Seorang teman yang sedang studi magister pemikiran Islam menyatakan pesimis akan kebangkitan kembali wacana pemikiran Islam. Menurut dia, anak muda sekarang fokusnya adalah untuk berwirausaha. Intinya, menurut dia, saya simpulkan, kebutuhan finansial menjadi prioritas, daripada berkutat dengan persoalan wacana pemikiran Islam yang tidak dapat dilihat dampak praktisnya.
Memang benar, jangankan wacana pemikiran Islam, untuk beribadah fardhu sekali pun, urusan finansial paling pokok juga harus sudah selesai. Benar adanya anak muda hari ini sudah sangat terbuka wawasannya sehingga banyak yang mengambil langkah menjadi wirausahawan. Bahkan banyak yang memutuskan untuk fokus di dunia usaha daripada segera mendaftar kuliah.
Namun berberangen dengan itu, jurusan pemikiran Islam di perguruan tinggi semakin meningkat peminatnya. Hal ini antara lain karena persoalan finansial sudah dapat teratasi. Mengutip istilah seorang teman: kalau sudah kenyang, baru bisa mikir. Teratasinya masalah ini tidak lepas dari kerja keras kekuasaan dalam mengupayakan kebangkitan perekonomian.
Saya sendiri sangat optimis wacana pemikiran Islam akan kembali menggeliat. Ini bukan semata pandangan normatif. Saya mengamati, terdapatnya formasi sosial-politik-keagamaan yang sama antara situasi pada abad kedua puluh dengan yang terjadi hari ini: Kekuasaan menggenjot fokusnya pada kebangkitan ekonomi. Dalam sistem ekonomi global, baik abad lalu maupun hari ini, dengan mekanisme yang tentunya berbeda, perdagangan antar negara tidak dapat dibendung.
Pada abad kedua puluh, dalam rangka menggenjot perekonomian, meskipun diskriminasi tidak dapat benar-benar terhindarkan, kekuasaan megandalkan wirausahawan dari etnis tertentu sebagai perantara peningkatan perekonomian. Hari ini, baik disengaja maupun tidak, suka maupun tidak, mereka punya peran besar sebagai perantara peningkatan perekonomian.
Signifikansi wirausahawan dari etnis tertentu dalam perekonomian, baik pada awal abad kedua puluh maupun abad kedua puluh satu ini, menyebabkan reaksi dari sebagian umat Islam yang merasa khawatir dengan identitas yang dimiliki. Hal ini biasanya banyak dibumbui oleh berita-berita yang tidak jelas sumbernya.
Kekuasaan sendiri, sebenarnya fokus pada peningkatan perekonomian. Karena memang itu salah satu kewajiban pokoknya. Kekuasaan harus menjamin kesejahteraan masyarakat. Sementara reaksi-reaksi sebagian kelompok keagamaan, selama tidak mengganggu proses ekonomi dan ketertiban umum, kekuasaan tidak melibatkan diri.
Namun terkadang kekuasaan harus mengakomodir kelompok keagamaan tertentu untuk membuat kondisi sosial stabil. Biasanya, ketika kekuasaan memberikan dukungannya terhadap kelompok tertentu, maka kelompok tersebut akan mengalami kemunduran. Dulu, ketika kekuasaan Abbasiyah terlalu mengakomodir Mu’tazilah, kelompok itu ikut merosot seiring merosotnya pamor kekuasaan politik.
Kekuasaan Hindia pernah memberi dukungan finansial kepada petinggi salah satu kelompok Islam. Itu ikut membuat spirit kritis gerakan tersebut meredup hingga menciptakan perpecahan internal. Untuk itu, setiap kelompok keagamaan—terutama yang berpandangan inklusif sehingga membuat mereka dikagumi oleh kekuasaan—tetap perlu menjaga independensi agar dapat mempertahankan kekukuhannya.
Dalam era digital yang sarat dengan usaha pengembangan ekonomi sehingga ikut menciptakan banyak pengusaha muda, diperlukan alternatif pandangan keagamaan yang peka terhadap perkembangan zaman, bersikap terbuka, tidak kaku, dan tidak literalistik memahami agama.
Hal ini diperlukan untuk menawarkan alternatif atas sikap keagamaan hanya fokus terhadap teks yang dipahami secara hitam-putih. Paham seperti ini biasanya hanya akan menghambat usaha pengembangan perekonomian dan dikhawatirkan tidak mampu menawarkan solusi atas masalah yang ada.
Problem ini kerap terjadi antara lain karena otoritas keagamaan tertentu hanya peka terhadap teks namun kurang peka terhadap konteks. Padahal agama itu hadir untuk menyelesaikan masalah, bukan menghambat perkembangan masyarakat.
Kehadiran kaum progresif yang bersedia ikut serta dalam wacana pemikiran Islam sangat dibutuhkan dalam usaha mendamaikan kepentingan antara kaum muda pengusaha untuk mengembangkan bisnisnya dengan otoritas keagamaan tertentu yang melarang jenis usaha tertentu sehingga berpeluang memberikan dampak negatif pada stabilitas ekonomi.
Fakta sosial beserta seluruh elemennya termasuk kegiatan ekonomi tidak bisa begitu saja dianggap bertegah tanpa menawarkan solusi. Untuk itu, dibutuhkan pemahaman keagamaan yang bukan sekedar menerapkan pemahaman literal atas teks. Hal ini akan menjadi masalah karena, pelaku usaha akan melakukan resistensi sebab tidak ada solusi.
Penyegaran kembali wacana pemikiran Islam dibutuhkan karena, pertama, kaum inteligensia progresif mampu melihat secara detail, menyeluruh, beserta pertimbangan matang atas masalah yang ada. Kedua, mereka mampu melihat teks keagamaan tidak secara kaku melainkan mampu memahami makna teks secara terbuka dan multi perspektif. Cara ini dapat mendialogkan antara realitas dan konseptualitas.
Dalam sejarah, usaha menerapkan teks agama yang dipahami secara kaku tidak akan pernah dapat terlaksana. Karena, sebagaimana dikatakan seorang pemikir, semangat agama bukan tekstualisasi konteks. Semangat keagamaan adalah agar dapat memberikan solusi atas keniscayaan kebudayaan beserta segenap unsurnya yang terus bergerak cepat, termasuk perekonomian. Kehadiran teks yang dipahami literal secara serta-merta persis seperti usaha menghambat aliran sungai deras. Dalam hal ini, wacana pemikiran Islam perlu dibangkitkan kembali agar dapat menawarkan alternatif perspektif keagamaan dari pandangan literalistik yang cenderung menghambat laju perekonomian dan membuat agama menjadi dijauhkan generasi usahawan muda. Bila progresivitas pemikiran Islam tidak diapresiasi, maka dalam kegiatan perekonomian yang terus-menerus menemukan format barunya, agama akan mengalami krisis signifikansi.