Primordialisme dimaknai sebagai pemaksaan identitas sektoral atau identitas terbatas untuk diterapkan sebagai landasan, aturan, dan sistem resmi ruang publik yang majemuk.
Cara pandang demikian tentu sangat mendiskriminasi serta tidak sesuai dengan cara pandang masyarakat homogen yang majemuk.
Indonesia sebagai negara kesatuan yang terdiri dari beragam identitas, baik budaya, ras, maupun agama telah dideklarasikan Pancasila sebagai landasannya. Para pendiri bangsa dengan amat bijaksana dan cerdas tidak menjadikan identitas primordial tertentu sebagai landasannya.
Para pendiri bangsa tidak menjadikan nilai budaya tertentu, dan bukan doktrin agama tertentu sebagai landasan sebuah negara yang mejemuk.
Tidak pula para pendiri bangsa menjadikan ideologi tertentu sebagai landasan negara. Dengan tepat mereka menjadikan fitrah ketuhanan, etos kemanusiaan, rasa persatuan, keharusan akan kebijaksanaan, dan kebutuhan akan keadilan sebagai landasan negara. Landasan tersebut sangat sesuai untuk bangsa yang majemuk.
Pada periode awal pembangunan bangsa, negara harus melakukan penyeimbangan internal (agresi militer, berbagai perdebatan bentuk kenegaraan, dan netralisasi islamisme) serta negosiasi perkembangan ideologi besar dunia (komunisme dan kapitalisme).
Pada periode tersebut rasa persatuan sipil tumbuh sangat pesat. Segala bentuk identitas primordial lebur dalam sebuah imajinasi besar bernama Indonesia.
Beruntung pada periode pertama, tumbuhnya nasionalisme tidak mereduksi identitas primordial yang sebenarnya sangat penting bagi semua komunitas.
Kebudayaan Jawa sangat penting bagi masyarakat Jawa. Doktrin Kristen sangat penting untuk umat kristiani. Orang Bugis harus bangga dengan geneologinya. Semua identitas primordial itu baik dan penting bagi kelompoknya.
Sayangnya pada periode pertengahan, semangat persatuan bangsa Indonesia yang digalakkan oleh kekuatan negara membuat banyak identitas primordial tereduksi dan melahirkan inferioritas bagi penyandang masing-masing identitas. Bahasa daerah ditinggalkan. Kebudayaan dan kearifan lokal diabaikan.
Selanjutnya periode ketiga yakni pasca reformasi, otoritarianisme dan sentralisasi dikurangi. Tetapi yang muncul adalah sektorianisme dan primordialisme. Kebudayaan tertentu dipaksakan untuk masyarakat yang majemuk. Doktrin agama tertentu dipaksakan menjadi landasan negara. Ras tertentu dikucilkan dari komunitas majemuk.
Dari problem primordialisme itu, diharapkan muncul kekuatan sipil untuk memperjuangkan rasa persatuan kebangsaan. Kekuatan sipil dari organisasi kemasyarakatan dan berbagai komunitas yang sadar akan kemajemukan bangsa dan pentingnya kesadaran akan persatuan diharapkan dapat bangkit untuk mengimbangi melemahnya kekuatan negara akibat reformasi. Sehingga dapat menjaga stabilitas persatuan bangsa tanpa mendeskriminasi setiap identitas masyarakat.
Setiap nilai agama dan budaya perlu dihidupkan untuk merawat identitas tiap komunitas. Tetapi tidak boleh dipaksakan untuk menjadi sistem publik. Bila menemukan nilai baik yang layak untuk dijadikan nilai bersama, dalam hal ini sistem objektivikasi Kuntowijoyo perlu dipertimbangkan secara kritis dan kontekstual.
Ilustrasi: Lektur.id