Perdebatan Bi-La Kayfa dalam Teologi Islam

Terdapat tiga varian umum antropomorfisme dalam teologi Islam. Pertama yang berpandangan literal yaitu mereka yang meyakini Tuhan memiliki tangan, wajah, Dia duduk di atas Arsy-Nya, turun setiap malam ke surga terendah, dan Dia bisa marah atau bahagia.

Kedua yang berpandangan Tuhan tidak serupa dengan apapun. Sehingga tangan, wajah, bersemayam bermakna kiasan: Tangan adalah kekuasaan, wajah adalah kehadiran, bersemayam adalah mengawasi, dan seterusnya.

Ketiga adalah mereka yang menerima Tuhan memiliki tangan, wajah, dan bersemayam karena itu jelas tercantum dalam Al-Qur’an, namun tidak mempertanyakan rinciannya kecuali sebatas menerima dari setiap penjelasan tentang Allah melalui Al-Qur’an dan Hadis dengan tidak dikaitkan dengan rupa jasmani sebagaimana dimiliki makhluk. Ajaran ini bersumber dari prinsip Malik ibn Anas yang juga dianggap berasal dari berasal dari ajaran Ibn Hanbal.

Ajaran varian terakhir di atas berprinsip bi-la kayfa, yakni tidak mempertanyakan bagaimana kondisi Sifat Allah, oleh penentangnya dipandang mengingkari tasybih dan dianggap mengingkari makna Al-Qur’an karena dianggap mengingkari sifat-sifat Allah. Namun mereka sendiri berpandangan bahwa hakikat Allah memang tidak bisa diketahui. Sifat-sifat Allah itu tidak diketahui seperti apa kecuali melalui sebatas keterangan di dalam Al-Qur’an dan Hadis.

Ibn Qutaybah adalah pemikir yang mendukung pandangan bi-la kayfa. Sementara Ibn Taimiyah adalah pendukung yang berusaha sekeras mungkin supaya dapat masuk akal.

Sebenarnya Abu Hasan Al-Asyari yang sepakati juga oleh Al-Maturidi berpandangan, tangan dan wajah Tuhan tidak dapat dikiaskan, kecuali ada dalil lain yang menerangkannya. Al-Maturidi menambahkan argumentasi dengan mengatakan bahwa kemustahilan itu terjadi karena tidak ada apa pun di dunia yang serupa dengan-Nya.

Sementara Al-Ghazali menerima kias atau takwil untuk Sifat Tuhan dengan mengatakan Tuhan di ‘arasy adalah simbol pengetahuan Tuhan atas manusia sehingga Tuhan mengetahui manusia, Dia dekat dengan manusia sebagaimana dekatnya urat leher.

Sementara itu Ibn Taimiyah yang mengkritik pandangan Al-Ghazali dengan mengatakan bahwa kedekatan tidak berhubungan dengan pengetahuan. Menguatkan Ibn Taimiyah, Binyamin Abrahamov (1995) mengatakan, umumnya teolog melakukan kesalahan logika dan linguistik dalam mengemukakan pandangannya.

Ibn Taimiyah melarang penggunaan kias (takwil) karena menurutnya Al-Qur’an harus dipahami konteks pembahasannya; Tuhan harus dipahami sebagaimana Dia menggambarkan dirinya sendiri. Abrahamov menengarai, kritik Ibn Taimiyah atas takwil adalah untuk membangun argumentasi bi-la kayfa.

Mengenai pengetahuan atas sifat-sifat Tuhan, Ibn Taimiyah berpandangan bahwa penjelasan tentang itu tidak boleh melebihi penerangan dari Nabi Muhammad. Bagi Ibn Taimiyah, Al-Qur’an itu sudah memenuhi apapun yang perlu diketahui manusia. Dengan demikian, tidak boleh manusia melebih-lebihkannya.

Dalam menolak sistem takwil, Ibn Qutaybah misalnya menolak takwil atas hadis: “Hati manusia di antara dua jari Tuhan”. Alasannya, bila ditakwilkan hati Nabi dalam posisi itu berarti beliau dilindungi Tuhan. Bila telah dilindungi, kenapa Nabi selalu berdoa dan harus selalu takut? Karena itu, menurut Ibn Qutaybah, hadis tersebut menurutnya diterima saja apa adanya, tidak perlu ditakwilkan.

Demikian juga narasi ayat: “Dua tangan Tuhan terbuka…” (QS. Al-Maidah:64), oleh Ibn Khuzaymah dianggap tidak perlu ditakwilkan. Karena bila ditakwil berarti Tuhan hanya punya dua nikmat. Maka dia menawarkan bi-la kayfa karena manusia harus tunduk pada teks. Argumen dalilnya adalah “Berpikirlah tentang makhluk Tuhan, jangan berpikir tentang Zat-Nya”.

Al-Juwayni juga melarang berpikir tentang Dzat Tuhan dan hal-hal yang menimbulkan keraguan. Dalam pandangannya, para sahabat tidak menafsirkan Sifat Tuhan secara antropomorfis. Sehingga kita perlu mengikuti kebijakan itu.

Dalam argumentasi linguistik dijelaskan Abrhamov, istilah yang digunakan Untuk Sifat Tuhan adalah istilah umum. Bisa diterapkan pada Tuhan maupun manusia sehingga menjadikannya antropomorfis. Namun masalahnya adalah, bila itu tidak dilakukan pengkiasan, maka sifat-sifat Tuhan takkan dikenal sama sekali. Al-Maturidi menawarkan jalan tengah yakni menggunakan istilah umum itu namun tidak menafsirkan sebagaimana predikasinya kepada manusia.

Penerimaan istilah dengan menafikan keidentikannya dengan manusia menjadi fokus doktrin Ibn Taimiyah. Pengetahuan Tuhan itu tidak diketahui karena tidak sama dengan pengetahuan manusia. Demikian juga pengetahuan manusia itu berbeda dengan pengetahuan hewan. Sehingga satu istilah yang sama sama bagi masing-masing pemilik sifat. Misalnya ayat “Tidak diketahui maknanya kecuali rasihun,” maka dengan demikian ada pengetahuan bagi manusia, ada yang hanya diketahui Tuhan. Dengan demikian dibagilah penafsiran itu pada empat level.

Pertama yang diketahui yakni makna harfiahnya. Kedua, yang tidak diketahui oleh siapa pun. Ketiga, yang hanya diketahui ulama. Empat, yang hanya diketahui Tuhan saja.

Abu Qasim Al-Taymi berpandangan, pemahaman atas Sifat Tuhan adalah sebagaimana pemahaman atas Zat-Nya. Maksudnya adalah, pengetahuan atas Sifat Tuhan itu hanya sebatas mengetahui bahwa Tuhan itu memiliki sifat. Namun mustahil bagi manusia mengetahui seperti apa Sifat-Nya itu.

Ibn Taimiyah mengatakan setiap zat pasti punya sifat. Mengingkari keberadaan sifat berarti mengingkari keberadaan zat. Jadi dalam pandangan Ibn Taimiyah, Terkait dengan Sifat Allah Ibn Taimiyah berpandangan, manusia mustahil dapat mengetahui bagaimana sebenarnya Sifat Allah itu.

Terkait bi-la kayfa, tentang narasi “Allah turun ke langit terendah,” Ibn Taimiyah mengatakan turunnya Tuhan pasti sangat berbeda dengan turunnya makhluk yang memiliki jasad dan meruang. Bahkan turunnya malaikat sendiri berbeda dengan turunnya makhluk berjasad, apalagi turunnya Tuhan. Sehingga manusia mustahil dapat memahami Sifat tersebut.

Sementara Al-Ghazali mengatakan, takwil untuk Sifat Allah hanya tidak dapat dipahami orang awam. Sehingga dia menjelaskan, bi-la kayfa hanya berlaku bagi orang awam. Masyarakat Awam tidak perlu membahas Sifat Allah secara mendalam karena tidak akan memahami atau bahkan membuat mereka sesat akibat salah paham.

Kesimpulannya, bi-la kayfa yang berangkat dari sebuah hadis telah menjadi diskursus panjang dalam teologi Islam. Konsep bi-la kayfa telah berguna untuk satu aliran teologi untuk menentang pandangan antroposentrisme dan penggunaan takwil bagi Sifat Tuhan dari aliran teologi lainnya. Pada sisi lain, konsep bi-la kayfa juga berlaku untuk suatu aliran teologi untuk membangun argumentasi kemustahilan manusia mengetahui Sifat Tuhan.

Ilustrasi: fajernet.net

Baca Juga

“Pulitek” Orang Aceh: Politik Keterusterangan

Pengalaman-pengalaman serupa tentulah dapat kita temukan di berbagai kesempatan, bahwa dalam relasi sosialnya, terutama dalam dunia politik, keterusterangan merupakan tipikal dari orang Aceh.

Kisah Persahabatan di Balik Meja Kerja

Waktu terus berjalan, tetapi persahabatan dan kenangan di balik meja kerja itu tetap hidup dalam hati mereka. Meskipun jalan hidup membawa mereka ke berbagai arah, ikatan yang telah terbentuk selama bertahun-tahun tidak akan pernah hilang.

BUKAN DI TANGAN MPR

Malah, sekarang, kita lebih mengkhawatirkan kapasitas partai politik, yang lebih mengejar hasil instan elektoral dengan mengajukan pelawak sebagai calon wakil walikota.

MEKKAH YANG DEKAT

Mekkah adalah tanah impian. Semua muslim mendambakan menginjakkan kaki di sana. Dari Mekkah, tempat di mana sakralitas ibadah haji dilakukan, cerita mengenai hubungan muslim dengan Tuhan dan masyarakatnya bermula.

Menyoal Frasa Wali Keramat dalam Cerpen Ada Sepeda di Depan Mimbar

Namun, pada poin kedua, di sini, imajinasi Khairil Miswar sama sekali bertolakbelakang dengan imajinasi saya. Gambaran imajinatif sosok Teungku Malem yang dianggap wali keramat, namun dia menghasut Tauke Madi untuk tidak lagi memperkerjakan orang yang tidak salat, bukan main anehnya