Mengislamkan Kembali Perguruan Tinggi Islam

 

Sebuah seminar webinar yang dilaksanakan Pascasarjana IAIN Langsa yang mengusung tema “Teori Pendidikan Islam: Perspektif Al-Qur’an-Hadis dan Filsafat-Tasawuf”, menghadirkan dua pemateri yakni pengajar filsafat pada STFI Sadra Jakarta, Ammar Fauzi, Ph. D dan dosen Pascasarjana IAIN Langsa, Dr. Asrar Mabrur Faza, S. Th. I, MA.

Bapak Ammar dalam penyampaiannya menekankan pentingnya ilmu logika sebagai sarana dasar dalam mengkaji dan meneliti segala bidang dalam ilmu pengetahuan termasuk ilmu pendidikan. Beliau juga menyampaikan bahwa tradisi ilmu pengetahuan Islam menyimpan referensi cukup kaya untuk diulas dalam rangka memajukan ilmu pendidikan Islam. Dalam perspektif sejarah, pemikiran para filosof besar seperti Ibn Sina, Al-Ghazali, Mulla Sadra, dan lainnya, cukup layak untuk dianalisis agar dapat memberikan kontribusi dalam membangun fondasi keilmuan dan pengembangan kurikulum pendidikan Islam hari ini.

Sementara itu, Dr. Asrar mengulas tentang konsep-konsep dasar tentang agama dengan merujuk ayat-ayat Al-Qur’an dan Hadis.

Dalam penyampaiannya, beliau menekankan pentingnya memahami ulang makna-makna dasar keagamaan sebagai landasan teoretis merekonstruksi pemaknaan agama dan membangun kesadaran agama yang lebih moderat.

Problem yang diangkat dalam webinar tersebut antara lain, dalam rangka menyetarakan kualitas alumni perguruan tinggi umum dan perguruan tinggi keagamaan, telah banyak dimasukkan istilah-istilah keilmuan umum ke dalam perguruan tinggi keagamaan Islam, sehingga terkesan nuansa islami dalam kurikulum pendidikan keagamaan Islam menjadi berkurang. Padahal banyak dari istilah-istilah tersebut memiliki padanan yang mapan dalam kata kunci-kata kunci dan istilah-istilah keilmuan Islam. Istilah-istilah kunci yang digunakan, sangat menentukan pelacakan sumber referensi.

Webinar mengenai teori pendidikan tersebut merekomendasikan agar perguruan tinggi keagamaan Islam, khususnya IAIN Langsa agar dapat merumuskan kurikulum yang lebih Islami. Antara lain dengan memprioritaskan pada kata kunci-kata kunci ilmiah yang terdapat dalam keilmuan Islam. Referensi keilmuan umum dan keilmuan Islam, setidaknya harus berimbang. Apabila hal ini diabaikan, maka nasib perguruan tinggi keagamaan menjadi sama seperti Madrasah Adabiyah yang didirikan di Padang Panjang pada awal abad kedua puluh.

Madrasah Adabiyah awalnya menekankan pentingnya modernisasi pendidikan Islam. Namun dalam perkembangannya, lembaga pendidikan yang dikelola oleh Abdullah Ahmad tersebut terlalu mengikuti pola pendidikan Barat sebagaimana diselenggarakan oleh sekolah-sekolah Kolonial. Akhirnya lembaga pendidikan itu malah mengajarkan ilmu-ilmu umum sehingga pembelajaran agama hanya tersisa dua jam setiap minggu.

Gagalnya modernisasi Islam pada Madrasah Adabiyah juga dipengaruhi oleh faktor kurang fokusnya Abdullah Ahmad dalam mengelola lembaga pendidikannya, yakni harus membagi waktu dengan berdagang. Abdullah Ahmad juga terlalu terpesona dengan sistem yang diterapkan rekan seangkatannya dari Timur Tengah, Thahir Djajaluddin, yang mengelola lembaga pendidikan di Singapura, yakni terlalu cenderung dengan sistem pendidikan Barat dan mengabaikan modernisasi Islam. Padahal konteks Sumatera Barat dan Singapura, tentu saja berbeda.

Dalam hal ini, terdapat dua pelajaran dari lembaga pendidikan Islam Adabiyah untuk perguruan tinggi keagamaan hari ini. Pertama, pengajar dan seluruh tenaga pendidikan harus memeroleh kesejahteraan yang layak, sehingga mereka dapat fokus pada pekerjaannya. Terutama pada para pengajar harus diberikan kesejahteraan tinggi agar dapat memiliki situasi fisik dan psikis dalam mengembangkan keilmuannya dan mentransformasikan kepada mahasiswa dan masyarakat.

Kedua, Perguruan tinggi agama tidak perlu terlalu dipaksakan untuk mengikuti standar-standar pendidikan umum. Misalnya perguruan tinggi umum harus punya skopus agar dosennya jadi profesor, tetapi untuk perguruan tinggi agama maunya enggak usah.

Baca Juga

“Pulitek” Orang Aceh: Politik Keterusterangan

Pengalaman-pengalaman serupa tentulah dapat kita temukan di berbagai kesempatan, bahwa dalam relasi sosialnya, terutama dalam dunia politik, keterusterangan merupakan tipikal dari orang Aceh.

Kisah Persahabatan di Balik Meja Kerja

Waktu terus berjalan, tetapi persahabatan dan kenangan di balik meja kerja itu tetap hidup dalam hati mereka. Meskipun jalan hidup membawa mereka ke berbagai arah, ikatan yang telah terbentuk selama bertahun-tahun tidak akan pernah hilang.

BUKAN DI TANGAN MPR

Malah, sekarang, kita lebih mengkhawatirkan kapasitas partai politik, yang lebih mengejar hasil instan elektoral dengan mengajukan pelawak sebagai calon wakil walikota.

MEKKAH YANG DEKAT

Mekkah adalah tanah impian. Semua muslim mendambakan menginjakkan kaki di sana. Dari Mekkah, tempat di mana sakralitas ibadah haji dilakukan, cerita mengenai hubungan muslim dengan Tuhan dan masyarakatnya bermula.

Menyoal Frasa Wali Keramat dalam Cerpen Ada Sepeda di Depan Mimbar

Namun, pada poin kedua, di sini, imajinasi Khairil Miswar sama sekali bertolakbelakang dengan imajinasi saya. Gambaran imajinatif sosok Teungku Malem yang dianggap wali keramat, namun dia menghasut Tauke Madi untuk tidak lagi memperkerjakan orang yang tidak salat, bukan main anehnya