Ontologi Tubuh

Pemberontak atau penurut? Yang manakah sifat dasar manusia? Sepertinya keduanya. Sama seperti berbuat kebaikan, sekaligus berbuat keburukan, keduanya bisa dilakukan oleh orang yang sama. Karena kedua sifat tersebut sama-sama dimiliki manusia. Pada satu kondisi atau pada orang tertentu, manusia bahagia mengikuti. Manusia punya hasrat untuk menyerah dan takluk serta bersedia dengan rasa bangga untuk mengikut sesuatu atau orang tertentu. Orang yang sama juga bisa memberontak, menolak, melawan, membangkang pada sesuatu ata seseorang.

Nietzsce yang memberontak atas semua filsafat dan mitologi, pada akhir Zarathustra berkata bahwa betapa dia ingin ada seseorang untuk dia ikuti dan mengaku akan sangat berbahagia menuruti.

Memberontak dan mengikuti, patuh dan melawan, gelap dan terang, demikian seterusnya adalah kontradiksi-kontradiksi yang sebenarnya satu kesatuan dalam diri manusia.

Dalam Zarathustra, Nistzsceh menulis: ”Tengah malam itu juga tengah hari, kepedihan itu juga kegembiraan, kutukan itu juga berkat. Malam itu juga matahari.”

Paradoks ini adalah hal yang disengaja. Demikian Nietzshe, dan juga salah satu pemikiran yang dipengaruhinya: Albert Camus. Sebagaimana eksistensialis, mereka hendak melakukan kritik terhadap kategoti-kategori Aristotelian maupun rasionalisme. Eksistensialis mengkritik realitas direduksi secara mekanis menjadi: identitas dan non-kontradiksi. Mereka tidak ingin rasio menjadi penentu kebenaran. Eksistensialis ingin agar keseluruhan diri manusia hadir kepada realitas, serta pada waktu yang sama realitas menyingkap kediriannya yang utuh.

Eksistensialis menolak rasio mendikte kebenaran. Menurut mereka, kebenaran itu tidak bisa dibatasi pada kategori-kategori. Penolakan pada absoluditas identitas dan nonkontradiksi berkonsekuensi pada penolakan atas dialektika dalam sejarah. Maka selain Aristoteles, Descartes, Kant, eksistensialis juga mengevaluasi filsafat dialektika Hegel.

Bagi eksistensialis, khususnya Camus, dialektika itu tidak nyata. Dalam kehidupan dunia, yang ada adalah dominasi absolut. Dunia dikendalikan oleh sebuah paradigma kuat. Setiap hasrat untuk melahirkan perlawanan selalu terbungkam, tidak pernah berhasil berdialektika dengan kekuatan besar. Bahkan kekuatan besar itu sendiri bisa saja merekayasa resistensi kecil untuk kemudian diakomodasi seperlunya untuk memunculkan kesan adanya dialektika. Selanjutnya akomodasi hanya menjadi permainan politik.

Eksistensialis seperti Camus menolak dialektika Marxis. Meskipun sempat terlibat dalam sebuah partai komunis, Camus tidak melihat adanya dialektika dalam sejarah. Menurutnya, yang nyata adalah pemberontakan. Subordinat melakukan perlawanan, tetapi tidak mampu melakukan revolusi. Sebab itulah menurutnya yang niscaya adalah pemberontak. Pemberontak berusaha menunjukkan eksistensi, namun tidak pernah berhasil mengungguli.

Bagi Camus, hidup setelah kematian itu tidak ada. baginya hidup adalah di sini dan sekarang. Dia adalah orang yang sangat menghargai setiap detik yang dimiliki. Mungkin itu karena penyakit TBC yang ia derita. Saat itu penyakit tersebut belum ada obatnya. Dia sadar bahwa kematian bisa datang kapan saja. Sehingga tidak boleh ada satu momenpun yang terlewat sia-sia. Sebab itulah, meskipun hanya berusia muda, dia telah menghasilkan banyak karya.

Camus dan keluarga hidup jauh dari agama. Dia hidup dalam kepedihan dan kemelaratan. Camus juga menolak Marxis karena dalam beberapa sisi dianggap sama seperti agama yakni menawarkan utopia. Bila agama menawarkan surga, Marxis menawarkan kesetaraan. Menurutnya, utopia Marxis itu mustahil, sementara janji agama tidak pasti.

Antara Albert Camus dan Roland Barthes, pakar seomiotika itu, ada banyak kesamaan dalam hidup: sama-sama menderita TBC, sama-sama pecandu rokok, sama-sama hidup dengan paru-paru yang bermasalah, dan sama-sama meninggal karena kecelakaan lalu lintas. Tetapi Camus punya satu kelebihan: dia tidak punya potret masa tua. Itu sangat penting mengingat para komentator tidak pernah adil. Mereka suka sekali memasang foto tua para pemikir. Padahal produktivitas karya dan kecemerlangan pemikiran dihasilkan pada waktu muda. Jauh sebelum foro-foto tua itu.

Eksistensialisme Camus berbeda dengan Heidegger. Lelaki Aljazair itu menolak metafisika. Menurutnya kehidupan yang nyata itu hanya apa yang dialami setiap detiknya. Manusia itu menyatu dengan alam. Baginya, ontologi adalah kulit yang merasa angin yang berhembus, mata yang melihat gunung tinggi menjulang, telinga yang mendengar desir ombak, hidung aroma mentimun, garam yang dicecap. Ontologi Camus adalah tubuh.

Sebab itulah Camus tidak sama dengan Sartre. Bagi Sartre, keadilan harus diperjuangkan walaupun harus mengorbankan diri sendiri. Hal ini berbeda dengan Camus. Bagi Camus yang utama adalah apa yang menjadi pengalaman: pedihnya penderitaan, menderita karena penyakit, kelaparan dalam kemiskinan; itulah yang lebih penting untuk dibela: bukan keadilan yang entah makhluk ideal apa itu.

Baca Juga

“Pulitek” Orang Aceh: Politik Keterusterangan

Pengalaman-pengalaman serupa tentulah dapat kita temukan di berbagai kesempatan, bahwa dalam relasi sosialnya, terutama dalam dunia politik, keterusterangan merupakan tipikal dari orang Aceh.

Kisah Persahabatan di Balik Meja Kerja

Waktu terus berjalan, tetapi persahabatan dan kenangan di balik meja kerja itu tetap hidup dalam hati mereka. Meskipun jalan hidup membawa mereka ke berbagai arah, ikatan yang telah terbentuk selama bertahun-tahun tidak akan pernah hilang.

BUKAN DI TANGAN MPR

Malah, sekarang, kita lebih mengkhawatirkan kapasitas partai politik, yang lebih mengejar hasil instan elektoral dengan mengajukan pelawak sebagai calon wakil walikota.

MEKKAH YANG DEKAT

Mekkah adalah tanah impian. Semua muslim mendambakan menginjakkan kaki di sana. Dari Mekkah, tempat di mana sakralitas ibadah haji dilakukan, cerita mengenai hubungan muslim dengan Tuhan dan masyarakatnya bermula.

Menyoal Frasa Wali Keramat dalam Cerpen Ada Sepeda di Depan Mimbar

Namun, pada poin kedua, di sini, imajinasi Khairil Miswar sama sekali bertolakbelakang dengan imajinasi saya. Gambaran imajinatif sosok Teungku Malem yang dianggap wali keramat, namun dia menghasut Tauke Madi untuk tidak lagi memperkerjakan orang yang tidak salat, bukan main anehnya