Mungkin saja bila seluruh filsafat Pythagoras dapat dilanjutkan secara sempurna, parsialitas realisme Aristoteles dan idealisme Plato tidak begitu dibutuhkan. Sehingga sejarah mencatat dua nama besar itu sebagai filosof paling agung. Pernyataan ini tidak akan berlebihan. Dengan menggabungkan dua filosof ini dalam pemikiran mereka secara holistik, mungkin dapat dikatakan, seluruh filsafat setelah mereka tidak benar-benar signifikan. Perlu diakui bahwa seluruh filsafat setelah mereka hanya berdebat pada bagian-bagian segmen dua pemikiran besar itu.
Para filosof Muslim dan Kristen telah mengembangkan banyak dimensi keagamaan mereka dengan menggunakan dua pemikiran agung itu. Umumnya yang mereka kembangkan itu adalah dari sintesis Plotinus. Filsuf yang lahir di Mesir itu telah mengembalikan signifikansi dua keagungan pemikiran tersebut setelah sebelumnya gagal diefektifkan oleh berbagai filosof sepeninggalan dua keagungan itu.
Bila sebelumnya para filosof hanya mengambil dimensi-dimensi tertentu dari filsafat Plato dan Aristoteles, maka dengan kepiawaiannya, Plotinus mampu merumuskan filsafat yang dianggap sebagai suatu sintesa atas idealisme Plato dan realisme Aristoteles. Namun sebenarnya, apa yang dilakukan Plotinus lebih tepat adalah infiltrasi kearifan Timur dalam sebuah formulasi melalui pendekatan bercita rasa rasional. Filsafat Timur yang tidak lepas dari penggambaran cahaya dan manifestasinya direformulasi oleh Plotinus dalam skema yang lumayan sistematis.
Sebenarnya sangat banyak kearifan Timur yang menginspirasi konstruksi pemikiran Barat. Namun dari Plotinus itu terlalu mencolok. Mungkin karena dia lebih jujur daripada filosof Barat modern. Filosof Barat harus banyak merekonstruksi kearifan Timur supaya dapat dipahami masyarakatnya. Bahkan Yesus sekalipun harus berambut pirang. Segala fondasi dasar teologi Kristen yang dibangun melalui kearifan harus dikemas sedemikian rupa agar bercorak Barat. Satu Mutlak yang termanifestasi dalam tiga kutub sosok suci, Bunda Agung yang selanjutnya oleh Yunani direkonstruksi dari Artemis adalah inspirasi teologi Kristen untuk membangun narasi Bunda Maria. Dongeng Romeo dan Juliet tentu saja diinspirasi Laila dan Majnun. Tidak dapat diklaim bahwa Barat tidak memiliki kearifan apapun. Bisa saja Pirates of Carrebian itu dapat diacu pada beberapa pelaut Spanyol. Namun cara berceritanya tidak bisa dilepaskan dari legenda Sinbad dari Irak. Demikian juga The Old Man and the Sea karangan Ernest Hemingway sangat mungkin diinspirasi oleh cerita kakek tua pencari ikan dalam Hikayat Seribu Satu Malam.
Penjelasan rasional yang membuat Barat tidak memiliki tradisi literatur yang panjang ditunjukkan oleh kebiasaan sejarah bahwa kekayaan literatur itu sangat ditentukan oleh kekuatan politik bangsanya. Mesir dan Mesotopotamia bisa mewariskan matematika yang hebat dan aksara yang maju karena bangsa-bangsa itu dipimpin oleh sistem politik yang kuat. Mesir sendiri adalah sumber bagi Yunani untuk membangun mitologi dan filsafatnya. Tidak bisa dilupakan bahwa Thales merintis filsafat Yunani berangkat dari kebijaksanaan yang ditemukan di Mesir. Demikian seterusnnya berkesinambungan dalam filsafat Yunani hingga Plotinus juga membangun filsafatnya di Mesir. Bahkan Plotinus terus berusaha agar dapat pergi ke Persia karena dia sadar bahwa akar ilmu pengetahuan antara lain di sana.
Mitologi Yunani memang memiliki kekayaan khazanah yang tak ternilai. Tetapi banyak orang tahu bahwa cerita-cerita itu banyak di ambil dari Timur, khususnya Mesir dan Mesotopotamia. Kebangkitan Yunani memang terjadi seketika. Itu tidak lepas dari kemunduran drastis yang dialami peradaban Timur itu.
Mitologi Yunani itu direformulasi dari kisah-kisah Timur yang dikemas sedemikian rupa sehingga dikenal memiliki keunikan tersendiri khas Yunani. Banyak sekali di antaranya merupakan versi berbeda dari kisah-kisah spiritualitas Timur yang mana kisah kisah Timur itu merupakan formulasi sastrawi dari ajaran-ajaran agama. Sebab itulah mitologi Yunani banyak diantaranya dibangun berdasarkan prinsip idealitas. Meskipun sebagai ciri khas Barat, mitologi Yunani dibangun sedapatnya bercorak realistis.
Bangunan dasar mitologi itu sangat mempengaruhi para filosof yang muncul kemudian. Tema-tema persoalan yang dibahas juga tidak jauh beda yakni seperti asal-usul kejadian alam, keberadaan sebuah kekuatan besar yang mengatur alam, kandungan esensial alam, keseimbangan alam oleh dua kutub, adanya juru selamat, eskatologi, dan sebagainya. Semua tema itu coba dijelaskan secara lebih rasional oleh para filosof Yunani. Bahkan untuk memahami problem mendasar dari tema-tema itu, para filosof itu mengonfirmasinya kembali ke Timur.
Karena alasan tersebut, menjadi sangat kompatibel ketika teologi Kristen coba diberikan unsur rasional yang disemangati pendekatan sistem berpikir para filosof Yunani. Prinsip-prinsip mendasar agama itu memang banyak diinspirasi kosmologi Hindu, namun pendekatannya ikut dipengauhi filsafat Yunani.
Kemunduran mitologi di Yunani antara lain terjadi karena orang-orang sudah tidak lagi terlalu menerima bahwa maksud sebuah cerita adalah pembangunan diri manusia. Orang-orang mulai mempertanyakan ketidaksesuaian antara isi cerita dengan realitas indrawi. Di sanalah masalahnya. Seharusnya dongeng tidak perlu ditimbang dengan realitas empirik. Masing-masing memiliki tertibnya. Keberadaan singa yang kulitnya tidak bisa ditembus senjata apapun atau keberadaan rusa bertanduk emas dalam cerita Hercules tidak perlu diperbandingkan dengan realitas di alam indrawi. Alam imajinasi dan alam indrawi punya validitas pada ranahnya masing-masing.
Belakangan ini ketidakadilan justifikasi terjadi semakin sering. Misalnya mengkritik filsafat melalui perspektif doktrin kitab suci, mengkritik fiksi melalui perspektif sains, demikian seterusnya. Itu semua adalah pekerjaan yang tidak perlu. Karena setiap genre punya pendekatannya masing-masing. Kalau ingin melihat fisafat melalui perspektif agama, atau melihat sastra melalui perspektif sains, itu dibenarkan. Banyak karya ilmiah tentang kajian sastra. Banyak juga agamawan yang ingin mengetahui filsafat perspektif doktrin. Masalahnya adalah ketika penghakiman suatu genre melalui genre lain tanpa menjelaskan perspektif apa yang hendak dicapai dan apa tujuannya, itulah yang memberikan masalah.
Orang-orang akan mengira filsafat itu sesat ketika perspektif doktrin yang dilakukan Al-Ghazali menghakimi filsafat. Sangat sedikit orang yang memahami bahwa Al-Ghazali sedang menimbang filsafat melalui paradigma doktrin. Padahal antara doktrin agama maupun filsafat, bila konsisten dengan sistem epistemologinya masing-masing, sama-sama punya validitas pada ranah yang berbeda.