Organisasi Pelajar Islam Indonesia (PII) mengacuhkan semua undangan melalui surat elektronik yang masuk ke email resmi mereka. Sebagian organisasi lain menuding PII sama sekali tidak pernah membuka surat yang masuk ke email itu. Tetapi sebenarnya apa yang terjadi tidak separah itu. Apalagi PII baru-baru ini berhasil merekrut seorang petugas administrasi yang sangat jenius. Dia adalah Rita. Perempuan asal Solo yang belum lama menyelesaikan studi administrasi di Harvard.
Setiap akhir bulan, Rita mendata undangan kepada PII yang masuk melalui surat elektronik. Lembaga yang mengundang, perihal undangan, tanggal, tempat, semuanya disusun rapi.
Sebenarnya hal ini tidak diminta oleh para pengurus PII maupun oleh Sekretaris Jenderal. Ini hanya bagian dari inisiatif Rita sambil mengisi waktu luangnya di ruang kerja.
Suatu hari tanpa disengaja, Ruslan, sang Sekretaris Jendral asal Aceh yang selalu berpenampilan necis itu menemukan data undangan yang disusun Rita. Diamatinya undangan-undangan itu. Ada sangat banyak undangan elektronik. Bahkan organisasi kepemudaan juga masih gemar mengirim undangan elektronik untuk berbagai kegiatan mereka. Padahal sudah beberapa kali dalam tiap pertemuan OKP, PII selalu menegaskan tidak menerima undangan via surat elektronik.
Perhatian Ruslan tertuju pada Badan Teknologi, sebuah lembaga yang mengurus tentang pengembangan teknologi. Yang membuat sang Sekretaris Jendral itu tertarik adalah undangan itu masuk beberapa kali dan diamatinya foldernya. Sangat berat. Saat diperiksa ternyata sangat menarik. Lampirannya saja hingga beberapa gigabyte.
Kegiatan yang akan dilaksanakan Badan Teknologi adalah sebuah sistem lengkap tentang persenjataan dan perang. Hasil amatan Ruslan selama sejam tentang lampiran-lampiran Badan Teknologi ini, dia sadar bahwa pemerintah sedang merencanakan sebuah sistem latihan pertahanan canggih.
Menyadari pentingnya kegiatan ini, Ruslan menelepon pihak Badan Teknologi. Meminta supaya surat undangan dikirim secara manual.
Karena hampir mustahil lampiran-lampiran program dapat dimanualkan, pihak Badan Teknologi menanyakan, ”Bagaimana dengan lampiran-lampirannya?” tanya perempuan pemilik suara indah yang kemudian diketahui bernama Yanti. ”Tidak perlu. Cukup surat undangannya saja. Lampirannya kan tidak mungkin dimanualkan,” ucap Ruslan berusaha tidak memberatkan pihak Badan Teknologi.
Sekalipun umumnya lembaga sudah tidak memiliki kertas lagi di kantornya, Ruslan yakin Badan Teknologi akan mampu mendapatkan selembar kertas untuk PII.
Sudah beberapa tahun lalu semua OKP menyepakati untuk tidak lagi menggunakan kertas. Tetapi PII tetap menegaskan khusus untuk surat undangan saja, mereka tidak menerima selain kertas. Keputusan PII ini sempat menyebabkan beberapa OKP protes. Mereka menuding PII masih komit dengan sikap tempo dulu dengan menerapkan sistem kertas. Padahal negara sudah menganjurkan untuk tidak menggunakan kertas. Namun kertas masih saja dapat ditemui di beberapa tempat tertentu yang menjualnya. Sekalipun selembarnya mencapai seratus ribu, untuk memberikan undangan pada PII, tetap terpaksa menggunakan kertas. Sekalipun termasuk lembaga yang mendukung dekertasisasi, Badan Teknologi terpaksa menggunakan kertas supaya PII menghadiri acara penting ini. Sama seperti Badan Teknologi, beberapa lembaga penting sangat membutuhkan kontribusi PII. Banyak alasan untuk itu. Salah satunya, hanya PII yang memiliki jutaan kader yang jenius sekaligus idealis yang tersebar di seluruh negeri.
Dulu mengirim kertas bisa dilakukan melalui jasa Kantor Pos. Namun karena sekarang kertas telah menjadi hal yang langka, maka sudah barang tentu Pos tidak lagi melayani kiriman surat.
Susah payah Yanti mencari kantor PII. Akhirnya ditemukannya kantor itu dekat hotel mewah Treva. Berletak di kawasan Menteng. Gedung PII berlantai 47 itu dilapisi kaca hitam seluruhnya. lebih sepuluh tahun lalu PII telah membangun gedung itu dari dana sumbangan berbagai lembaga dan para kadernya. Gedung itu merupakan salah satu gedung termewah di Indonesia. PII hanya memakai beberapa lantai dan menyewakan selebihnya. Uang hasil sewa dijadikan dana operasional kegiatan kegiatannya. Di samping itu, PII tetap memperoleh pemasukan dari pemerintah, iuran serta sumbangan kader, dan pemasukan dari lembaga ekonomi PII.
Saat Yanti datang, gedung PII yang megah itu sedang dihias. Beberapa hari lagi PII akan merayakan Hari Bangkit ke-120.
Setelah melewati beberapa sistem keamanan gedung, akhirnya Yanti berhasil menemukan ruang kerja kerja Rita. Yanti sempat berbicara sejenak dengan Rita. Yanti menanyakan kesibukan para Pengurus Besar PII kepada Rita. Sementara Rita bertanya sedikit tentang program yang akan dilaksanakan Badan Teknologi.
”Program ini merupakan bagian dari kerja sama Badan Teknologi dan Badan Pertahanan. Kami berhasil menemukan sebuah simulasi sistem pertahanan yang baik sebagai bagian dari keutuhan negara. Kita merencanakan pelatihan pertahanan secara sembilan dimensi. Program ini dapat menghemat banyak anggaran negara untuk latihan pertahanan. Namun Pemerintah menganggap perlu melakukan sosialisasi guna mendapatkan masukan dan pandangan berbagai elemen supaya program ini dapat diterapkan dengan baik.”
Sekalipun Rita agak kurang paham ketika Yanti menjelaskan program itu secara detail, tetapi secara umum dia dapat memahami program itu sangat perlu. Ini yang penting bagi Rita, supaya nanti dia bisa menjelaskan program ini pada para Pengurus Besar PII. Itu harapan dia.
Yanti pamit. Saat ia melangkah keluar, sempat berpapasan dengan seorang pengurus berpakaian rapi. Jasnya bewarna krim. Karena tidak saling mengenal, mereka hanya berbagi senyum.
Dalam undangan dan lampirannya, Badan Teknologi meminta delapan orang pengurus untuk mengikuti sosialisasi rencana program pertahanan canggih itu. Waktu acara adalah tiga hari. Segala kebutuhan peserta ditanggung. Hari pertama sosialisasi dan panduan sistem. Hari kedua praktik pengujian program. Hari ketika Badan Teknologi menerima masukan.
Pada hari sosialisasi, Makruf adalah peserta yang paling tekun mengikuti. Dan kalau boleh dinilai, Mukesh adalah peserta yang paling cuek.
Pada hari kedua, Makruf dipilih menjadi komandan tempur dalam simulasi sistem itu. Makruf bertanggungjawab terhadap segala hal menyangkut program. Sistemnya adalah perang yang memiliki beberapa level. Level paling rendah, peserta tempur diberikan satu pistol untuk delapan orang prajurit. Setelah semua peserta memakai gelang, mereka diizinkan ke kantin untuk jeda minum teh. Dan telah diingatkan bahwa musuh pertama akan muncul saat sedang istirahat di kantin. Ketika musuh yang muncul dari hologram sembilan dimensi ditembak, maka perang dimulai.
Memang dasar Mukesh, sejak sosialisasi kemarin memang dia kurang serius mengikuti detail panduan sistem. Ketika muncul sesosok musuh yang tiba-tiba di hadapan mereka, Makruf berencana menghabiskan dulu teh di cangkirnya, tidak perlu menembak dulu sebab perang baru dimulai ketika pistol hitam yang dibekalkan itu ditembakkan, berarti perang di mulai. Mukesh yang kaget langsung meraih pistol dan menembak moster itu. Mukesh tidak sempat melihat ekspresi kesal Makruf karena tiba-tiba tampak di hadapan Mukesh pilihan menu lokasi perang. Di sana muncul beberapa lokasi. Salah satunya Aceh.
Tanpa sempat berpikir panjang, Mukesh langsung memilih ‘Aceh’. Dan tiba-tiba mereka semua terlempar ke sebuah masjid yang sangat besar di Aceh.
Sebenarnya Mukesh bukan orang Aceh. Dia adalah orang Medan. Dia memilih Aceh dalam pilihan menu lokasi perang secara spontan, karena: Pertama, Kata ‘Aceh’ selalu mengingatkan orang pada perang. Dua, karena menu ‘Sumut’ tidak ada. Tiga, karena bawah sadarnya memahami dalam menu lokasi, Aceh adalah zona terdekat dengan daerah dia lahir dan besar. Otomatis Makruf yang semula direncanakan menjadi komandan regu beralih ke Mukesh. Program menjadikan penembak pertama menjadi ketua regu. Hal ini membuat Mukesh bingung dan panik. Mukesh hanya ingat sedikit tentang panduan-panduan saat hari sosialisasi kemarin. Dia ingat tujuh anggota lain berada di dalam sandera musuh. Selain untuk membebaskan satu-persatu sanderanya, untuk dapat melanjutkan ke level berikutnya, dia juga harus membunuh semua prajurit musuh.
Dari pintu bagian depan ruang kantor remaja masjid, keluar dua prajurit musuh berseragam serba hitam. Mukesh langsung melompat ke parit depan masjid. Dia sempat melihat seragam prajurit musuh mirip moster itu seperti terbuat dari logam. Dia tahu harus menembak tepat mengenai tanda bewarna hijau di dada atau dahi prajurit itu. Mukesh tidak ingat betul bagian mana dirinya yang diincar musuh. Dalam kondisi sangat sulit, ia sempat menyesali tindakannya meraih senjata di hadapan Makruf. Bahkan dia menyesali tidak terlalu serius mengikuti sosialisasi kemarin. Dia hanya mengharapkan amplop pasca kegiatan. Dia berharap kalau Makruflah yang sedang berada di posisinya sekarang. Menurut rencana memang demikian.
“Kalau saja Makruf yang sedang berada di posisiku, tentunya segalanya lebih mudah”, keluh Mukesh.
Pistol hitam pendek digenggam erat Mukes. Ia amat waspada. Tubuhnya telentang di dalam parit kering. Tiba-tiba salah satu prajurit menjorokkan kepalanya. Spontan Mukesh menembak kepala itu. Prajurit itu langsung jatuh. Tubuhnya menimpa Mukesh. Ia merasa semakin sesak di dalam parit yang sempit oleh tubuh prajurit itu. Sekalipun tampak dari logam, pakaian prajurit musuh terasa lembut. Mukesh sempat heran. Ternyata tubuhnya itu tidak hanya terindra oleh mata dengan sistem teknologi, tetapi juga memiliki massa dan bisa disentuh juga. “Hebat sekali program Badan Teknologi ini,” seru Mukesh.
Mukesh teringat sebuah buku filsafat yang pernah dibaca. Setiap benda punya sembilan kategori aksiden. Sembilan aksiden itu antara lain kuantitas, kualitas, relasi, tempat, waktu, posisi, kepemilikan, aktif, dan pasif.
Kalau telah ada hologram sembilan dimensi, berarti menjadi tidak berbeda dengan benda nyata. Mukesh menjadi paham kenapa jasad musuh tadi benar-benar nyata.
Mukesh bersyukur dia bukan kader PII dari Aceh. Kalau saja dia adalah kader PII dari Aceh, pastilah akan malas membaca buku. Sehingga, walaupun dia kurang serius mengikuti sosialisasi kemarin, setidaknya dia sudah paham kenapa musuh dan lokasi tampak begitu nyata.
Mukesh mencoba mendorong tubuh prajurit itu dengan tetap waspada karena dia tahu tidak jauh darinya ada seorang prajurit lagi. Dengan susah payah akhirnya Mukesh berhasil berdiri. Dia harus waspada sebab seorang masih ada lagi prajurit musuh.
Tiba-tiba prajurit satunya lagi itu keluar dari pintu ruang imam. Namun dia kurang siaga. Mukesh yang terkejut langsung menembaknya. Tapi tidak kena. Prajurit itu juga sempat melepas tembakan ke arah Mukesh. Meleset. Mukesh langsung melompat dan tiarap kembali ke dalam parit. Malang bagi prajurit kedua itu. Dia kembali. Hanya mengintip ke parit, tanpa mengarahkan pistol yang ada di tangannya. Mukesh segera menembak dahinya dan dia tersungkur ke arah Mukeh.
Tidak ingin ditimpa lagi, Mukesh segera menendang dada prajurit yang sedang jatuh ke arahnya itu.
Tiba-tiba dalam pandangan Mukesh keluar instruksi untuk mencari pistol yang lebih besar. Menurut instruksi itu, pistol yang perlu ia dapatkan itu tidak jauh dari lokasi dia berada saat ini.
Mukesh mencoba masuk ke ruang imam tempat prajurit tadi keluar. Di atas meja dia melihat sebuah pistol bermuncung agak panjang tergeletak di atas sebuah meja. Sempat ia berpikir kenapa ada pistol begituan pada ruang imam masjid. Dilihatnya sekeliling. Beberapa potong jubah Arab tersangkut di dinding.
“Ini memang sebuah program yang meng-copy lokasi asli secara detail lalu ditambah hal-hal permainan Badan Teknologi”. Begitu desah Mukesh. “Kalau tidak, mana mungkin ada pistol di dalam masjid.”
Mukesh merasa sangat tertekan. Ia ingin segera pulang ke markas PII dan beristirahat dengan nyaman. Ia sempat berpikir biar datang prajurit lainnya dan menembak dirinya. Dengan itu ia mati dan mungkin permainan berakhir.
Mukesh keluar dari ruang imam menuju tempat imam. Mukesh tidak boleh mati. Dia harus menemukan teman-temannya. Begitu instruksi yang samar dia ingat kemarin.
Mukesh mengintai-intai. Lama ia mencari. Tidak menemukan apa pun. Prajurit tak ditemukan. Ia menyesal. Seharusnya tidak secuek itu dalam pengarahan kemarin. Ini pasti karena dia tidak memahami aturan main. Ada sistem yang tidak ia tempuh. Makanya permainan ini buntu.
Bosan memang penyakit yang sangat dibenci manusia. Kadang-kadang kematian jauh lebih baik daripada kehilangan harapan. Makanya ia tidak peduli. Ini masjid. Kelima inderanya mengesahkan demikian. Jadinya sama saja.
Masjid itu sangat besar. Ingin Mukesh pergi berwuduk dan salat saja. Dia memang suka itikaf di masjid. Mukesh sangat terpesona dengan interior masjid tersebut.
“Katanya orang Aceh itu miskin, tetapi masjid mereka sangat mewah. Berarti masyarakat sangat bersemangat membangun masjid.” Mukesh terkesima. Kemudian melanjutkan, “Semoga mereka juga tidak melupakan fakir miskin di sekitarnya.”
Mukesh melangkah ke arah tempat wuduk. Sedang proses penyempurnaan bangunan. Tempat wuduk dan toilet kotor. Meskipun petugas membersihkannya secara rutin, bila kesadaran jamaah kurang, tetap saja kotor.
Mukesh mendekati bak besar. Bersiap berwuduk. Saat hendak meraih air, sesosok besar muncul dari balik bak besar itu. Seketika melompat ke arah Mukesh. Dia terpeleset dan jatuh di lantai yang licin. Segera meraih pistolnya. Tapi makhluk besar itu telah telanjur merangkulnya. Monster itu tertawa terbahak-bahak. Mukesh tidak dapat bernapas. Dadanya sesak. Lalui ia tidak sadarkan diri.
“Mission Failed.” Begitu yang tampak dalam pandangan Mukesh. Lalu pada pandangannya adalah atap yang tinggi. Ia menggerakkan kepala. Beberapa orang yang seingatnya pernah ia lihat. Itu panitia pelaksana kegiatan sosialisasi. Orang Badan Teknologi. Mereka memberitahukan bahwa setiap utusan organisasi hanya boleh melakukan uji simulasi satu kali.
Teman-teman kecewa. Makruf paling kecewa. Seharusnya dialah yang menjadi komandan simulasi misi itu. Makruf dan teman-teman lainnya hanya bisa duduk saja tanpa bisa melihat selama Mukesh melakukan uji perang. Mereka menjadi tawanan yang harusnya dibebaskan oleh Mukesh. Karena tidak sempat dibebaskan, maka selain Mukesh tidak dapat terlibat dalam ruang sembilan dimensi itu.
Hari berikutnya masukan dan saran. Tidak banyak kontribusi yang dapat diberikan. Mereka pulang setelah seremonial sederhana. Tapi tidak terlalu kecewa karena mendapatkan amplop.
Ilustrasi: apkpure.com