Saintisis adalah orang-orang yang terlalu terpesona dengan sains, namun biasanya mereka bukan saintis, melainkan orang-orang yang berhalusinasi bahwa sains mampu menyelesaikan segala masalah yang dihadapi manusia. Salah seorang di antara mereka menulis buku yang berisi anggapan bahwa filsafat itu mengusung obskurantisme. Buku dimaksud ditulis berdasarkan kekesalannya terhadap Goenawan Mohamad yang menulis kritik atas ekspektasi sebagian orang yang berlebihan terhadap sains.
Oleh penulis buku itu, pandangam Goenawan Mohamad dianggap sebagai bentuk skeptisme atas sains. Padahal, dalam tulisannya di media sosial itu, Geonawan Mohamad ingin mendudukkan sains secara proporsional. Goenawan Mohamad ingin supaya kepada sains tidak diberikan ekspektasi berlebihan. Karena memang ranah sains hanya pada objek-objek yang terindrai.
Sayangnya hari ini banyak sekali orang yang menjadi positivis. Mereka hanya mengakui validitas ranah indrawi. Sementara hal-hal yang bersifat imajinatif, mental, spiritual, dianggap sebagai ilusi. Karena pola pikir itu, harapan hanya digantungkan pada sains. Sains dipaksa merespons perkara-perkara di luar domainnya.
Sebenarnya para saintis itu tidak bersedia mengurus hal-hal yang berada di luar ranah mereka. Yang punya pretensi menyeret sains ke luar dari konteks garapannya adalah orang-orang yang bukan berasal dari lingkungan sains. Di antaranya ada jurnalis sains, ada pengamat sains, ada komentator sains, dan orang-orang yang terobsesi dengan sains. Mereka adalah orang-orang yang kemaruk dengan sains.
Dalam berwacana tentang sains, saintisis kerap menyeret persoalan di luar domain sains ke dalam perspektif pembahasan sains. Orang lainnya yang termasuk saintisis adalah mereka yang terlalu terobsesi dengan hal-hal di luar sains sementara mereka sendiri adalah saintis. Misalnya saintis yang punya sikap beragama berlebihan. Waktu kecil mereka tidak belajar agama, setelah besar dan menjadi saintis, mereka ingat mati dan ingin bertobat. Lalu sains yang menjadi keahliannya dipaksa untuk merespons hal-hal yang berada di luar sains seperti perspektif saintifik. Misalnya membahas tentang gejala otak saat beribadah, perspektif sains tentang alam kubur, perspektif sains tentang hari akhirat, dan seterusnya. Orang orang demikian menjadikan sains terkesan kemaruk.
Obsesi yang berasal dari luar ranah sains, ketika dipaksakan masuk ke ranah saintifik, menjadikan sains terkesan aneh. Orang-orang demikian dapat dimaklumi karena hasrat non-sainsnya lebih besar daripada ruang lingkup sebenarnya dari sains. Jadinya, kesimpulan-kesimpulan saintifik yang mereka buat ternoda oleh waham saintis model demikian. Saintis seperti itu mengingatkan pada cerita seorang filsuf Stoa yang mengabaikan observasi empiriknya dengan estimasi yang lebih besar. Filsuf itu ragu jambu yang akan digigit bukan jambu asli. Namun dia punya anggapan bahwa mustahil hidangan di atas meja makan bukan sesuatu yang bisa dimakan. Dan ternyata jambu itu adalah jambu yang terbuat dari lilin.
Cerita ini menunjukkan bahwa waham, asumsi, paradigma, dan hal lainnya dari kedirian saintis sangat sulit dihindari sehingga hasil penelitian saintifik tidak dapat diklaim benar-benar objektif.
Sains seharusnya mengabaikan hal-hal yang bersifat asumtif. Namun belakangan banyak saintis religius yang terlalu melibatkan hal-hal di luar sains masuk ke ranah sains sehingga menjadikan temuan saintifik menjadi kurang kredibel. Hal yang lebih parah dilakukan saintisis, pemuja sains yang umumnya bukan saintis. Mereka terpesona dengan sains terlalu berlebihan. Terlalu banyak espektasi di luar ranah sains digantungkan. Dalam membicarakan sains, sembilan puluh persen pernyataan saintisis bersifat asumtif, ilusif, dan ngalor ngidul.
Saintis sejati hanya akan melakukan metode sesuai kaidah saintifik dan menghasilkan kesimpulan yang lebih valid. Mereka paham ranah garapan sains, metode kerja saintifik, tahu hal-hal yang tidak boleh dilibatkan dalam metode saintifik, dan mengerti batas-batas sains.
Seorang saintisis mengatakan filsafat sepenuhnya merupakan spekulasi. Ini merupakan contoh ketidakpahaman terhadap filsafat. Filsafat itu dibangun dengan landasan penalaran yang sistematis. Ada kaidah berpikirnya. Ilmu logika merupakan prasyarat filsafat. Ilmu logika itu rigid. Terdapat kaidah yang sistematis dalam filsafat. Setiap premis harus dibangun secara akurat. Hingga proposisi elementernya harus tepat.
Seorang saintisis mengatakan kaidah-kaidah filsafat itu kabur. Obskurantisme. Padahal bila kita membaca buku filsafat dari referensi primer, akan ditemukan bahwa untuk memperjelas kaidah yang dibuat, para filosof memberikan porsi yang sangat banyak untuk memperjelas istilah yang digunakan. Umumnya buku-buku primer filsafat didominasi klarifikasi istilah.
Martin Heideggar terus-menerus memperjelas maksud istilah Sein un Zeid yang digunakan. Kalau ada orang yang mengkritik gagasannya, dia akan mempertimbangkan kritikan yang menurutnya penting dan menyanggah kritikan yang menurutnya kurang tepat dengan maksud filsafat yang ia bangun. Kalau ada orang yang kurang atau salah memahami makna dari istilah yang dia buat dan gunakan, seperti terjadi pada Sartre, maka Heideggar akan melakukan pelurusan kembali. Begitulah seorang filosof membangun filsafatnya.
Menjadi terkesan kaidah filsafat itu obskurantisme bila kita membaca buku karya komentator para filosof yang kurang paham dengan istilah yang digunakan filosof yang sedang dikaji. Dalam hal ini memang sering ditemukan obskurantisme. Mereka sengaja membuat istilah yang kabur supaya pembacanya tidak menemukan kegalatan pemahaman komentator itu terhadap istilah yang digunakan oleh filsuf yang sedang dikaji, dan supaya dia dapat melanjutkan tulisannya.
Belajar filsafat itu idealnya adalah melalui penjelasan orang yang sudah benar-benar paham. Bila dipelajari secara otodidak, istilah dan maksud yang dipahami bisa keliru. Bila demikian, akan menjadi komentator galat yang akan mengesankan filsafat itu obskurantisme. Orang yang membaca karya filsafat melalui komentator galatlah yang menilai filsafat itu obskurantisme.
Sebenarnya dalam membangun pembuktian saintifik, para saintis juga menerapkan sistem berpikir sistematis. Misalnya pernyataan fosil A berusia lima ribu tahun dan fosil B berusia enam ribu tahun hanya dapat dikemukakan dengan menggunakan kaidah penalaran tertentu. Sains bukan semata-mata pengindraan. Untuk mengklaim fosil B lebih tua daripada fosil A, itu memerlukan sistem penalaran. Sistem penalaran sains biasanya menggunakan pendekatan induktif. Mereka berangkat dari kaidah khusus menuju penyimpulan umum. Sementara filsafat berangkat dari kaidah khusus menuju penyimpulan umum.
Sistem penalaran induktif dipopulerkan oleh Francis Bacon. Sementara sistem penalaran deduktif telah terlebih dahulu dikembangkan oleh Aristoteles.
Orang-orang yang terlalu terpesona dengan sains menganggap sains merupakan jalan satu-satunya atau setidaknya jalan terbaik untuk menemukan kebenaran. Padahal kebenaran itu sendiri adalah diskursus dalam domain filsafat. Sains hanya bertugas memberikan pembuktian-pembuktian atas realitas empirik. Selebihnya sains tidak mampu dan memang bukan tugasnya.
Bagi kaum saintisis, yakni orang orang yang bukan saintis namun terlalu terpesona dengan sains, akan mengatakan bahwa sains itu punya kaidah metodologis yang jelas. Sehingga apabila ada orang yang mengemukakan sebuah kritikan terhadap sebuah teori sains yang dianggap telah mapan, akan diundang ke majelis terhormat untuk membuktikan pandangannya. Dengan sikapnya yang terbuka dan kaidah metodologisnya yang jelas, benar salahnya pembuktian seseorang dapat diukur dengan jelas.
Pandangan demikian sebenarnya sama dengan filsafat. Seseorang yang ingin membantah teori filsafat juga diberikan ruang yang luas untuk membantah sebuah teori dan memunculkan teorinya sendiri. Kaidah metodologis dalam filsafat juga sangat jelas. Sistem perpikir filsafat juga sangat sistematis hingga ke proposisi elementernya. Apabila ada orang yang ingin membantah sebuah metodologi, juga diberikan ruang yang luas untuk mengajukan argumentasinya.
Saintisis akan mengatakan bahasa sains itu bersifat universal. Misalnya istilah atom untuk menunjukkan partikel terkecil yang membentuk molekul menjadi benda disepakati semua saintis dari berbagai kalangan. Itu benar. Kita tidak membantahnya. Namun kita tidak boleh lupa bahwa istilah atom itu sendiri dimunculkan kalangan filosof sejak Kosmosentrieme Yunani untuk menunjukkan keberadaan elemen terkecil penyusun benda-benda. Banyak sekali kaidah filosofis yang diserap sebagai aksiomatik dalam sains lalu diuji secara metodologis dalam sains. Hal-hal abstrak lainnya yang merupakan kaidah filosofis untuk selanjutnya dideterminasi sains positif. Seperti istilah bumi berputar, juga diambil alih sehingga menjadi paradigma santifik. Sebelumnya istilah bumi berputar dimaknai sebagai gambaran bahwa tidak ada yang tetap di bawah kolong langit. Dengan paradigma sains, menjadi bumi berputar mengelilingi porosnya.
Bagi saintisis, hal-hal yang sebelumnya dianggap misteri sudah banyak dipecahkan oleh sains. Hal-hal misteri seperti kematian, bagi saintisis itu dianggap hanya variabel empiris, seperti kekurangan energi. Padahal saintis bidang kesehatan tidak melihat nyawa yang perlu ditolong hanya perangkat-perangkat teknis yang sedang diupayakan untuk diperbaiki. Mereka punya keahlian, tetapi bekerja dengan hati. Saintis bidang kesehatan sangat menghargai nyawa manusia. Namun saintisis dikhawatirkan bukan membuat orang semakin percaya kepada kemampuan sains, malah berpeluang membuat orang berpikiran buruk terhadap saintis.
Saintisis yakin sains akan mampu menciptakan serum yang menjadikan manusia tidak menua, mampu hidup seribu tahun. Itu semua hanyalah ilusi saintisis. Pada saat yang sama sebagian saintisis mengatakan keberadaan akhirat hanya ilusi. Padahal keduanya, baik agamawan maupun saintisis, sama-sama berbicara tentang sesuatu yang belum terjadi.
Seorang saintisis mengatakan, posisi filsafat hanya akan tinggal untuk mengkritik moralitas dalam pengembangan sains. Misalnya moralitas dalam kloning manusia. Dalam mengomentari saintisis, Nirwan Dewanto mengingatkan bahwa, perkembangan sains yang tidak terbendung tidak membuat manusia semakin rasional. Karena perkembangan sains membuat manusia menentang kaidah-kaidah hukum alam. Manusia menciptakan limbah yang membuat manusia sendiri yang menderita. Saya tambahkan, manusia menciptakan buldoser sebanyak-banyaknya untuk mengeruk gunung sebanyak-banyaknya untuk kemudian berkubang lumpur sekalian rumahnya dibawa banjir bandang. Dalam hal ini, Fachry Ali mengatakan, meskipun banyak orang terlalu terpesona dengan sains, namun dia mempertanyakan daya imbau sains. Sejauh ini, sains masih belum mampu mempengaruhi paradigma manusia dibandingkan agama dan filsafat.
Agama misalnya, saintis ulung sekalipun, banyak sekali yang kalau sudah tua sakit-sakitan, akan lebih sering ke berdoa daripada berusaha menciptakan serum supaya mereka bisa hidup seribu tahun lagi. Dengan begitu, sekali lagi, yang berasalah sebenarnya bukan saintis, melainkan saintisis, orang-orang yang kemaruk sains. Mereka terpengaruh oleh spekulasi-spekulasi jurnalis sains dan para pembahas filsafat sains yang belum tentu pernah melakukan penelitian saintifik.
Jangan-jangan, ketika malaikat maut datang, saintisis akan mengamati utusan Tuhan itu, apakah mereka merupakan partikel, molekul, atau masih mengklaim dua sosok sedang mencabut nyawanya itu hanya muncul dalam ilusinya saja karena sedang ada gangguan partikel molekul yang mempengaruhi sinyal listrik di otaknya.
Waktu belajar filsafat saat mata kuliah martikulasi di program magister dulu, Prof. Mulyadhi Kartanegara mengatakan indra itu sebenarnya lemah sekali daya observasinya. Pulpen yang dimasukkan ke dalam gelas akan terlihat bengkok. Akallah yang memberi tahu itu hanya pengaruh cairan di dalam gelas. Mulla Sadra juga mengatakan bahwa daya indra itu sagat lemah. Sebab itulah manusia perlu mendayagunakan fakultas-fakultas lainnya.
Ibn Sina mengatakan, untuk belajar filsafat dengan baik, seseorang harus sudah memahami dengan baik ilmu-ilmu eksak seperti fisika dan matematika. Sebab itulah banyak filosof yang berlatar belakang sains. Ada Bertrand Russel, Wittgenstein, Alfred North Whitehead, Ouspensky, Paul Feyerabend, Imre Lakatos, Thomas Kuhn, Seyyed Hossein Nasr, Husain Heriyanto, Karlina Supelli, Haidar Bagir, dan banyak lagi. Mereka adalah orang-orang yang telah melatih akalnya untuk bekerja secara sistematik. Sehingga mereka menjadi mudah memahami filsafat yang sangat rigid.
Stephen Hawking yang menjadi pujaan saintisis meski mungkin bukunya belum pernah dibaca secara cermat dan tuntas sebenarnya telah berbicara di atas ranah sains yakni telah menyentuh hal-hal filosofis seperti ingin membangun teori segala sesuatu. Saintis dalam perkembangan kariernya banyak sekali yang melampauai ranah garapan saintifik, mereka banyak menjadi filosof. Sementara saintisis entah akan jadi apa.
Mulla Sadra adalah filsuf yang memberi apresiasi secara proporsional terhadap segala fakultas daya manusia: indra, inteleksi, imajinasi, intuisi. Orang yang mampu melihat sesuatu secara proporsional akan sadar bahwa setiap ranah keilmuan memiliki kaidahnya masing-masing.
Jiwa manusia itu punya fakultas yang beragam. Fakultas indrawi sebagai fakultas terendah pendekatannya adalah sains. Ranahnya hanyalah realitas empiris. Fakultas penalaran adalah ranah filsafat. Akurasi logika sebagai kaidah tertib berpikir sistematik merupakan pendekatannya. Fakultas imajinasi adalah domain sastra. Akurasi dalam ranah ini adalah keindahan. Sebuah puisi atau cerita fiksi tidak dituntut akurasinya dengan realitas empirik. Kemampuan menggugah imajinasi merupakan tugasnya. Ranah fakultas spiritual merupakan domain mistisme atau tasawuf. Pendekatannya adalah intuisi. Semua fakultas tersebut memiliki ranah dan pendekatan masing-masing. Setiap pendekatan masing-masing dianggap valid untuk domainnya selama tertib dengan pendekatannya masing-masing. Itulah yang disebut pluralisme metodologi.