Perjalanan ke Dalam Diri: Puisi Keempat Hamzah Fansuri

Allah al-Wujud terlalu baqi
Dari enam jihat kunhinya khali
Wahuwa al-awwal sempurna ali
Wa huwa al akhir da’im nurani

Bait di atas adalah keterangan yang sangat jelas tentang Allah. Dia adalah Wujud yang kekal. Tidak ada mawjud yang serupa dengan Dia. Allah itu tanzih. Selain-Nya adalah mawjudat yang baharu.
Kehadiran Allah adalah melingkupi seluruh alam. Sekalipun, tanzih Dia juga tasbih. Segenap alam adalah manifestasi-Nya. Alam semesta digambarkan seperti napas Allah. Tidak ada batas antara napas dengan hembusan napasnya. Demikian lama semesta tiada lepas dar-Nya.

Demikian segala mawjudat yang sejatinya terlibat dalam gerak, semuanya kembali kepada Haqq Ta’ala. Semua berasal dari Allah dan kembali kepada-Nya. Karena hanya kepadanya kembali segala aktivitas.
Allah itu tidak ada yang melampaui-Nya. Dia adalah yang awal. Setiap mawjudat dilingkupu Wujud Allah. Setiap mawjudat diberikan wujud dari Wujud Tunggal sehingga menjelma beragam mawjudat.

Segala mawjudat yang menjelma terlibat dalam gerak. Segala gerak yang bersumber dari Allah sekaligus akan menuju-Nya. Karena hanya kepada Allah kembali segala aktivitas. Semua berasal dari Allah, semua beraktivitas dalam Ilmu-Nya, dan segalanya kepada pada Dia. Karena dia yang awal, sekaligus Dia yang akhir, maka itu artinya hanya Dia hakikat yang nyata. Karena segala arah adalah dalam kekuasaan-Nya, ke manapun kita menghadap ada wajah Allah, itu artinya hanya Dia Wujud Mutlak.

Nurani itu hakikat khatam
Pertama terang di laut dalam
Menjadi makhluq sekalian ‘alam
Itulah bangsa sekalian ‘alam
Itulah bangsa Hawwa dan Adam

Segala eksistensi telah memiliki status dasarnya. Segala ketetapan telah terjadi padanya. Segala yang ada dan segala kejadian, telah ditetapkan. Semuanya telah memiliki status masing-masing.
Segala realitas adalah dalam pengetahuan Allah. Segala yang diketahui menyatu dengan yang mengetahui. Pada pengetahuan Allah itu segalanya ditetapkan. Ketetapan itu awalnya tersembunyi di kedalaman samudra pengetahuan Allah.

Dari ketetapan yang tersembunyi itulah menjelma segala realitas. Segala yang ada berasal dari alam potensial yang telah tersedia sejak awal. Segala keberadaan muncul dari keberadaan yang tetap. Kebaruan alam adalah pada aktualitasnya.
Dari eksistensi yang tersembunyi, telah terkandung kelengkapan substansi. Ada akal, jiwa, bentuk, materi primer, jasad. Semuanya telah tersedia dari Cahaya Muhammad. Kemudian menjelma sehingga aktual segala aksidennya. Maka disebutlah ia manusia. Dari perspektif aksiden, manusia pertama adalah Adam dan Hawa. Namun pada sisi substansI, segalanya bermula pada Cahaya Nabi Muhammad.

Nurani itu terlalu lahir
Bernama Ahmad dari cahaya satir
Pancarnya ‘alam kedua hadir
Itulah ma’na awwal dan akhir

Segala realitas pada alam dunia adalah berasal dari dimensi ruhani. Demikian juga diri manusia. Segenap kediriannya, meski yang dapat dipersepsi hanya bentuk dan warna, sejatinya keseluruhan manusia adalah substansinya. Peripatetis membuat penjelasan mudah dengan menggambarkan jasad dan jiwa hubungannya seperti kendaraan dan pengemudi. Karena jasad dikendalikan jiwa. Namun dalam perspektif Hikmah Muta’alliyah, dikatakan bahwa keseluruhan jasad adalah aktualitas, penjelmaan, manifestasi dari jiwa.

Sisi penting dari penjelasan kosmologis adalah bahwa segala realitas itu ketentuannya adalah pada dimensi batin, yakni dimensi metafisika. Dalam kosmologi tasawuf filosofis, dijelaskan bahwa segala realitas itu berasal dari Nur Muhammad.

Dari Nur Muhammad itulah menjelma sekalian alam. Sebab itulah agar memudahkan pemahaman, alam semesta diumpamakan pancaran cahaya. Dalam sistem Neoplatonis digambarkan dengan emanasi. Karena sejatinya sinar yang dipancarkan dan cahaya itu sendiri tidak terpisahkan.

Untuk memudahkan pemahaman, digunakanlah sistem analisis filsafat yang menseparasi antara sebab dan akibat, awal dan akhir. Dalam teologi juga dibuat separasi antara Tuhan dan makhluk. Namun sejatinya itu hanya untuk memudahkan pemahaman. Karena sejatinya segala realitas adalah satu kesatuan. Pembedaan zahir dan batin, jiwa dan jasad, hanya untuk memudahkan pemahaman.

Awal dan akhir asmanya jarak
Lahir dan batin rupanya banyak
Sungguhpun dua ibu dan anak
Keduanya cahanya dari sana nyarak

Kemajemukan, menjadi awal dan akhir, terjadi dalam ta’aayyun melalui tajali. Melalui mekanisme ini Haqq Ta’ala berimanensi. Ta’ayyun pertama menjadi wujud, syuhid, dan nur. Dengan tiga elemen itu, Haqq menyaksikan diri-Nya.
Lahir dan batin, menjadi alam dunia dan alam spiritual, adalah karena ta’ayyun kedua dengan skema Haqq yang diketahui, dilihat, diterangi dalam kandungannya sehingga disebut ‘ayan tsabitah atau suwar ilmiyah. Itu adalah situasi batin. Disebut juga suwar ilmiyah atau hakikat asya’ karena padanya terkandung ketetapan segala sesuatu yang nantinya menjelma pada dimensi lahir yakni alam dunia.

Pada dimensi selanjutnya yakni ta’ayyun ketiga, terkandung ruh insan, ruh hewan, dan ruh nabati. Pada situasi ini berasal hakikat segala ruh yang nantinya ketika menjelma akan menjadi segala yang disebut sebagai manusia, baik itu menjadi, ibu, menjadi anak, dan seterunya.

Alam semesta menjelma dalam situasi ta’ayyun keempat dan ta’ayyun kelima. Inilah yang disebut dimensi zahir. Kejadian alam semesta terjadi terus-menerus. Kemajemukan alam ini sejatinya berlangsung dalam ilmu Haqq Ta’ala. Meskipun tampak majemuk, sejatinya segenap alam adalah kesatuan wujud.

Yogya kau pandang kain dan kapas
Keduanya wahid asmanya lain
Wahidkan hendak lahir dan batin
Itulah ilmu kesudahan main

Perbedaan-perbedaan antar entitas pada alam semesta itu hanya merupakan perbedaan aksiden, yang dalam skema Petipatetik terdiri dari sembilan unsur. Aksiden-aksiden itu bergantung pada substansinya. Jadi, seperti kain dan kapas, sejatinya adalah substansi yang sama.
Seperti kain dan kapas, sejatinya hanya berbeda nama karena perbedaan bentuk, hanya karena perbedaan pada ranah aksiden. Sejatinya antara kain dan kapas adalah satu kesatuan. Demikian itu adalah analogi bagi perbedaa-perbededaan setiap entitas alam semesta. Semuanya hanya berbeda pada penamaan. Nama-nama dibuat berbeda karena pada hakikatnya terdapat perbedaan pada esensinya. Sementara eksistensi yang diberikan kepada setiap esensi adalah berasan dari sau wujud yang tinggal.Maka dari itu, hendaknya manusia memahami persoalan terbebut, yakni harus memahami bahwa segala kemajemukan sejatinya adalah satu kesatuan. Segala yang menjelma secara lahir sejatinya hanya aktualitas dari dimensi batin pada alam spiritual yang mengakar pada ‘ayan tsabitah. Itu merupakan pengetahuan Haqq. Sebagaimana manusia dengan pengetahuan dalam dirinya, demikian juga Haqq Ta’ala dengan ilmunya.
Secara konseptual, demikianlah wahdatul wujud dapat dijelaskan. Sementara pengetahuan sejati untuk itu adalah dengan mengalaminya secara langsung, yakni mengalami penyingkapan dalam pengalaman spiritual. Namun demikian, pemahaman konseptual itu sangat penting karena pengetahuan konseptual menjadi ekspektasi dan stimulasi orientasi jiwa.

Angganya itu asalnya thaqhir
Batinnya ‘araq lahirnya thahir
Lagi kau saqi lagi kau sakir
Itulah Mansur menjadi nazir

Jasad manusia, sebagaimana bentuk-bentuk materi lainnya, adalah manifestasi dari sesuatu yang telah tetap dalam ‘ayan tsabitah. Dalam perspektif filsafat, aktualitas itu adalah pertemuan dari bentuk, jasad, dan materi primer.
Namun meskipun secara lahir manusia nyaris sama dengan makhluk-makhluk lainnya, namun pada dimensi batin, manusia memiliki keutamaan. Manusia adalah makrokosmos sekaligus mikrokosmos. Jasad manusia adalah miniatur dari segenap alam semesta. Demikian jiwanya melampaui segenap tingkatan alam. Manusia sempurnak, yakni insan kamil bahkan melampaui dimensi malaikat dan bahkan alam Jibril.
Kesadaran diri yang hakiki hanya dimiliki oleh mereka yang telah melalui berbagai tingkatan pada alam spiritual. Mereka telah mampu menyingkap segala bentuk pengetahuan secara konfirmasi (representasi), yakni pengetahuan yang memisahkan subjek yang mengetahui dan objek yang diketahui. Pada kondisi yang tinggi, antara yang mengetahui dan diketahui menjadi tunggal.

Kondisi penyatuan itu membuat seorang penempuh jalan spiritual yang tinggi menjadi kehilangan kendali diri. Keseluruhan dirinya telah diliputi yang hakiki. Tidak ada lagi ‘aku’ dan ‘dia’. Karena yang dialami adalah ketunggalan. Sebab itulah, sebagaimana tafsir seorang sufi terhadap kondisi Al-Hallaj, yang mengatakan, ‘Akulah Al-Haqq’ bukan Abu Mansur, melainkan Haqq Taala.

Hunuskan mata tunukan sarung
Isbatkan Allah nafikan patung
Laut tawhid yogya kau arung
Itulah ‘ilmu tempat bernaung

Segala tingkatan mata harus dibuka agar dapat menyingkap segala hal yang menghalangi. Indra mata boleh saja terbatas. Tapi tingkatan jiwa bukan itu saja. Imajinasi spiritual perlu dihidupkan karena itu adalah awal mula menyingkap alam spiritual. Alam imajinasi telah meninggalkan materi fisik meski masih menyertakan bentuk. Selanjutnya mata hati perlu dibuka agar makna di balik betuk bisa ditangkap. Demikian seterusnya hingga Haqq Ta’ala yang menjadi mata untuk melihat.
Untuk dapat Allah menjadi mata untuk melihat dan dia menjadi telinga untuk mendengar, manusia harus membersihkan hati dari unsur duniawi. Perkara dunia sama-sekali tidak boleh ada dalam hati. Di dalam hati hanya boleh ada Allah. Allah Mahaluas hanya muat di hati insan. Sedikit saja dia mengkhawatirkan dunia, maka batallah dia punya perjalanan ke dalam diri.

Tauhid itu sejatinya bukan sekedar ucapan, melainkan sebuah pengalaman yang nyata. Dalam pengalaman itu, memang sama sekali telah menyaksikan bahwa tidak ada apapun selain wujud yang satu. Maka sesiapa yang masih menyaksikan sesuatu apapun selain Allah dalam pengalaman spiritualnya, berarti perjalanannya belum sempurna.
Namun apabila seorang penempuh jalan spiritual telah mengetahui destinasi spiritualnya, maka sempurnalah perjalanannya. Apa yang telah dia capai dalam perjalanan itu berarti dia telah mendapat kesempurnaan ilmu untuk dirinya.

Rupamu lahir kau sangka tanah
Itulah cermin sudah terasah
Jangan kau pandang jauh berpayah
Mahbub-mu hampir sertamu ramah

Dalam perspektif Hikmah Muta’alliyah, alam materi adalah aktualitas dari jiwa yang bersifat spiritual. Sementara dalam perspektif Peripatetik, alam materi adalah perpaduan jasad, bentuk, dan materi perimer. Sementara dalam pandangan tasawuf falsafi sebagaimana ajaran Hamzah Fansuri, alam materi adalah bagian dari ta’ayyun. Maka dari itu, alam materi bukan sebuah status yang hina melainkan bagian daripada Ilmu Allah. Apalagi jasad manusia itu sendiri yang merupakan aktualitas dari jiwa insani yang sifatnyua sangat mulia.

Manusia itu adalah sesempurna pancaran Allah. Analaloginya seperti cermin yang sudah diasah. Pada masa lalu, cermin dibuat dari logam datar. Semakin baik diasah, semakin baik pantulan bayangan yang dihasilkan. Demikianlah manusia itu seperti cermin yang diasah dengan sempurna. Dapat menjadi wadah pancara Ilahi. Maka dengan berusaha membersihkan kecenderingan duniawi dan berusaha dalam menempuh jalan spiritual, itu seperti mengasah permukaan logam menjadi cermin.

Namun dalam usaha menjadikan diri sebagai cermin Ilahi, bukan berarti harus menempuh perjalanan jauh secara literal. Namun maksudnya adalah manusia harus membersihkan diri, menyucikan hati, menjauhkan perkara duniawi, sehingga tidak ada apapu di hati dan tidak ada apapun yang menjadi ekspektasi kecuali Allah. Perjalanan spiritual adalah perjalanan ke dalam diri.

Tujuan yang dicari dari perjalanan ke dalam diri adalah agar menemukan Allah yang sejatinya amat dekat dengan diri. Bahkan kedekatan itu tiada memiliki jarak. Menemukan Allah dalam perjalanan spiritual berarti menemukan bahwa sejatinya tidak ada apapun selain Allah.

Kerjamu mudah periksamu kurang
Kau sangka tasbih membilang tulang
Ilmumu baharu berorang-orang
Lupakan fardhu yang sedia hutang

Memang banyak sekali orang yang rajin beribadah. Karena itu merupakan bagian dari aktivitas sosial. Beribadah juga mengekspektasikan kenikmatan surga dan berusaha menghindari neraka. Tetapi sayang sekali ibadah hanya menjadi ritualitas. Padahal ibadah-ibadah yang telah ditentukan syariat itu seharusnya dapat menghantarkan manusia untuk membersihkan hati dan mendidik jiwa sehingga syariat yang dilakukan dapat menjadi tarikat.

Setiap tahap adalah ibadah harus mampu membuat jiwa semakin bergerak. Segala ucapan zikiir harus benar-benar dipandang sebagai realitas yang nyata. Ketika menyucikan Allah dengan lisan, jiwa harus dapat melihat realitas kesucian-Nya. Demikian penyucian itu harus benar-benar termanifestasi dalam itikad dan perbuatan: tidak ada yang lebih utama daripada Allah.

Manusia sebagai jiwa ruhani yang berasal dari tajali Ilahi memiliki potensi ilmu fitrah, yang dengan itu ia menyadari keesaan Allah, naluri berbuat kebaikan, dan punya hasrat menempuh jalan spiritual. Sayangnya dalam proses pendidikan, ilmu yang diajarkan malah menutupi potensi fitrah. Pendidikan dewasa ini hanya fokus pada keahlian yang sifatnya berkecenderungan duniawi. Ilmu-ilmu yang diajarkan malah menghambat perkembangan jiwa.
Akibat menimpangnya pendidikan, maka manusia melupakan langkah-langkah yang harus ditempuh dalam perkembangan jiwa. Padahal manusia sejak azali telah berikrar bahwa hanya akan fokus pada jalan spiritual menuju hadrat Ilahi. Manusia telah menjadi nyaman meskipun meninggalkan segala tuntutan fitri dari jiwanya.

Jawharmu penuh lengkap dengan tubuh
Warnanya nyala seperti suluh
Lupakan nafsu yang sedia musuh
Mangkanya dapat adamu luruh

Dimensi spiritual, sebagai dimensi utama dari kedirian manusia, yakni jawhar, atau dalam istilah filsafat disebut substansi yang terutamanya yakni jiwa, akal, dan seterusnya, itu sebenarnya aktual dalam aktivitas materi. Kedirian manusia yang tampak yakni segala aksiden dan gejala lainnya yang dapat dipersepsikan, adalah aktualitas dari dimensi spiritualnya. Maka setiap orang, apabila ingin memperbaiki kediriannya, maka harus memperbaiki dimensi spiritualnya: jiwanya harus bersih, akalnya harus jernih. Karena kategoirisasi kedirian berupa rohani dan jasmani, hanya penamaan saja. Sejatinya jasmani adalah aktualitas rohani.
Kejiwaan seseorang, segala kualitas spiritualnya, meskipun samar pada pandangan mata, sebenarnya dapat dilihat secara jelas melalui segala sikap dan tindakannya. Persis seperti kaidah Al-Hikmah Al-Muta’alliyah: jasad itu adalah aktualisasi jiwa. Dari orang yang jiwanya bersih dan akalnya jernih, akan terpancar keindahan Ilahi. Sebab orang demikian telah menjadi seperti cermin yang mampu dengan baik memancarkan cahaya Ilahi.
Agar dapat memiliki pikiran yang jernih serta jiwa yang bersih, segala bentuk angan-angan harus dilenyapkan. Segala macam ketertarikan atas perkara-perkara duniawi harus disingkirkan. Segala bentuk hawa nafsu merupakan penghalang bagi pembersihan hati dan penjernihan pikiran.

Dengan pikiran yang jernih dan hati yang bersih, pengidentitasan diri menjadi lenyap. Sehingga yang tampak hanyalah cahaya Ilahi. Manusia jangan menjadi berhala bagi dirinya sendiri. Manusia harus menjadi sarana terpancarnya cahaya ilahi.

Jawhar nin mulia sungguhpun sangat
Akan orang muda kasihkan alat
Akan ilmu Allah hendak kau perdapat
Manakan sampai pulangmu rahat

Jawhar menjadi mulia karena ia adalah wujud yang menjadi jiwa dan akal. Ia merupakan hakikat sejati manusia. Maka jelaskah bahwa manusia dan Haqq Ta’ala tiada dualitas.Terdapat dimensi manusiawi pada Haqq Ta’ala, dan terdapat dimensi Ilahi pada manusia.
Untuk memahami tentang nasut dan lahut, maka perlu bekal ilmu yang tinggi. Ilmu tentang makrifat itu bukan perkara mudah. Setiap orang perlu mengawali pembelajaran agamanya secara sistematis: dimulai dari pengetahuan paling rendah hingga seterusnya secara perlahan, disertai amalan dan itikad. Dalam hal ini perlu juga dipelajari melalui seorang yang ahli dan memiliki sanad yang tidak terputus.

Pembelajaran agama yang potensial itu perlu dimulai sejak usia dini. Itu seperti mengukir di atas batu. Karena bila belajarnya baru dimulai setelah benar-benar dewasa atau berusia lanjut, maka itu akan seperti mengukir di atas air. Apalagi ilmu yang hendak dipelajari hingga jenjang tertinggi dalam ilmu agama. Tentunya tidak bisa dipelajari sebagai sambilan. Mustahil didapatkan bila hanya sekedar untuk mengisi waktu senggang. Ilmu agama yang serius sejak dini harus dipelajari secara sistematis kepada yang bersanad hingga manti mampu mencapai makrifat.

Dengan fakultas indranya, manusia bisa mendapatkan stimulasi mengenal eksistensi dan kekuasaan Tuhan. Demikian akal dan daya jiwa lainnya. Semua adalah sarana untuk mengenal Haqq Ta’ala. Maka bila kedirian mampu dihidupkan, dikembalikan kepada fitrahnya, diri terus-menerus dihapuskan, maka akan sampai pada makrifat. Sangat sedikit orang yang mampu ke sana. Tapi sebenarnya itulah tujuan utama dari manusia untuk sejenak mengada.

Hamzah Syahr Nawi Zahirnya Jawi
Batinnya Cahaya Ahmad yang shafi
Sungguhpun ia terhina jati
‘Asyiq-nya da’im akan Dzat al-Bari

Baris pertama dalam bait ini, apabila dihubungkan dengan konteks bagian pusi ketiga ini, juga baris-baris di bawahnya, hendak menunjukkan bahwa meskipun berjasad materi, seorang manusia mengandung ruh Ilahi. Seperti Hamzah sendiri, meskipun secara indrawi seorang anak manusia biasa, substansinya adalah manifestasi ruh Ilahi.

Seorang manusia itu secara substansial berasal dari Wujud yang Satu dan tidak rangkap. Jiwa manusia adalah pancaran Nur Muhammad. Demikian juga segenap alam berasal darinya. Meskipun jasad manusia dari tanah, namun jiwanya itu pada dasarnya suci. Setiap orang apapun profesinya pada dasarnya menyertakan fitrah kesucian pada dirinya. Manusia tidak dapat dinilai dari penampilannya karena tangkapan indra itu sifatnya sangat terbatas.

Seseorang itu memiliki nilai bergantung pada kualitas jiwanya. Siapa saja yang terlalu hasrat akan dunia, maka merugilah dia. Sesiapa yang senantiasa hati dan pikirannya bersama Allah maka menjadi semakin baik kualitas jiwanya.

Baca Juga

Biografi Hamzah Fansuri

Hamzah Fansuri lahir sekitar pertengahan abad ke-15 pada periode akhir Samudra Pasai. Beliau mengenyam pendidikan pada Zawiyah Blang Pria. Kemudian hijrah ke Singkil dan mengajar pada lembaga pendidikan di sana. Tidak lama kemudian, melalui Barus, Hamzah Fansuri bertolak ke Timur Tengah untuk menuntut ilmu. Kembali ke Aceh, Hamzah Fansuri menetap di Fansur yakni Ujong Pancu, Peukan Bada, Aceh Besar.

Ragam Orientasi Bahasa Indonesia (Asal Usul Bahasa Persatuan)

Karya ilmiah Sutan Takdir Alisjahbana seperti Perkembangan Sejarah Kebudayaan Indonesia Dilihat dari Segi Nilai-Nilai  telah menunjukkan tentang bagaimana bahasa Indonesia sangat mampu menjadi sarana penulisan ilmiah. Penulisan ilmiah yang membuktikan kompatibilitas tinggi bahasa Indonesia sebagai sarana penulisan ilmiah selanjutnya juga dapat dilihat dalam karya Ignas Kleden, Sikap Ilmiah dan Kritik Kebudayaan. Tulisan ilmiah tentang agama juga ditulis oleh Sutan Takdir Alisjahbana yakni Pemikiran Islam dalam Menghadapi Globalisasi dan Masa Depan Umat Manusia. Karena memang bahasa Indonesia yang dulunya dalam format bahasa Melayu telah digunakan oleh Hamzah Fansuri, Syamsuddin Al-Sumatrani, Abdurrauf Al-Singkili, dan lainnya, telah sangat baik menjadi sarana komunikasi literatur agama.

Penyebaran Modern Bahasa Melayu Pasai (Asal Usul Bahasa Persatuan)

Bahasa Melayu Pasai yang telah luas penyebarannya telah menjadi sarana komunikasi efektif dalam menyatukan masyarakat Nusantara. Penguasaan bahasa Melayu Pasai yang sangat luas juga menyebabkan terjadinya penyerapan berbagai kosakata lokal masing-masing. Sehingga membuat bahasa Melayu Pasai itu terus mengalami penyempurnaan sebagai bahasa persatuan.

Transformasi Bahasa Melayu Pasai (Asal Usul Bahasa Persatuan)

Dalam pengantar karyanya Mir’at Al-Tullab Abdurrauf Al-Singkili menegaskan:

“Maka bahwasanya adalah Hadarat yang Mahamulia (Paduka Seri Sulthanah Taj Al-‘Alam Safiat Al-Din Syah) itu telah bersabda kepadaku daripada sangat lebai akan agama Rasulullah bahwa kukarang baginya sebuah kitab dengan bahasa Jawi yang dibangsakan kepada bahasa Pasai yang muhtaj (diperlukan) kepadanya orang yang menjabat qadi pada pekerjaan hukmi daripada segala hukum syara’ Allah yang mu’tamad pada segala ulama yang dibangsakan kepada Imam Syafi’i radhuallahu ‘anhu”  :