Subhana Allah terlalu Kamil.
Menjadikan insan alim dan jahil
Dengan hamba-Nya da’i’m Ia wasil
Itulah mahbub bernama ‘adil
Allah itu Mahasuci dari segala mawjudat alam semesta. Tiada apapun yang serupa dengan Dia. Tidak ada pula yang sempurna kenal akan Allah. Tiada apapun yang bisa digambarkan dengan Dzat-Nya yang Mahaagung. Dzat-Nya terlalu sempurna untuk ditamsilkan dengan segala rupa makhluk. Maka patut diakui bahwa Allah itu terlalu suci. Dzat-Nya yang sempurna tiada yang benar-benar mengenali.
Dia yang Mahasuci sekaligus dekat dengan segala makhluk. Dia yang tasbih, suci dari segala keserupaan dengan alam. Sekaligus tanzih, yakni bermanifestasi pada segala alam. Ambiguitas ini bukan paradoks, melainkan salah satu sisi dari kesempurnaan-Nya. Dengan kesempurnaan itulah Allah menjadikan segala macam tingkatan alam. Dia bermanifestasi pada segala tingkatan semesta. Menifestasi itu pada perspektif inteleksi seperti tingkatan-tingkatan tangga. Namun dalam sisi intuisi seperti pancara cahaya. Maha suci Allah dari segala perumpamaan hamba, sekaligus dia hadir pada segenap alam. Pada sisi inteleksi ada istilah alim dan jahil. Namun dalam sisi inteleksi, ia merupakan gradasi manifestasi. Lebih dan kurang, prior dan posterior, awal dan akhir, zahir dan batin, semua itu adalah predikasi-predikasi inteleksi. Hakikatnya adalah satu kesatuan yang bertajali. Sementara tajali itu sendiri hanya sekedar penjelas bagi untuk memahami Dzat sempurna Mahamutlak.
Allah yang Mahasuci, tiada sesuatu apapun yang seripa dengan-Nya, sekaligus Ia wasil dengan hamba. Dia dan alam tiada dapat dipisah. Sekaligus segala sekalian alam bukanlah Dia. Pada keberagaman tampilan alam hakikatnya adalah kesatuan. Menjadi beragam adalah mudus bagi manusia untuk mengenal alam. Pengenalan akan semesta adalah bayangan untuk dapat mengenal empunya bayangan. Hakikat pengetahuan yang hendak dituju adalah hakikat yang nyata. Sementara bayangan adalah penanda bagi keberadaan empunya bayangan. Demikianlah alam semesta yang majemuk hanyalah penanda bagi eksistensi Haqq Ta’ala yang tunggal.
Allah sebagai sumber segala semesta menjadi tempat bergantung sekaligus sasaran hasrat kembali bagi segenap makhluk disebut mahbub, karena hanya Dia yang menjadi dambaan segala hamba. Dia awal sekaligus akhir. Dia zahir sekaligus batin, Dia dia tasbih sekaligus tanzih; sebab itulah dia disebut ‘adil. Dengan keadilannya, Dia menjadikan segala sesuatu menjadi seimbang. Ada siang ada malam, ada matahari ada bulan, ada langit ada bumi. Semuanya terjadi berkat penjadian dan penyeimbangan secara terus menerus dari Mahaadil.
Bersunting bunga bermalai
Kainnya warna berbagai
Tahu berbunyi di dalam sakai
Olehnya itu orang terlalai
Dalam ajaran spiritualnya, kemabukan aroma, keterlenaan aneka keindahan, dan kesyahduan irama,yang dihasilkan indra-indra dari keelokan dunia, selalu menjadi perhatian Hamzah Fansuri. Seharusnya dengan indranya manusia menangkap gejala-gejala alam dunia sebagai penanda keagungan Ilahi yang ada di balik simbol-simbol itu. Sayangnya manusia malah terlena dengan alam dunia dan melupakan hakikat di baliknya. Indahnya fenomena, lembutnya sentuhan, dan wangi aroma telah menjebak dan memenjara fakultas jiwa manusia.
Fenomena alam semesta yang menhadirkan aneka warna dan ragam keindahan betuk rupa sejatinya sebagai pengingat jiwa manusia melalui fakultas indra untuk dapat mengirimkan pesan pada fakultas selanjutnya, sehingga akhirnya daya spiritual menangkap bahwa segala keindahan yang elok dipandang mata adalah tanda keindahan Allah. Segala keindahan alam yang tampak pada pandangan mata sejatinya hanyalah manifestasi terendah dari keindahan Allah. Manifestasi yang rendah itu tujuannya untuk mengetuk indra supaya mencerna pemahaman kepada fakultas jiwa lainnya hingga menghasilkan kesadaran kesatuan keindahan dan penikmat keindahan. Sayangnya manusia, karena lemahnya daya jiwa, maka tidak mampu menghasilkan energi untuk menaikkan fakultas indra kepada fakultas di atasnya. Sehingga terjebak dalam fakultas indranya. Dengan begitu, segala keindahan dan kenikmatan hanya sebatas pada daya indrawi saja. Sungguh sangat merugi.
Manusia spiritual menyukai wewangian. Karena itu merupakan kerja daya indra dalam sisi aroma yang dapat menjadi pemantik daya jiwa di atasnya sehingga mencapai daya spiritual yang tinggi. Demikian juga sentuhan lembut, dengan itu menghantarkan pada daya sentuh jiwa yang lebih indah di atasnya, sehingga menghadirkan pengalaman rasa. Yang lain yakni kesederhanaan kesatuan sunyi. Demikian juga irama bunyi yang syahdu dapat menghantarkan pada pengalaman jiwa yang lebih tinggi, sehingga irama bunyi menghantarkan kepada kesunyian kosmik. Pada tahap itu jiwa akan merasakan kedamaian sejati dalam kehampaan sekaligus kemenyatuan.
Sayang sekali bila jiwa tiada dapat dikuatkan, maka wanginya aroma, indahnya fenomena, dan merdunya suara, malah menjadi penghalang bagi daya jiwa lainnya. Dengan begitu manusia tertipu oleh kenikmatan dunia sehingga terhambatlah ia menuju daya spiritualnya. Orang demikian itulah yang disebut terlena dengan keindahan dunia. Dia terjebak dalam fakultas indra.
Ingat-ingat kau lalu-lalang
Berlelas-lekas jangan kau mamang
Suluh Muhammad yogya kau pasang
Supaya salim jalanmu datang
Tidak dapat dimungkiri, sebagian besar manusia telah terjebak oleh dunia. Mereka hanya mengutamanan kebutuhan jiwa pada ranah indra. Lebih dari itu, mereka telah dilalaikan oleh kesibukan duniawi. Manusia telah terjebak dalam indranya. Berputar-putar tanpa arah di alam dunia. Maka cara bagi orang demikian melepaskan diri dari keterjebakan indrawi yakni pengalaman-pengalaman yang dapat menghantarkan pada refleksi diri.
Hidup di dunia terlalu singkat. Kesenangan dunia sangat terbatas. Apabila jalan kembali kepada kebaikan telah tersingkap, menuju ke sana harus bersegera. Terkadang beribadah itu dengan hati bahagia, terkadang juga tidak demikian adanya. Maka bila sedang berada dalam suasana hati kurang bahagia, tetap diri harus dipaksa. Karena bila kelalaian terus dimanjakan, akan membuat jiwa semakin beku. Maka itu, dalam kondisi bahagia, ibadah harus diusahakan maksimal, dalam kondisi kurang berselera, diri harus dipaksa. Karena hidup di dunia amat singkat. Maka ketika kebenaran telah menunjukkan jalannya, haruslah manusia bersegera.
Ketika jiwa disinari kebaikan, maka manusia harus menjadikannya sebagai kekuatan. Sementara petunjuk jalan adalah syariat yang telah dibawakan oleh Nabi Muhammad. Sinar kebaikan yang dipancarkan ke dalam hati tidaklah cukup. Untuk menuju Allah, haruslah dengan sebuah pedoman. Bila tidak, semua akan sia-sia. Jalan kebenaran itu sifatlah jelas dan pasti. Demikian juga syariat sebagai pendoman perjalanannya.
Dengan hidayah kebaikan dan kesetiaan pada jalan kebenaran, beserta syariat sebagai bimbingannya, maka kondisi manusia dalam menempuh perjalanan senantiasa diiringi keselamatan. Dengan kepatuhan atas syariat, maka manusia telah mengupayakan kemudahan diri dalam kehidupan dunia. Kemudian pelaksanaan syariat harus meningkat menjadi tarekat baginya. Syariat harus menjadi sarana pendidikan ruhani. Dengan demikian dia akan dapat melihat hakikat dari segala sesuatu. Pamahaman hakikat adalah pengantar menuju status tertinggi kemanusiaan, yakni sebuah penyingkapan pada makrifat akan Allah. Itulah tujuan utama kehidupan manusia.
Rumahnya ‘ali berpatam birai
Lakunya bijak sempurna bisai
Tudungnya halus terlalu pingai
Da’im berbunyi di balik tirai
Apa yang perlu dicari manusia adalah sesuatu yang sangat sempurna. Digambarkan seperti berumah yang tinggi dengan berpatam birai. Itu adalah rumah yang sangat mewah. Hanya bangsawan saja yang punya rumah tinggi. Bahkan begitu mewah karena berpatam birai. Berarti rumah itu sangat indah tiada tandingannya. Bahkan tidak semua bangsawan memiliki. Itulah situasi keagungan yang hendak cari manusia. Bila rumahnya saja demikian indah dan megah, bagaimana lagi keindahan dan keagungan empunya rumah.
Bila digambarkan dengan perangai seseorang, maka yang dicari itu adalah yang punya rupa yang anggun, tutur katanya menyejukkan, dan perangainya indah. Perangainya itu menjadi panutan. Kesan akan segala sikapnya memberi pesona dan senantiasa menimbulkan kerinduan. Dia yang dicari itu sangat mulia.
Keindahannya dihiasi mahkota. Karena Dia adalah raja yang utama. Tudungnya halus sehingga mahkotanya tidak menjadi beban. Malah kedudukan-Nya itu memberi rahmat bagi sekalian alam. Juga posisinya yang tinggi terpancarkan ke segenap penjuru, sehingga setiap orang dapat menyadari keagungan-Nya.
Keindahannya tersembunyi dari pandangan mata. Meski sebenarnya keindahan itu jelas dan sangat nyata. Hanya sesiapa yang berusaha dan mendapat rahmat saja yang dapat menyingkap tirai. Tirai tersebut hanya dapat disingkap melalui syariat yang menghasilkan tarekat pembersihan jiwa sehingga terbuka segala hakikat dan meraih makrifat.
Jika sungguh kau asyiq dan mabuk
Memakai khandi pergi menjaluk.
Ke dalam pagar yogya kau masuk
Barang ghayr Allah sekalian kau amuk
Terkadang ada orang yang dengan syariat tidak dapat menghantarkannya pada tarekat. Sehingga pelaksanaan syariat hanya sebatas berguna sebagai sarana penertiban diri dan lingkungan masyarakat. Padahal syariat itu harus mampu menghantarkan jiwa pada sebuah jalan spiritual sehingga memberikan kepadanya suatu tarekat. Seterusnya itu akan menghasilkan sebuah ekspresi cinta dan kerinduan. Orang demikian akan senantiasa merindu dan daya nalarnya menjadi terlampaui.
Situasi cinta dan kerinduan akan menciptakan dahaga pada jiwa dan menjadikan hati menjadi terbuka dan siap untuk menanti untuk diisi dengan cinta Ilahi yang terus-menerus. Pancaran Ilahi akan senantiasa mengisi hati.
Cinta dan kerinduan yang berdasarkan syariat akan menghantarkan pada tarekat yang dibimbing oleh makrifat menuju singgasana Ilahi. Apabila telah sampai di hadapan singgasana Ilahi, maka sudah seharusnya manusia masuk ke dalam pagar yang memisahkan antara singgasana Ilahi dengan kesibukan duniawi. Namun banyak juga orang yang enggan kmemasukinya karena dia belum rela kehilangan apa-apa dari kenikmatan dan kebanggaan yang diberikan oleh dunia.
Untuk sempurna menuju makrifat Allah, maka segala ketertarikan dunia harus terlebih dahulu telah dienyahkan. Bila tidak, maka jalan yang telah ditempuh nantinya akan sia-sia. Karena bila masih tersisa hasrat duniawi, maka penempuh jalan ketika sudah berada di depan pagar singgasana Ilahi akan kembali memutar balik menuju pemenuhan hasrat-hasrat duniawi.
Berjalan engkau rajin rajin
Mencari guru tahukan batin
Yogiya kau tuntut jalan yang amin
Supaya dapat lekas engkau kawin
Dalam kehidupan dunia yang secara sepintas telah menjadi ruang ideal kehidupan, seolah-olah inilah satu-satunya dimensi jiwa manusia. Padahal fenomena dunia materi hanyalah bayangan dari alam yang statusnya lebih tinggi. Alam indra hanya manifestasi dari alam yang lebih tinggi. Maka dari itu, kesadaran akan hal ini sangat penting. Supaya manusia sadar bahwa alam ini bukanlah segalanya. Manusia perlu mempersiapkan diri, memahami, dan memasuki alam yang lebih tinggi dalam gradasi fakultas jiwa.
Jalan untuk mengetahui dan dapat memasuki alam yang lebih tinggi haruslah memeroleh bimbingan dari guru yang telah memasuki dunia batin. Tidak bisa seseorang menghantarkan orang lain kepada sebuah tempat tanpa dia sendiri pernah mendatangi. Orang yang pernah datang juga belum tentu dapat membimbing orang lain. Apalagi yang belum pernah menghampiri. Maka perlu guru yang paham spiritualitas, sekaligus memiliki sanad yang jelas serta telah disahkan baginya sebagai orang yang dapat membimbing orang lain. Menemukan orang demikian tidak mudah. Bila pun sudah ditemukan, perlu ia dipastikan adalah orang yang telah paham alam batin dan telah sah menjadi pembimbing bagi orang lain.
Bila telah menemukan guru yang benar, maka seorang murid harus benar-benar menurut segala arahan sang guru. Karena murid sama sekali tidak tahu jalan itu, maka sepenuhnya dia berada pada bimbingan sang guru. Jalan yang diarahkan guru itulah jalan yang dapat menghantarkan pada makrifat.
Jalan makrifat adalah agar manusia dapat menyatukan dirinya dengan Haqq Ta’ala. Seumpama sebuah perkawinan, ianya adalah penyatuan dua insan. Sementara dalam prinsip tasawuf filosofis, zat yang nyata hanya Haqq Ta’ala. Sementara manusia, hanya manifestasi semata. Maka penyatuan dalam kondisi ini adalah hilangnya identitas manusia sehingga tampaklah bahwa yang nyata hanya Haqq Ta’ala. Itulah sejatinya kebenaran.
Berahimu da’im akan orang kaya
Manakan dapat tiada berbahaya
Ajib sekali akan hati sahaya
Hendak berdekap dengan Mulia Raya
Bila hasrat manusia adalah kecenderungan duniawi, maka jalan akan Allah pasti terkunci. Bila ekspektasi hanya dipenuhi keinginan-keinginan duniawi, maka jalan akan Allah menjadi jauh. Karena jalan sufi itu sama sekali tidak peduli dengan kebutuhan duniawi. Jangankan mengklawatirkan kelilangan segala kemewahan, akan makan makan apa sebentar lagi tidak dipikirkan. Mereka telah total menyerahkan diri kepada Allah. Bila masih mengkhawatirkan soal makanan nanti, bagi mereka, itu syirik hukumnya. Karena telah meragukan kekuasaan dan jaminan Allah.
Sibuk mengelola harta kekayaan maupun sibuk berusaha menjadi orang kaya tentu telah menguras banyak sekali enargi dan pikiran. Segala fokus orang seperti itu tentu dalam rangka mempertahankan maupun mencari kekayaan. Kalaupun beribadah, itu akan sekedarnya saja. Maka tentu tidak akan mendapatkan jalan menuju makrifat. Orang-yang suka mengikut orang kaya juga punya nasib yang sama. Dia akan tersibukkan oleh jadwal dunia orang kaya yang menumpuk seolah tidak ada alokasi waktu untuk ibadah. Orang demikian lebih parah karena kesibukannya seperti orang kaya, tetapi penghasilan hartanya tetap rendah. Tidak ada waktu ibadah untuknya. Padahal banyak beribadah saja beluum tentu bisa mendapatkan kesempatan pada jalan spiritual.
Bila demikian, maka keinginan untuk memeroleh maqam spiritual hanya menjadi obsesi. Obsesi itu tentu ada karena manusia selain insan berjasad materi, juga memiliki jiwa yang berasal dari alam spiritual. Alam dunia sebenarnya hanya sarana melatih jiwa untuk memantapkan dirinya menuju singga sana Ilahi.
Maka itulah bila menempuh jalan spiritual, hati menjadi tenang. Karena memang itu orientasi sejati manusia. Jiwa manusia yang sifatnya suci, bila melepaskan diri dari kecenderungan duniawi, maka ia akan menjadi tenang. Ketika menuntut jalan tarekat hingga seterusnya, maka hati akan menjadi bahagia. Karena sejatinya fitrah manusia adalah terus bergerak menuju singgasana Ilahi.
Tiada kau tahu akan karmamu
Terlalu ghurur dengan hartamu
Nafsu dan syaithan da’im sertamu
Asyiq dan mabuk bukan kerjamu
Takdir manusia adalah melatih jiwa untuk senantiasa berjalan menuju hadrat Ilahi. Tetapi bila diri dibiasakan dengan kecenderungan duniawi, maka itu akan menjadi kebiasaan sehingga hati menjadi mati. Maka jiwa akan kehilangan arahnya.
Dalam hal ini, setiap orang tidak bisa mendua. Bila memilih kesenangan dunia, maka kegelisahan jiwa akan melanda. Sebaliknya bila meninggalkan duniawi sama sekali, maka hati akan berkecenderungan pada peningkatan kualitas jiwa menuju singgasana Ilahi. Maka dengan itu jelaslah bahwa kesibukan mencari, memikirkan mengurus, dan was-was akan kehilangan harta duniawi, akan membuat manusia melupakan desakan jiwanya.
Dengan mengabaikan dasakan jiwa, hati menjadi mati. Maka terjebaklah manusia pada tingkatan duniawi. Sebuah status alam yang sebenarnya hanya menjadi fasilitas bagi mineral, tumbuhan, dan hewan. Sayang sekali bila jiwa manusia yang bisa terbang ke singgasana Ilahi, harus terjebak di tempat yang sangat rendah.
Keterjebakan jiwa pada ranah materi itu sangat merugikan jiwa. Padahal jiwa manusia mampu melampaui fakultas nabati dan fakultas hewani. Jiwa manusia memiliki keunikan dengan daya akal. Daya akal merupakan fasilitas prasyarat bagi jiwa manusia untuk menembus alam spiritual. Pada alam spiritual itu, tingkatannya sangat banyak. Manusia dalam kehidupan di dunia hendaknya menembus segala tingkatan tersebut. Syariatnya harus mempu mendidik jiwa dan terus menapak pada sebuah jalan yang disebut tarekat. Dengan menempuh jalan tarekat, maka tampaklah segala sesuatu sebagai entitas esensial manifestasi Ilahi sebagai hakikatnya. Bila jiwa mampu membumbung lebih tinggi, hakikat-hakikat segala sesuatu itu akan menyingkapkan diri sehingga menghantarkan jiwa kepada makrifat.
Rantaikan hendak sekalian musuh
Anjing tunggal yogya kau bunuh
Dengan mahbubmu seperti suluh
Supaya dapat berdekap tubuh
Seseorang yang hendak memanapkan diri dengan mengasah hati agar jiwanya dapat membumbung tinggi menuju singgasana Ilahi, harus menyadari bahwa segala kecenderungan duniawi itu adalah jebakan-jebakan yang harus dihindari. Banyak sekali model kenikmatan dunia yang menjelma ke dalam berbagai bentuk. Semua medel penjebak jiwa itu harus mampu diidentifikasi dan semuanya harus mampu dihindari.
Harus disadari bahwa semua jenis kenikmatan yang dapat menjerat manusia hingga terjebak dalam kelenaan dunia. Segala jenis subjek hasrat duniawi itu sejatinya adalah berasal dari satu sumber yakni nafsu amarah yang ada dalam hati manusia. Nafsu tersebut awalnya membuat pikiran menjadi tidak tenang. Sehingga daya refleksi menjadi berkurang. Segala tindakan menjadi kurang pertimbangan. Selanjutnya menuai masalah dari tindakan-tindakan yang dilakukan. Selanjutnya pikiran terus terkuras. Manusia menjadi kurang waras. Hati menjadi keruh. Pikiran pendek mengira bahwa penyelesaian masalah yang dihadapi adalah pada sekitar duniawi. Maka teruslah manusia terlarut dengan hasrat-hasrat duniawi. Maka untuk mengatasi masalah yang berlarut-larut itu, seseorang harus mampu mengendalikan hawa nafsunya agar pikirannya senantiasa jernih.
Bila kewarasan dapat senantiasa dipelihara, hati menjadi bersih. Segala desakan jiwa ke arah yang penyempurnaannya dapat dijalani. Pikiran yang jernih dan hati yang bersih akan senantiasa dapat menjadi penerima pancaran sinar Ilahi. Dengan begitu pikiran dan hati dapat senantiasa terjaga dan terus bergerak menempuh jalan Ilahi. Serta mencapatkan cahaya sebagai petunjuk jalannya.
Bila hati dan pikiran senantiasa berada dalam bimbingan Ilahi, maka jiwa dapat terus bergerak menuju kesempurnaannya. Sangat banyak tingkatan spiritual yang perlu ditempuh. Maka dalam hal ini, segala perkara duniawi, benar-benar tidak dapat ditolerir. Hasrat jiwa dalam perjalanan spiritualnya harus dipenuhi, yakni berdekap dengan Ilahi.
Dunia nun jangan kau taruh-taruh
Supaya hampir mahbub yang jauh
Indah sekali akan galuh-galuh
Ke dalam api pergi berlabuh
Setiap kecenderungan duniawi yang melalaikan dari mengingat Allah, yang membuat kurang waktu untuk ibadah, dan mengganggu pikiran untuk fokus pada penyempurnaan jiwa, harus disingkirkan. Semua itu hanya akan menyisakan penyesalan. Dengan meninggalkannya, hati menjadi puas, pikiran menjadi tenang, dan kehidupan menjadi ringan.
Bila kondisi hati dan pikiran telah menjadi nyaman, maka jiwa dengan mudah dapat membumbung, menuji singgasana Ilahi. Maka manusia pun akan semakin dekat dengan apa yang sebenarnya dirindukan. Jiwa yang aslinya adalah dari singgasana Ilahi, bila singgasana itu semakin didekati, maka diri akan menjadi semakin bahagia. Karena, segala kondisi diri, ditentukan oleh kondisi jiwa. Bila jiwa dekat dengan Allah, maka diri akan bahagia.
Jalan spiritual yang ditempuh, perlu diakui itu tidak mudah. Banyak sekali perjuangan yang perlu dilakukan. Segala kecenderungan dunia harus dilenyapkan. Perlu manusia belajar pada kaluh-kaluh. Demi cita-citanya, hewan itu dengan rela menerobos api: mengorbankan diri hingga lenyap terbakar.
Sejatinya siapa yang menghendaki jalan spiritual, untuk memeroleh kebahagiaan sejati, harus mengorbankan dirinya. Kedirian itulah sumber masalah. Karena sejatinya tidak ada apapun selain Haqq Ta’ala. Maka bila masih mngakui diri memiliki eksistensi, itu berarti kebahagiaan masih jauh. Kedirian harus dilenyapkan karena merupakan penghalang utama menuju Haqq Ta’ala. Bila telah tampak tiada dualitas, barulah jalan ditempuh telah tercapai.
Hamzah miskin hina dan karam
Bermain mata dengan Rabb al-‘alam
Selamnya sangat terlalu dalam
Seperti mayat sudah tertanam
Masa sekarang, orang-orang malu menjadi miskin. Semuanya berusaha menunjukkan bahwa dia orang kaya. Dalam masyarakat, secara kolektif orang yang tampak miskin tidak akan dihargai. Padahal orang sufi, seperti Hamzah Fansuri, menulis lirik yang mengesankan bahwa dia bangga menjadi miskin. Karena sejatinya memang, satu sifat yang benar-benar mustahil dimiliki manusia yakni kaya.
Mengaku miskin berarti menyadari bahwa manusia itu memang fakir di hadapan Allah. Hanya Allah yang Mahamulia. Sementara manusia itu hina di hadapan-Nya. Menjadi fakir dan hina artinya telah membuka satu jalan untuk menjadi dekat dengan Allah. Sebaliknya mengaku kaya dan sombong berarti hantinya telah menyingkirkan Allah.
Dengan menghilangkan kesimbongan, berarti telah membawa jiwa menuji penyempurnaannya. Sementara orang yang sombong itu seperti ombak: berisik, bergemuruh, tetapi sejatinya tidak memiliki hakikat sama sekali, tidak punya daya mengendalikan diri, arahnya tak menentu: terombang-ambing. Karena yang nyata sejatinya hanya lautan. Kesadaran ini dimiliki sufi. Dengan melenyapkan ego diri, mereka telah menenggelamkan diri sangat dalam ke samudra Ilahi.
Orang yang telah berjalan menuju hadrat Ilahi, sadar bahwa manusia tidak punya kehendak sama sekali di hadapan ketentuan Allah. Makanya sufi memperlakukan diri seperti mayat: tidak berdaya sama sekali. Seperti mayat yang sama sekali tidak punya kuasa atas pelakuan manusia yang masih hidup, demikian juga sufi: mereka sadar bahwa segalanya berada dalam kekuasaan dan ketentuan Allah.