Puisi Keenam Hamzah Fansuri


Keseimbangan Pengetahuan dan Pengalaman dalam Perjalanan Spiritual

Aho segala kita yang bernama Islam
Yogya diturut Hadis dan Kalam
Karena Firman Allah di dalamnya tamam
Mengatakan dari Tuhan tiada ber-maqam

Setelah pada pembukaan syair sebelumnya Hamzah Fansuri menyeru segenap manusia, kali ini seruannya lebih spesifik. Bila semua manusia saja punya potensi untuk wāshil akan Allah, apalagi mereka yang benar-benar tunduk, patuh, dan taat akan seruan Allah. Dalam hal ini, Hamzah Fansuri hendak meyakinkan kita bahwa jalan menuju makrifat itu terbuka.
Dengan keyakinan itu, manusia tinggal memedomani hadis Nabi dan kalam Allah. Hadis menjadi pedoman praktik menempuh jalan menuju Allah. Kalam merupakan pembentuk keyakinan akan keesaan-Nya.

Dalam firman Allah, telah lengkap semua informasi mengenai segala pedoman kehidupan sebagai sarana penyaksian keesaan Allah. Al-Qur’an memuat segala wawasan mengenai pembangunan jiwa manusia. Padanya juga terkandung segala panduan menempuh jalan menuju Allah.
Inti pesan Al-Qur’an adalah menegaskan akan keesaan Allah. Penegasan ini disertai berbagai pendekatan, termasuk seruan kepada manusia untuk melakukan tafakur alam dan refleksi diri. Dengan demikian, manusia dapat menyadari keesaan Allah secara eksploratif dan kontemplatif.

Kalam itu datang dari ma’syuq
Mengatakan dirinya lā tahta wa lā fawq
Jangan dii’tiqadkan seperti makhlūq
Supaya dākhil engkau kepada alh ad-dlawq

Bagi para teolog, Al-Qur’an cenderung dipahami secara lebih literal dan menyerap makna pada permukaannya. Padahal pemaknaan Al-Qur’an itu tidak terbatas, baik perspektif maupun tingkatannya. Dalam sejarah, teolog memaknai sesuai pemikirannya. Kemudian kekuasaan politik memaksakan pemaknaan teolog tertentu untuk diikuti masyarakat. Sementara ‘urafa memaknai Al-Qur’an pada dimensi batin dengan perspektif cinta dan kasih sayang.
‘Urafa memahami bahwa segala sesuatu dilingkupi Haqq Ta’ala, sehingga dia bukan berada di atas dan bukan berada di bawah; karena Dia melampaui segala arah. Haqq Ta’ala melampaui timur dan barat. Dia adalah wujud, segala yang mawjud adalah manifestasi dari Wujud-Nya.

Wujud Haqq Ta’ala itu tidak sama seperti wujud makhluk. Wujud makhluk itu adalah wujud yang bercampur mahiyah. Kita mengenal segala sesuatu melalu mahiyahnya. Sementara wujudnya adalah dari Haqq Ta’ala. Wujud makhluk adalah wujud yang mumkin, bergantung mutlak pada Haqq Ta’ala. Sebentara Haqq Ta’ala adalah Wajib al-Wujud karena diri-Nya sendiri.

Dalam penyingkapan spiritual ahlul kasyaf, pada pandangan mereka tiadak ada lagi berlaku mawjudat yakni wujud-wujud mumkin. Karena wujud mumkin itu adalah pengenalan melalui indra dan inteleksi. Sementara ahlul kasyaf tidak mengetahui melalui indra dan nalar (hushulī) melainkan dengan ilmu hudhurī.
Dzat-Nya itu tiada berkiri kanan
Zuhurnya da’im tiada berkesudahan
Tiada berjihat belakang dan hadapan
Di manakan dapat manzil kau adakan
Segala yang bertempat berarti terbatas. Dzat Allah tidak terbatas, sehingga Dia tidak dapat ditunjuk di sana atau di sini dan tidak bertempat baik di kanan atau kiri. Dia adalah Wajib Al-Wujud yang aktual. Segala wujud yang lain tidak memiliki wujud yang nyata.

Eksistensi Allah tidak memiliki awal dan akhir. Karena awal adalah Dia dan akhir adalah Dia. Segala yang menjelma adalah manifestasi dari Eksisetensi Haqq Ta’ala. Segala sesuatu selain Dia eksis dari wujud Haqq Ta’ala. Segala yang teindrai, dapat dibayangkan, dan dapat dipikirkan adalah zat yang terbatas.

Allah melingkupi atas dan bawah, depan dan belakang. Segalah arah itu berbatas dengan arah yang berlawanan dengannya. Sementara Haqq Ta’ala itu tidak terbatas. Dialah yang awal dan Dialah yang akhir.
Karena Haaq Ta’ala adalah Wajib Al-Wujud yang meliputi segala sesuatu namun bukan apapun dari setiap sesuatu, maka mustahil daya indra, daya inteleksi, dan daya imajinasi dapat mengenal Nya. Untuk itu, satu-satunya cara mengenal Allah adalah melalui penyingkapan batin yang ditempuh melalui syariat, tarikat, hakikat, dan makrifat. Pada jalan itu, jelaslah bahwa hanya Haqq Taala wujud yang nyata, sementara segala yang terindai, terpikirkan, dan terbayangkan, hanyalah segala sesuatu yang tidak memiliki eksistensi sama sekali kecuali merupakan manifestasi-Nya.

Qala Allah: Ana Makan la makan
Walaysa li makan ma’nanya ‘iyan

Haqq Ta’ala adalah wujud tunggal yang melingkupi segenap eksisten. Segala sesuatu yang dianggap eksis sebenarnya hanya dikenal melalui sembilan kategori aksidennya. Sementara eksistensi itu adalah tunggal. Setiap eksisten dapat dikatakan eksis, tetapi sebagai suatu eksisten ia tidak eksis. Setiap eksisten tidak memiliki eksistensi mutlak.
Eksistensi Mutlak hadir pada setiap eksisten. Tetapi tidak satupun dari eksisten itu Eksistensi Mutlak. Pada segenap realitas adalah Eksistensi Mutlak. Tetapi Eksistensi Mutlak hanya dapat dikenal melalui gejalanya pada aktualitas setiap eksisten.

Jika kau dapat hakikat liqā’
Di ubun ubun jangan menyembah dliyā’
Karena Tuhan kita tiada ridā’
Ilmu cahaya dan ilmu riyā’

Segala yang dikenal dan diketahui tentang dunia adalah melalui limitasi indra dan nalar. Pengenalan indra adalah pada aksiden dan kemampuan pengenalan intelek adalah pada substansi. Substansi dan aksiden adalah modus eksistensi. Sementara hakikat sejati, yakni segala sesuatu sebagaimana adanya, adalah melalui mukasyafah, yakni penyingkapan spiritual.

Penyingkapan spiritual juga memiliki banyak tingkatannya. Terkadang ada penempuh jalan spiritual yang telah mengalami kasyaf melampaui substansi dan aksiden, melihat hakikat realitas sebagai cahaya. Namun sebenarnya cahaya itu hanya penyingkapan pada tahap pertama jalan spiritual.
Pada penyingkapan pertama, maka tampaklah hakikat segala sesuatu sebagaimana adanya, yakni kemampuan melihat karakter dasar dari setiap sesuatu. Terkadang ada sufi yang membanggakan diri dengan pengetahuan itu dan menggunakan ilmunya untuk kepentingan pragmatis. Biasanya sufi seperti itu yang tersesat pada jalan spiritual dan tertutup baginya tingkatan spiritual lainnya.
Seorang sufi sejati adalah mereka yang mampu terus menyingkap pengalaman spiritual. Mereka dapat mengetahui status spiritual dirinya dan para penempuh jalan spiritual lainnya. Namun hakikat sejati yang dicari adalah makrifatullah. Dalam kondisi ini, segala tingkatan spiritual telah dilalui dan pengalaman itu tidak terperikan: inaviblity.

Tuhan kita empunya wujud
Di ubun-ubun tiada Ia qu’ud
Jangan ditamsilkan amin dan quyūd
Supaya wāshil dengan haqiqat syuhūd

Pada realitas eksternal, karena pengidentifikasiannya menggunakan indra dan nalar, maka yang dipersepsi adalah mahiyah, yakni segala sesuatu yang dapat menjadi jawaban atas pertanyaan ‘apa itu’. Namun dalam identifikasi nalar, Mahiyah dapat dibedakan dengan wujud, karena keapaan dan keberadaan, itu terseparasi. Meskipun pada realitas inteleksi mahiyah lebih fundamental, namun pada realitas, wujud lebih fundamental. Salah satu alasannya adalah, realitas eksternal itu menjadi penyatu segala mahiyah. Sementara setiap mahiyah itu hanyalah modus pengenalan wujud. Meskipun penjelasan demikian tampak filosofis, namun sebenarnya demikianlah pandangan kaum sufi yang telah mencapai mukasyafah. Mereka paham bahwa pada realitas itu, yang nyata adalah Wujud dan ianya tunggal.
Haqq Ta’aala sebaga eksistensi tunggal dan memberikan wujud pada segenap ekstensi jelas tidak sama dengan segala ekstensi pada berbagai tingkatan realitas. Dengan demikian, mustahil Haqq Ta’ala itu sebagaimanya klaim keliru yang menyatakan bahwa Allah berada di ubun-ubun atau di dalam hati, atau pada tempat lainnya. Pernyataan demikian tentu tidak dapat dibenarkan kecuali hanya sebagai tamsilan semata. Biasanya pernyataan muncul dari sebagian penempuh jalan spiritual yang baru menjalani tarekat. Merereka merasakan sesuatu pada dada dan kepalanya. Namun itu hanya sekedar perasaan saja.

Haqq Ta’ala sebagai wujud mutlak tentu berbeda dengan apapun yang dapat diindrai dan dinalar. Dia bukan sosok dan bukan segala mahiyah. Sehingga tidak berlaku baginya segala sifat makhluk. Tindakannya juga tidak seperti segala amalan makhluk. Dia tidak bertempat, tidak berposisi, dan tidak berkondisi. Haqq Ta’ala adalah hakikat mutlak. Wujudnya melingkupi segala sesuatu, manun bukan segala sesuatu.
Mengikuti asumsi-asumsi tidak memberikan keuntungan pada penalaran dan perjalanan spiritual. Dalam perjalanan spiritual, segala pandangan dan segala yang dirasakan harus terus disingkaap, supaya berbagai tahapan spiritual tanpa batas dapat terus ditempuh. Hingga akhirnya dapat menyaksikan Hakikat Tertinggi.

Jika engkau ‘arif akan isyarat ka-ma hi
Tiada bercerai dengan ruh idlāfī
Di ubun-ubun jangan kau cari
Supaya jadi jasadmu ruhani

Kondisi alam spiritual hanya dapat dipahami oleh mereka yang telah berhasil menempuhnya. Perjalanan itu memang sangat relatif bagi masing-masing subjek. Tetapi mereka punya kesan nyaris seragam. Dengan demikian, sesama penempuh jalan spiritual dapat memahami sensasi masing-masing satu sama lain.

Sumbangan Ibn ‘Arabi sangat penting bagi penempuh jalan spiritual. Dia dapat membuat setiap penempuh jalan spiritual memiliki kosa kata yang sama dalam mengemukakan pengalaman spiritualnya. Dengan begitu, wacana tasawuf filosofis bagi pesuluk menjadi dapat mereka diskusikan. Sehingga antara guru dan murid, atau sesama murid, dapat dengan mudah saling berbagi dalam usaha menempuh perlajanan spiritual.
Kesamaan bahasa yang muncul dalam tasawuf falsafi sangat berguna dalam mengidentifikasi akurasi perjalanan spiritual seorang sufi. Terkadang ada orang yang melakukan suluk namun ia sebenarnya tidak memasuki perjalanan spirtual namun hanya mengikuti waham psikologis tertentu. Sebagian dari orang demikian mengklaim Tuhan hadir pada ubun-ubun, pada paru-paru, dan sebagainya.

Penempuh perjalanan spiritual yang telah menemukan penyingkapan melihat dengan mata batinnya bahwa tidak ada eksistensi kecuali Haqq Ta’ala. Mereka juga melihat segala realitas majemuk sebagai manifestasi Ilahi. Setiap entitas yang dilihat adalah pada esensinya, sebagaimana adanya.

Tuhan kita yang bersifat hayat
Terlalu Suci dari sittu jihat
Jika tiada engkau tahu akan hakikat sifat
Manakan dapat olehmu ma’rifat al-dzat

Segala sifat Allah adalah yang Dia gambarkan kepada muanusia supaya mereka mudah mengenal-Nya. Dia itu hayat yakni hidup karena bila dikenal dia sebagai hidup, berarti Allah itu berwujud. Karena Dia Wujud, maka dia berpengetahuan. Karena dia maha Mengetahui maka Dia berkehendak. Dengan kehendak-Nya, maka terjadilah alam semesta.

Eksistensi Haqq Ta’ala bukan sebagaimana kehidupan makhluk-makhluk yang dengan kehidupan mereka menjadi eksis, dan eksistensinya bertempat. Karena makhluk berhajat akan tempat. Sementara Haqq Ta’ala itu tiada berhajat dengan tempat karena segala eksistensi itu, wujudnya bergantung secara mutlak pada Haqq Ta’ala.

Segala sifat Allah itu bukan seperti sifat-sifat manusia. Sifat-sifat itu hanyalah sarana untuk membuat manusia agar memahami Haqq Ta’ala. Seperti seseorang yang disifatkan dengan alim karena dia memiliki pengetahuan. Namun sebenarnya pengetahuan itu sama sekali tidak eksis kecuali si empunya alim itu saja yang eksis. Demikian juga seperti sifat Alim bagi Haqq Ta’ala. Sebenarnya itu untuk menunjukkan bahwa Dzat Haqq Ta’ala pengetahuan-Nya melingkupi segala sesuatu. Bahkan dalam perspektif tasawuf falsafi, eksistensi alam semesta adalah bagian dari pengetahuan-Nya.

Menghadap Tuhan yogya dengan sopan
Buangkan sekalian rupa yang bukan
Jangan kau muhtāj akan bintang tujuan
Supaya wāshil adamu dengan Tuhan

Sebagian pesuluk dengan kurang berhati-hati menerjemahkan pengalaman spiritualnya. Cerita-cerita itu dapat memberi efek negatif kepada masyarakat. Bahkan itu dapat membuat citra negatif bagi para pesuluk. Padahal setiap pesuluk hendaknya lebih banyak diam atas pengalaman-pengalaman spiritualnya. Karena banyak di antara mereka kurang mampu mengartikulasikan pengalaman ruhani dalam bentuk kosa kata. Pengalaman spiritual itu sejatinya untuk dialamani, itu adalah ilmu rasa. Kecuali dia punya perangkat yang cukup untuk bercerita yakni kosa kata spiritual yang kaya dan kemampuan metodologis yang baik.

Dalam hal ini, Hamzah Fansuri menegaskan pentingnya ilmu yang cukup dan mencakup, yang dalam keperluan tasawuf filosofis mencakup ilmu fikih, tafsir, mantik, filsafat, dan lainnya. Tidak cukup hanya pengetahuan, ibadah yang baik dan usaha keras dalam menempuh jalan spiritual juga menjadi keharusan. Keseimbanyak antara pengetahuan dan usaha menjadi syarat utama dalam rangka gerak jiwa menuju wāshil Allah.
Wāshil Allah berarti menyadari bahwa hanya Haqq Ta’ala saja Wujud yang nyata. Eksistensi-Nya melingkupi segala sesuatu. Manusia itu sama sekali tidak punya daya. Eksistensi saja tidak punya. Al-Qur’an pada keseluruhannya telah menunjukkan bahwa segalanya adalah milik Allah. Sehingga hanya Dia yang mengatur segala urusan.

Pada cahaya dan maqām tiada di sana amar
Menyuruh hantar pada I’tiqad dan nazhar
Akan samadnya itu belum engkau khabar
Manakan dapat olehmu yang Ia Rabb al-Bashar

Tasawuf bukan sekedar perbuatan-perbuatan ibadah. Dalam perspektif tasawuf falsafi, pengetahuan adalah yang utama. Segala amalan tentu saja tidak akan berguna apabila tidak dilandasi pengetahuan. Dalam tasawuf falsafi, pengetahuan melingkupi persepsi indrawi, penalaran rasional, dan penyingkapan spiritual.

Integrasi indra, nalar, dan spiritual juga melingkupi segala perbuatan. Karena dalam sistem tasawuf falsafi, tarekat adalah syariat itu sendiri. Hakikat adalah tarikat, dan makrifat adalah hakikat. Keempat pembagian ini, sejatinya adalah satu kesatuan bagi sufi yang telah mengalami penyingkapan spiritual. Sekaligus penyingkapan spiritual adalah aktifnya penalaran dan pengindraaan.
Syariat dan kognisi adalah dua dalam satu. Itulah pintu masuk bagi perjalanan spiritual. Tidak akan tercapai penyingkapan spiritual, kecuali berangkat dari pengetahuan indrawi, inteleksi, imajinasi, sehingga penyingkapan spiritual. Sekaligus, berangkat dari syariat, tarikat, hakikat, dan makrifat.

Sabda Allah pada sekalian sālikun
Ya’ni: wa-fī anfusikum a-falā tubsirūn
Adamu itu dāwam al-wāsilūn
Dengan Subhāna Allah ‘amma yasyifūn

Dalam menggunakan panca indra, manusia mengenal dirinya pada bentuk-bentuk fisik. Bagaimana postur tubuh, bagaimana wajah, dan sebagainya. Dari itu semua muncul satu pemahaman atas diri berdasarkan indrawi. Kemudian, seseorang dapat menggunakan inteleksinya untuk mengingat dan merekonstruksi tentang riwayat dirinya, pengalaman-pengalaman masa lalu, Sehingga muncul satu pemahaman atas diri berdasarkan sebuah estimasi.
Pengenalan indra atas fisik, pengenalan inteleksi atas riwayat hidup, kesan berdasarkan estimasi, membentuk pengenalan atas satu diri, baik diri sendiri maupun orang lain, sejatinya semua itu adalah pengenalan atas aksiden-aksiden diri. Dengan demikian, mengenal diri hanya dianggap sebagai pengenalan melalui dan atas fakultas-fakultas jiwa yakni indra, inteleksi, estimasi, imajinasi, maka tentu itu semua bukan hakikat diri. Karena jiwa itu sendiri merupakan manifestasi Wujud yang hanya dinisbahkan kepada Haqq Ta’ala.

Karena diri yang dimaksud adalah esensi diri itu tentu bukan aksiden-aksiden diri, maka tentu esensi diri itu adalah Wujud yang hanya dinisbahkam pada Haqq Ta’ala. Selain itu hanyalah diri-diri aksiden. Dengan demikian, itulah yang dimaksud Hamzah Fansuri bahwa adamu adalah dāwam al-wāsilūn. Namun eksistensi yang dimaksud bukan aksiden-aksidennya yang ditilik melalui dan ditilik kepada fakultas-fakultas jiwa seperti indra untuk fisik, inteleksi untuk predikat, estimasi untuk sifat, dan imajinasi untuk keseluruhannya yakni pembentukan sebuah identitas terbayang.

Fakultas-fakultas jiwa itu semuanya adalah bayangan dari eksistensi tunggal atau disebut juga dangan tajali. Sementara dalam Al-Hikmah Al-Muta’alliyah, itu disebut dengan gradasi eksistensi. Baik tajali maupun gradasi, keduanya merupakan pendekatan untuk menjelaskam bagaimana eksistensi yang tunggal menjadi beragam sifat atau beragam ekstensi. Segala keberagaman itu sejatunya hanya sensasi atau cara pengenalan atas ketunggalan eksistensi.

Man ‘arafa nafsah sabda Baginda Rasul
Faqad ‘arafa Rabbah tiada dengan hulūl
Wahidkan olehmu fa’il dan maf’ūl
Jangan di-takhshish-kan maqām tempat nuzūl

Karena mengenal diri yang diinginkan adalah mengenal kepada hakikatnya, bukan pada perangkat-perangkat, yakni bukan kepada dan melalui fakultas-fakultas jiwa, tentunya diri dimaksud adalah wujud. Adapun wujud itu adalah tunggal. Namun ketika diri itu ingin dijelaskan, ingin didefinisikan, ingin dideskripsikan, maka yang terjadi adalah pembatasan-pembatas kepada wujud yang tinggal dan tak terbatas. Karena definisi merupakan pembatasan itu sendiri, maka hasilnya bukan lagi wujud.

Dengan demikian, apabila diri itu tidak didefinisikan, tidak dideskripsikan, maka yang dikenali melalui pengenalan dengan penyingkapan atau pengenalan batin kepada diri adalah Haqq Ta’ala. Pengenalan ini bukan pengenalan subjek kepada objek. Karena dalam penyingkapan spiritual, tidak ada dualitas. Tanpa dualitas, tentu saja tidak ada penyatuan.

Dengan penyingkapan spiritual, diketahuilah bahwa segala sesuatu hanya Haqq Ta’ala. Tidak ada lagi subjek dan objek. Pada apa yang dikategorikan sebagai objek sejatinya adalah kehadiran subjek secara menyeluruh.
Realitas yang terindrai bukanlah lokus, tetapi merupakan aktualitas eksistensi secara mutlak. Wujud itu hadir secara menyeluruh pada realitas, meskipun setiap ditunjuk, didefinisikan, dan dipersonifikasikan, bukanlah wujud. Wujud adalah kehadirannya secara mutlak.

Lima’a Allah waqt qala sayyid Ahmad
Ya’ni wāshil-lah ia dengan rūh al-jasad
Inilah ‘ilmu yang menjadi ahad
Manakan dapat oleh sekalian walad

Muhammad Iqbal pernah membahas mengenai perbedaan antara waktu serial dengan hakikat waktu. Waktu serial adalah persepsi yang relatif. Sementara hakikat waktu merupakan hakikat realitas itu sendiri. Hakikat realitas yakni Wujud Mutlak yang dikembalikan kepada Haqq Ta’ala.

Realitas Mutlak itu tunggal, sekaligus dia bertajali pada alam. Alam itu beragam tingkatannya. Realitas yang bertingkat itu merupakan manifestasi dari Wujud. Manifestasi itu hingga alam ruh dan alam jasad. Semua tingkatan alam adalah aktualitas wujud mutlak.

Memahami konsep tajali dalam tasawuf falsafi sangat penting. Supaya pada praktiknya dapat mengetahui tingkatan perjalanan spiritual yang ditempuh. Keseimbangan antara pengetahuan dan pengamalan adalah titik tekan dalam tasawuf falsafi.

Mempelajari konsep kosmologi tasawuf falsafi tidaklah mudah. Harus berguru kepada mereka yang dalam pengetahuannya. Guru demikian sangatlah langka. Demikian juga dalam pengamalannya, harus kepada mursyid yang benar-benar mendapatkan ijazah. Untuk mendapatkan keduanya, perlu pengetahuan yang baik, kedisiplinan, kerja keras, dan keberuntungan.

Laysa ka-mitslihi syay’ ma’nanya bayān
Dalam Tawrat, Injil, Zabur, dan Furqan
Wa Huwa al-Samī’ al-Bashīr pada sekalian awan
Demikianlah sekarang al-an kamā kān

Dengan mengenal Allah melalui pengenalan yang nyata, yakni melalui penyingkapan spiritual, maka tentu ianya berbeda dengan mengenal Allah secara konseptual, baik melalui doktrin kitab suci, penjelasan rasional, imajinasi, dan melalui keseimbangan alam. Dengan penyingkapan spiritual jelaslah bahwa Haqq Ta’ala itu benar-benar tidak sesuai dengan apa yang didoktrinkan, apa yang dinalar, apa yang diimajinasikan, dan apa yang dibayangkan. Segala sesuatu sama sekali tidak dapat disamakan dengan Haqq Ta’ala.

Kitab Zabur yang diturunkan kepada Nabi Daud telah menjelaskan tentang keindahan Allah. Kitab Taurat yang diturunkkan kepada Nabi Musa telah menjelaskan tentang kekuasaan Allah. Kitab Injil yang diturunkan kepada Nabi Isa telah menjelaskan tentang kasih sayang Allah. Demikian juga Al-Qur’an yang diturunkan kepada Nabi Muhammad telah menjelaskan tentang hakikat Allah. Namun apabila hanya dipahami secara konseptual dan rasional saja, berarti kitab suci telah disalahartikan tujuannya. Karena semua kitab suci itu tidak hanya untuk dipahami secara konseptual, namun merupakan panduan untuk masuk kepada perjalanan spiritual untuk menemukan keindahan, keagungan, kasih sayang, dan hakikat Allah.

Pada sisi batin alam semesta, hanya Haqq Ta’ala yang nyata sehingga dia mendengar segalanya meskipun hanya bisikan dalam hati. Pada sisi zahir Alam semesta, Hanya Haqq Ta’ala yang nyata, dia melihat segala sesuatu hingga yang sangat detail sekalipun. Rahim Allah melingkupi segala yang batin dan Rahman-nya melingkupi segala yang zahir.

Bagi manusia, segala perjalanan dan penampakan batinnya itu senantiasa berubah. Demikian juga segala yang zahir itu senantiasa bergerak. Namun dalam Ilmunya Allah, tidak ada perubahan. Karena bila terjadi perubahan pada Ilmu Allah, berarti itu baharu. Sementara bagi Allah, segala sesuatu itu adalah sebagaimana ketetapannya.

Jika sungguh sekalian kamu thālibūn
Pada rupa diri jangan ghāfilun
Akan shalat wusthā yogya kamu ‘arifūn
Supaya dapat ma’na ‘ālā shalātihim dā’imun

Ilmu yang paling utama dan menjadi fondasi segala pengetahuan adalah ilmu tauhid. Pada awalnya, ilmu itu dipelajari secara sederhana, yakni konsep-komsep dasar mengenai keesaan Allah. Kemudian dipelajari mengenai perspektif filosofis mengenai wajib, mumkin, dan mustahil wujud. Hingga pada tingkatan tertinggi yakni Wahdatul Wujud, sebuah ilmu tentang pengenalan Allah secara batin.
Wahdatul Wujud itu dipelajari dengan menginsyafi hakikat diri. Yakni ilmu ke dalam diri melalui perjalanan spiritual. Terdapat berbagai tingkatan ilmu spiritual itu. Hingga akhirnya menyadari bahwa hakikat diri itu adalah wujud, karena bila masih mampu mengidentifikasi perbedaan antara diri dengan hakikat wujud, berarti pengidentifikasiannya masih melalui beberapa diantaranya yakni indra, nalar, imajinasi. Itu semua belum menjadi puncak pengenalan diri. Karena sejatinya diri itu tidak lain yakni Haqq Ta’ala. Karena bila masih mengaku diri sebagai rupa jasadi, itu identifikasi melalui indrawi. Bila mengaku diri sebagai sosok yang dideskripsikan sebagai begini dan begini, berarti itu identifikasi melalui nalar. Bila mengaku diri adalah sebagaimana yang dibayangkan yakni seperti ini dan seperti ini, itu berarti identifikasi melalui imajinasi. Padahal Hakikat Diri tidak lain hanyalah Haqq Ta’ala yang Esa dan Kekal.

Dengan kesadaran hanya Haqq Ta’ala yang nyata, sementara selain-Nya adalah ketiadaan, maka dalam hal ini kesadaran demikian harus senantiasa dijaga. Inti Hakikat Diri adalah Haqq Ta’ala, namun perlu ditegaskan lagi bahwa diri yang dimaksud bukan apapun yang mampu dipersepsi, diidentifikasi, dan dibayangkan. Kesedaran diri adalah kesadaran sejati. Kesadaran inilah yang harus senantiasa ditegakkan secara terus-nenerus.

Bila pencapaian batin telah mampu mengenal hakikat diri, maka ruhani tidak menginginkan apapun. Baginya Allah saja sudah cukup. Sebab itulah bila sufi masih menginginkan segala sesuatu selain Allah, bagi mereka itu merupakan kesyirikan.

Tuhan kita itu terlalu zuhur
Pada kedua ‘alam wa al-zhulumāt wa al-nūr
Jangan kepada manzil tempatmu hudur
Supaya wāshil dengan Rabb al-Ghafūr

Secara empirik, bukti eksistensi Allah jelas sekali ditemukan pada keseimbangan alam semesta. Secara rasional juga Wujud Mutlak itu dapat dinalar secara sistematis. Berbagai gambaran analogis mengenai eksistensi Allah sebenarnya sangat terbukti efektif tidak terbantahkan. Sebenarnya, pada sis tertentu, itu saja sudah cukup untuk membuktikan Haqq Ta’ala.

Namun kedalaman jiwa manusia mampu mengeksplorasi eksistensi Ilahi secara lebih mendalam dan menyeluruh. Bahkan manusia mampu memehami eksistensi Haqq Ta’ala sebagaimana adanya, yakni tanpa mengaitkannya dengan sesuatu apapun selain-Nya. Namun pengenalan semacam ini berada pada makrifat.
Mengenai Allah melalui bukti empiris, rasional, dan imajinal memang telah membuat manusia insaf akan eksistensi dan keagungan-Nya. Namun karena potensi manusia kebih daripada itu, maka telah menjadi kewajiban jiwa untuk tidak hanya puas dengan capaian itu. Manusia harus menyelami secara langsung perjalanan spiritual.

Hamzah Fansuri terlalu murah
Mengatakan makrifat kepada orang mudah
Dari sekalian maqām disuruhnya ubah
Supaya wāshil tiada dengan susah

Sebenarnya perkara dalam bagian ini sangat penting, sejalan dengan sangat sensitivitasnya. Sebab itulah sufi falsafi yang telah mencapai makrifat, tidak dapat dengan mudah menceritakan pengalaman spiritualnya. Namun Hamzah Fansuri melakukan itu melalui syair-syair. Dia menggubah banyak karya sebagai pesan akan pentingnya jiwa manusia menempuh jalan spiritual.

Tasawuf Wahdatul Wujud yang diajarkan Hamzah Fansuri bukanlah tema yang mudah. Itu adalah tema paling rumit sekaligus paling sensifit dalam ajaran agama. Tetapi Hamzah Fansuri telah menemukan formula. Dia memahami karakter masyarakat Melayu sehingga mengakarkan Wahdatul Wujud melalui puisi. Hammzah Fansuri juga menggunakan analogi-analogi yang mudah dipahami masyarakat untuk mengajarkan sistem kosmologi ajarannya.
Meskipun berkarir di Fansur Aceh Darussalam, Hamzah Fansuri lahir dari masyarakat Pasai yang punya tradisi pembelajaran Wahdatul Wujud. Namun tampaknya ajaran itu pada masanya telah mengalami pergeseran. Sehingga Hamzah Fansuri dalam ajarannya, meluruskan kembali kosmologi Wahdatul Wujud.
Dengan pengetahuan akan Wahdatul Wujud yang benar, perjalanan spiritual menjadi lebih mudah. Karena seorang sufi yang baik adalah mereka yang tidak hanya melakukan praktik perjalanan spiritual, tetapi juga menguasai sistem konseptual. Pengetahuan dan praktik pengalaman spiritual sama-sama memiliki kesulitan. Literatur yang ditinggalkan Hamzah Fansuri telah memberikan kontribusi penting dalam membangun pengetahuan sekaligus membantu dalam menjelaskan pengalaman dalam perjalanan spiritual.

Baca Juga

“Pulitek” Orang Aceh: Politik Keterusterangan

Pengalaman-pengalaman serupa tentulah dapat kita temukan di berbagai kesempatan, bahwa dalam relasi sosialnya, terutama dalam dunia politik, keterusterangan merupakan tipikal dari orang Aceh.

Kisah Persahabatan di Balik Meja Kerja

Waktu terus berjalan, tetapi persahabatan dan kenangan di balik meja kerja itu tetap hidup dalam hati mereka. Meskipun jalan hidup membawa mereka ke berbagai arah, ikatan yang telah terbentuk selama bertahun-tahun tidak akan pernah hilang.

BUKAN DI TANGAN MPR

Malah, sekarang, kita lebih mengkhawatirkan kapasitas partai politik, yang lebih mengejar hasil instan elektoral dengan mengajukan pelawak sebagai calon wakil walikota.

MEKKAH YANG DEKAT

Mekkah adalah tanah impian. Semua muslim mendambakan menginjakkan kaki di sana. Dari Mekkah, tempat di mana sakralitas ibadah haji dilakukan, cerita mengenai hubungan muslim dengan Tuhan dan masyarakatnya bermula.

Menyoal Frasa Wali Keramat dalam Cerpen Ada Sepeda di Depan Mimbar

Namun, pada poin kedua, di sini, imajinasi Khairil Miswar sama sekali bertolakbelakang dengan imajinasi saya. Gambaran imajinatif sosok Teungku Malem yang dianggap wali keramat, namun dia menghasut Tauke Madi untuk tidak lagi memperkerjakan orang yang tidak salat, bukan main anehnya