Neurosains

Setelah menyimak dengan kurang seksama pernyataan seorang ahli, saya menangkap bahwa, ternyata neurosains⸺yakni sains yang fokus pada kajian mengenai neuron-neuron dan coba membahas kesadaran manusia⸺lahir setelah komputer ditemukan. Dia mengatakan, bidang ilmu itu berbasis pada asumsi bahwa kesadaran manusia itu bekerja sebagaimana sistem komputer. Jadi dengan demikian, landasan disiplin ilmu tersebut sangat lemah yakni sebuah asumsi. Dengan demikian, bila asumai itu keliru, maka seluruh bangunan keilmuan yang dibangun dalam neurosains akan runtuh. Dan memang sangat banyak disiplin ilmu pengetahuan modern yang dibangun Barat berdasarkan positivisme adalah berdasarkan teori yang berangkat dari asumsi.

Namun ketika hendak mengoreksi fondasi satu disiplin ilmu berbasis positivisme, misalnya menggugat basis ontologos dan epistemologisnya, para saintis bersangkutan akan mengatakan bahwa itu bukan ranah sains. Akan dikatakan bahwa ranah sains adalah hal-hal empiris. Sebab itulah, meskipun basis ontologos dan basis epistemoligis suatu disiplin keilmuan positivisme, meskipun tidak kuat atau bahkan hanya berbasis pada dugaan atau asumsi, kerja-kerja yang disebut kerja saintifik pada ilmu pengetahuan tertentu itu, tetap saja berlanjut, terus dikembangkan, dan bahkan terus dianggap memberikan kontribusi positif kepada masyarakat. Sebab itulah, belum ada satu disiplin ilmu pengetahuan dalam sains positivis yang dibubarkan karena basis ontologos dan basis epistemologisnya kurang kukuh.

Sebenarnya metodologi sains positif yang diklaim objektif, bebas nilai, dan terbuka untuk semua pihak, perlu dipertanyakan. Ternyata saintis bekerja seperti sufi juga. Sufi dalam pengalaman spiritualnya, tidak bisa dikonfirmasi secara objektif itu. Misalnya sufi mengaku dalam pengalaman spiritualnya mengalami ini dan itu. Itu semua tidak bisa dikonfirmasi secara objektif. Hanya mereka saja yang mengalami dalam pengalaman subjektif masing-masing. Saintis juga demikian. Mereka mengatakan atom ini memiliki sekian elektron, sekian proton, dan sekian neutron, itu hanya bisa diketahui oleh sang saintis yang punya mikroskop tertentu. Kepada kita kemudian dilaporkan ini dan itu, disusun dalam buku ini dan buku itu, kemudian kita semua membaca dan memercayai.

Seorang pengagum sains mengatakan, segala bentuk emosi itu hanyalah gejala-gejala yang muncul dalam bagian otak tertentu. Sehingga rasa marah, rasa takut, rasa suka, dapat dimanipulasi sedemikian rupa. Dia dan orang sepertinya tidak percaya bahwa jiwa itu ada. Mereka juga tidak percaya adanya nyawa. Dikatakan juga mati terjadi karena fungsi-fungsi tertentu dari anggota badan tidak bekerja lagi. Mereka mengatakan bahwa mendengar, melihat, dan mengindrai lainnya, terjadi karena adanya telinga, mata, dan tiga indra lainnya bekerja menangkap suara, warna, dan objek indrawi lainnya. Mereka kurang memerhatikan bahwa panca indra itu hanyalah alat untuk mengindrai.

Filsafat Islam aliran tertentu berpendapat, mengindrai adalah kerja jiwa. Panca indra hanyalah alat atau sarana mengindrai. Bernalar juga kerja jiwa, sementara otak hanyalah sarana. Demikian juga berimajinasi adalah kerja jiwa, sementara otak hanyalah sarana. Saintis neurosains secara umum mengatakan bahwa memori-memori atas pengalaman indrawi tersimpan karena otak punya sistem tertentu yang menyimpan memori-memori itu. Padahal molekul-molekul pembentuk otak itu semuanya berganti dalam sirkulasi metabolisme tubuh dalam waktu tertentu. Misalnya, mungkin dalam jangka sekian tahun, mungkin saja seluruh molekul pembentuk tubuh, termasuk otak, telah berganti. Tetapi ingatan atas suatu peristiwa puluhan tahun lalu, masih diingat dengan baik. Kalau saja pengindraan, penalaran, imajinasi, kenangan, hanyalah urusan materi, tentu saja ingatan tertentu akan hilang seiring bergantinya molekul-molekul pembentuk otak. Dalam hal inilah, filosof muslim tertentu mengatakan bahwa berbagai anggota tubuh itu hanyalah sarana untuk mengindrai, bernalar, bermimajinasi, menyimpan ingatan, sementara kerja-kerja itu semua adalah aktivitas jiwa.

Pengetahuan manusia, apakah itu mengindrai, bernalar, berimajinasi, dan sebagainya, adalah aktivitas jiwa secara utuh. Pengetahuan bukanlah materi. Kalau saja pengetahuan adalah materi, tentu orang yang banyak pengetahuannya akan gemuk, sementara yang pengetahuannya sedikit akan kurus. Terkait pengetahuan, tentu struktur tertentu dalam saraf otak setiap orang akan berbeda karena perbedaan pengetahuannya. Tetapi perbedaan dimensi materi itu adalah karena otak beserta sistem saraf akan berbeda terkait pengetahuan yang berbeda karena objek-objek materi itu adalah sarana atau alat pengetahuan. Sementara pengetahuan itu sendiri adalah kehadiran jiwa.

Pengetahuan setiap orang itu utuh dengan dirinya, dengan jiwanya. Tidak ada orang yang terpisah dengan pengetahuan-pengetahuannya. Sistem filosofis ini kurang diperhatikan dalam sains positif. Alasannya karena itu bukan ranah materi, dikatakan bukan wewenang saintis di laboratorium. Anehnya ada saintis yang mengatakan, jiwa itu tidak ada karena dia tidak dapat mengindrainya. Itu adalah model orang yang hanya menganggap ada hal-hal yang mampu dia indrai saja.
Pada sisi tertentu, sains memang memudahkan pengenalan terhadap fenomena-fenomena empiris. Namun metodologinya terkadang sangat simpistik sehingga terkadang terjadi reduksi.

Misalnya ilmu biologi yang mengklasifikasi herbivora dan carnivora secara keras. Misalnya, sapi adalah herbivora dan harimau adalah karnivora. Sehingga dianggap sapi tidak akan makan daging, dan harimau tidak akan makan tumbuhan. Padahal di media sosial, saya pernah melihat sapi makan anak ayam dan harimau makan rumput.
Kemudian saintis positivis suka mengklaim mereka telah memberikan banyak kontribusi untuk kehidupan manusia. Misalnya teknologi. Padahal berbagai produk teknologi itu, tidak ada yang lebih diandalkan kecuali ilmu matematika. Matematika itu sebenarnya adalah ilmu bawah sadar yang dikonfirmasi melalui penalaran. Misalnya akal manusia dapat mengetahui secara apriori lingkaran itu tidak punya sudut. Kemudian observasi indra membuktikannya. Pikiran mengetahui bahwa sebagian lebih kecil daripada keseluruhan, kemudian observasi indrawi mengonfirmasi. Pythagoras, Archimedes, Einstein, Ramanujan, dan banyak ilmuwan lainnya telah membuktikan itu.
Segala yang disebut teknologi sebenarnya lebih layak disebut seni. Desain keseimbangan kendaraan mengandalkan matematika. Karya seni arsitektur fisik semuanya bertopang pada matematika, meskipun terkadang sang seniman tidak menggunakan penggaris atau timbangan atau alat bantu kalkulasi lainnya, karena pertimbangan matematis itu ada dalam pikiran mereka. Seni-seni itu ditambah mesin. Sementara mesin sendiri adalah sebuah seni yang kompleks, sehingga terkadang membutuhkan alat bantu kalkulasi tertentu untuk memudahkan, sehingga menghasilkan energi atau perpindahan energi.

Tetapi yang dianggap hebat adalah teknologi karena ia telah masuk sebagai agenda utama kapitalisme. Sehingga setiap teknologi yang dihasilkan terkendali sedemikian rupa.
Amatan atas teknologi hari ini bukan berbasis moralitas atau kesejahteraan manusia, tetapi untuk keuntungan modal. Padahal dulu, aksiologi sains dan teknologi itu berbasis kemanusiaan. Saintis dulu pandai ngegas, sekaligus pandai ngerem. Saintis sekarang hanya pandai ngegas tapi tidak ngerti cara ngerem. Misalnya Jabir Ibn Hayyan. Dia tahu bahwa elektron tidak boleh dimanipulasi karena berpotensi menghasilkan efek atas partikel-partikel di sekitarnya yang dapat menimbulkan kehancuran. Tetapi hari ini peledak canggih berlomba-lomba diproduksi. Siapa yang paling mampu menciptakan teknologi yang paling berbahaya, dialah yang dianggap penguasa.

Saya khawatir paradigma demikian juga berlaku dalam sains. Basis sains bukan akurasi ontologis dan epistemoligis, tetapi siapa yang paling mampu menguasasi narasi dan menciptakan kesan satu pihak tidak lebih mampu dari pihak lainnya. Demikian juga dalam konteks neurosains. Yang lebih dipentingkan bukan meninjau kembali basis ontologis dan basis epistemologisnya, tetapi siapa yang lebih banyak menghasilkan teori-teori dalam neurosains.

Baca Juga

Teuku Muhammad Hasan

Mr. Teuku Muhammad Hasan dikenang sebagai pelopor dan pejuang pendidikan yang berjasa besar dalam meningkatkan akses pendidikan serta memberdayakan masyarakat, khususnya di Aceh. Perjuangannya mencerminkan semangat untuk mencerdaskan kehidupan bangsa, sesuai dengan cita-cita kemerdekaan Indonesia.

Sultan Terakhir: Semangat Jihad dalam Perang Aceh

Perang Aceh adalah perlawanan sengit antara Kesultanan Aceh Darussalam dan kolonial Belanda, yang dimulai ketika Aceh menolak kekuasaan Belanda di Sumatera. Dipimpin oleh tokoh-tokoh seperti Panglima Polem dan Teuku Umar, perlawanan rakyat Aceh meluas, didorong oleh seruan jihad dari para ulama. Teuku Umar, dengan kecerdikan strategi, berhasil menipu Belanda, memperoleh senjata, dan memimpin serangan balik. Namun, penjajah Belanda akhirnya memaksa Sultan Muhammad Daud menyerah. Meskipun Teuku Umar gugur, semangat perjuangan terus hidup lewat seruan dari dayah-dayah. Ulama memiliki peran penting dalam menginspirasi perlawanan terhadap penjajah Belanda.

Kenapa Iskandar Tsani Takut dengan Tasawuf Falsafi

Sejarah kesultanan-kesultanan menunjukkan, ketidakstabilan politik tidak mempengaruhi perkembangan ilmu pengetahuan. Misalnya pada kesultanan Peureulak, perkembangan ilmu pengetahuan di Zawiyah Cot Kala terjadi pada masa ketegangan antara Dinasti Meurah dan Dinasti Aziziyah. Demikian juga pada masa ketika Maharaja Bakoy berdinamika dengan Syarif Makkah, ilmu pengetahuan di Zawiyah Blang Peuria mengalami pertumbuhan pesat.

Kosmopolitanisme Kesultanan Aceh Darussalam

Dalam kondisi seperti itu, masyarakat memanfaatkannya dengan memperkaya komoditas untuk dapat terlibat dalam sistem perekonomian. Masyarakat pinggir kota fokus menanam padi dan biji-bijian lainnya. Sambil itu, mereka memelihara unggas. Semua itu sangat dibutuhkan pasar…

Kitab Masailai

Kitab Masailal Muhtadi atau yang dikenal sebagai Kitab Masailai menjadi rujukan dasar bagi para santri, menunjukkan kebutuhan akan kedalaman ilmu dalam penyampaian agama dengan cara yang dapat dimengerti oleh semua lapisan masyarakat.