat aneh, sebenarnya dia sendiri sudah dapat memakluminya. Namun ketika harus mengalami sendiri, peristiwa ini memang membuatnya terkecengang. Bahkan Saiful pernah mendengar cerita orang yang sedang hamil karena berzina dinikahkan. Inilah kejadian paling membingungkan. Ada perempuan yang setelah hamil dinikahkan oleh orangtuanya dengan pria lain dengan maksud menutupi aib. Bahkan ada anak perempuan seorang imam di sebuah desa yang Saiful telah lupa di mana, anaknya ketahuan “main belakang” dengan pacarnya.

Uniknya, posisi sang imam tetap aman. Dan sang imam masih menjadi juru khutbah Jum’at alternatif di kampungnya bila juru khutbah tamu berhalangan. Tetapi tema anjuran mendidik anak agar menjadi saleh porsinya dikurangi.

Belum pernah berlaku hukum rajam bagi para pezini di sini. Setidaknya setelah Indonesia merdeka. Mungkin hukuman seperti ini pernah diberlakukan pada masa kerajaan dulu. Bila ada kasus rajam atau cambuk seratus kali karena berzina maka itu adalah kejadian paling aneh di muka bumi. Sejauh yang diketahui Saiful, kesaksian hanya dapat diterima dari empat orang laki-laki dewasa yang dapat diterima kesaksiannya, antara lain karena baiknya keagamaannya, karena kefakihannya. Tapi mungkinkah empat orang fakih sekaligus sempat menyaksikan daging masuk ke dalam daging dengan mata telanjang? Empat orang. Kalaupun mereka sempat melihat adegan daging masuk ke dalam daging itu terjadi, tanpa mereka mencegahnya, maka itu artinya mereka tidak memiki kefakihan: maksiat dibiarkan terjadi begitu saja.

Sekalipun tidak pernah kuliah di jurusan syari’ah, Saiful tidak sepakat dengan persaksian empat fakih diganti dengan alat bukti rekaman video. Karena, dia yakin kamera video bisa dimodifikasi. Saiful yakin maksud saksi harus empat orang fakih tujuannya adalah untuk menghindari perzinaan. Karena menurut pikirannya, mustahil empat orang fakih akan membiarkan aksi dosa besar itu dilakukan tanpa mencegahnya. Dan mustahil akan ada empat orang fakih sekaligus menyaksikan orang yang sedang memasukkan daging ke dalam daging. Mana mungkin seorang fakih akan membiarkan kemaksiatan terjadi, sementara dia menelepon tiga orang lagi yang sama dengannya untuk bersama menyaksikan daging masuk ke dalam daging.

Cacian dan makian tidak henti-hentinya keluar dari mulut warga saat pasangan itu keluar musola. Saiful terus beristighfar di dalam hati, memohon diberi ketenangan, ketabahan, dan kesabaran, terutama menghadapi masyarakat yang sedang emosi itu. Dan Saiful yakin sebagian mereka yang memaki tidak salat subuh hari ini dan esok hari. Padahal, setahu Saiful, dosa meninggalkan satu waktu salat sama dengan berzina tujuh puluh kali.

Saiful dan Rahmah diberdirikan berdampingan dekat parit. Tiba-tiba Saiful merasakan sesuatu membasahi badannya di mulai dari kepala. Beberapa detik kemudian keluar bau busuk dari cairan yang disiramkan oleh beberapa pemuda kampung. Rupanya Rahmah juga diperlakukan sama. Warga yang menjadi penonton bersorak riuh, gembira punya tontonan menarik dan unik.

Kaleng tempat oli dipotong setengah. Dengan paku ditempelkan pada tongkat kayu, air dari comberan diambil. Cairan parit perumahan tentunya didominasi air seni. Dengan itu comberan parit terus disiramkan pada dua calon pengantin itu.

Saiful teringat hadits Nabi Saw. Setelah perkara salat, perkara pertama yang dipersoalkan ketika mati adalah kencing yang melekat di badan. Rupaya jenis hukuman di sini memang neraka. Mereka juga melumuri kotoran kencing ke badan orang.

Rahmah tampak begitu tegar. Wajahnya tidak lagi memperlihatkan takut atau gusar. Saiful melihat Rahmah sangat kuat mentalnya. Dalam kegetiran ini, sekali-kali, muncul perasaan bahagia tak terkira dari dalam hati Saiful: punya pengalaman unik bersama perempuan yang dicintai. Tetapi Saiful membayangkan risiko-risiko lainnya. Terutama dia takut pada ayahnya yang mengancam akan menebas lehernya dengan parang bila menikah sebelum selesai kuliah. Meskipun melanjut kuliah ke Jakarta dengan bantuan banyak pihak, tetapi ayah Saiful juga sudah mengorbankan banyak hal sehingga wajib baginya menyelesaikan kuliah.

Setelah dimandikan dengan comberan, petugas baru tiba dan pengantin dadakan itu diangkut dengan mobil patroli. Salah seorang petugas marah-marah karena warga memandikan mereka dengan air comberan. Tetapi laki-laki berbaju koko putih mengatakan dia juga tidak berdaya menahan pemuda kampungnya yang emosi.

Pasangan itu digelandang ke kantor petugas. Di bagian belakang pick-up, Saiful dan Rahmah duduk di atas kursi yang saling membelakangi. Tiga orang duduk di depan, satu di antaranya menyupiri. Satu lagi duduk di belakang. Empat pemuda kampung ikut serta. Dua membonceng mobil pick-up itu dan dua orang lagi menyusul dengan sepeda motor.

Setiba di markas, pasangan itu diinterogasi. Petugas terus-menerus mencoba menghubungi orang tua kedua orang itu. Tetapi gagal.

Setelah membersihkan diri, Rahmah dimasukkan ke sebuah ruangan. Saiful dalam ruangan sebelahnya lagi. Supaya tidak kabur mereka mengunci pintu. Kemudian para petugas buru-buru meninggalkan kantornya. Seorang petugas yang tinggal berjaga di ruang utama kantor menguap lebar. Dia mengantuk. Jadi lebih memilih menempelkan pipinya di meja. Tidur.

Sama seperti aparat yang tertidur di meja itu, Saiful juga sangat mengantuk. Dia lebih parah, kedinginan pula. Meski mereka sudah membersihkan diri dan diberikan pakaian seadanya, air comberan masih terasa lengket. Tidak hanya dingin, badannya juga masih gatal-gatal. Saiful pasang telinga. Tidak terdengar suara Rahmah. Mungkin dia kelelahan juga.

Setelah sempat tertidur, Saiful mengintip dari jendela ruangan. Beberapa pemuda kampung tertidur di sofa depan meja. Posisi mereka tidak beraturan. Mungkin kelelahan juga. Saiful perhatikan ke balik meja. Ternyata seorang petugas yang tadinya tidur di kursi telah terlentang di lantai seberang kursi. Dia terbaring dekat dinding.

Di ruangan sebelah terdengar tangisan seperti suara kuntilanak kehilangan anak. Saiful sempat ketakutan. Namun seketika dia sadar itu suara Rahmah. Saiful heran kenapa tadi saat dimandikan comberan perempuan itu terlihat tegar, tetapi sekarang menangis.

Saiful juga heran kenapa para pemuda masih di kantor petugas. Kenapa petugasnya cuma satu orang. Mungkin yang lainnya sedang berpatroli atau ada kejadian lagi entah di mana. Saiful masih terlalu lelah hingga tertidur kembali.

Saat dari balik jendela cahaya matahari yang masih merah jambu mulai muncul, Saiful terbangun lagi. Saiful memanggil-manggil petugas. Dia masih tertidur pulas. Kelima laki-laki itu masih dalam posisi seperti Saiful terbangun tadi.

”Bang…bang…bang….,” Saiful memanggil, berharap siapa saja dari lima pria itu bangun dan memberikan kompensasi supaya dia diizinkan ke kamar mandi untuk wuduk dan salat. Dia panik karena belum salat subuh.

”Bang…bang….,” Suara Saiful semakin keras, sambil menggedor-gador jeruji.
Salah seorang pemuda kampung yang tidur paling dekat dengan pintu ruangan Saiful dikurung terbangun.

”Aku mau salat subuh, Bang.”
Lalu pemuda itu bangun. Berjalan sempuyungan ke arah meja. Dia berhenti sejenak. Mengamati sekitar meja. Ditemukannya kunci di atas kursi.

”Awas kalau lari,” bentaknya setelah membuka ruangan.

Siang harinya seorang petugas yang marah-marah karena anggotanya telat bergerak sehingga warga mengambil tindakan main hakim sendiri mengambil keutusan untuk melepaskan mereka setelah menandatangani surat perjanjian tidak akan mengulangi perbuatan.

Saiful dan Rahmah makan siang di sebuah warung.

“Bawa aku ke mana pun kau pergi,” kata Rahmah.

Saiful terkejut, bingung, dan takut. Terkejut karena menyangka Rahmah akan pulang ke Lhoksukon, tetapi ternyata dia tidak mau. Bingung karena harus membawa ke mana. Takut karena sewaktu-waktu keluarga Rahmah akan menemukan mereka dan akan mengeksekusi Saiful. Juga takut bila ketahuan ayahnya sudah menikah, dia akan dipenggal lehernya.

Dalam situasi gamang itu, Saiful memesan dua tiket minibus ke Banda Aceh.

Bersambung…

Ilustrasi: Unsplash.com

Baca Juga

Melampauai Integrasi Ilmu: Dari Jamiah Baiturrahman Ke Jamiah Khairiyah

Setelah Jamiah Baiturrahman, lebih dua ratus masyarakat tidak belajar ilmu-ilmu umum. Barulah setelah kehadiran Tuanku Raja Keumala, Jamiah Khairiyah mampu menghadirkan kembali kajian-kajian ilmu-ilmu umum berbarengan kajian ilmu-ilmu agama yang melampaui integrasi ilmu. Namun itu belum cukup untuk mengembalikan semangat untuk kembali menjadi masyarakat yang terbuka, modern, dan kosmopolit. Dampak perang melawan Kolonial Belanda berkepanjangan, ditambah tidak belajar ilmu-ilmu umum sudah sangat lama, masih terasa hingga kini.

Cermin dan Kehidupan: Melihat Kualitas Diri dalam Setiap Pantulan

Ketika kita berusaha untuk memahami dan menjelaskan tentang dunia luar, kita ternyata justru sedang memproyeksikan keyakinan, pengalaman, dan nilai-nilai yang kita hidupi…. Kita bukan menilai dunia apa adanya, tetapi dunia sebagaimana yang kita yakini. Inilah mungkin, mengapa kita perlu untuk sesekali mencoba melihat dunia dari perspektif orang lain.

Biografi Hamzah Fansuri

Hamzah Fansuri lahir sekitar pertengahan abad ke-15 pada periode akhir Samudra Pasai. Beliau mengenyam pendidikan pada Zawiyah Blang Pria. Kemudian hijrah ke Singkil dan mengajar pada lembaga pendidikan di sana. Tidak lama kemudian, melalui Barus, Hamzah Fansuri bertolak ke Timur Tengah untuk menuntut ilmu. Kembali ke Aceh, Hamzah Fansuri menetap di Fansur yakni Ujong Pancu, Peukan Bada, Aceh Besar.

Ragam Orientasi Bahasa Indonesia (Asal Usul Bahasa Persatuan)

Karya ilmiah Sutan Takdir Alisjahbana seperti Perkembangan Sejarah Kebudayaan Indonesia Dilihat dari Segi Nilai-Nilai  telah menunjukkan tentang bagaimana bahasa Indonesia sangat mampu menjadi sarana penulisan ilmiah. Penulisan ilmiah yang membuktikan kompatibilitas tinggi bahasa Indonesia sebagai sarana penulisan ilmiah selanjutnya juga dapat dilihat dalam karya Ignas Kleden, Sikap Ilmiah dan Kritik Kebudayaan. Tulisan ilmiah tentang agama juga ditulis oleh Sutan Takdir Alisjahbana yakni Pemikiran Islam dalam Menghadapi Globalisasi dan Masa Depan Umat Manusia. Karena memang bahasa Indonesia yang dulunya dalam format bahasa Melayu telah digunakan oleh Hamzah Fansuri, Syamsuddin Al-Sumatrani, Abdurrauf Al-Singkili, dan lainnya, telah sangat baik menjadi sarana komunikasi literatur agama.