Signifikansi Maqasid Syariah dalam Perumusan Hukum Islam

Maqasid adalah tujuan pelaksanaan syariat, yakni untuk menyejahterakan individu dan masyarakat. Islam adalah rahmat, Islam untuk keadilan, menghindarkan kesulitan, melindungi keluarga, mencapai maslahah.

Untuk mewujudkan hal-hal di atas, adalah dengan tahdhib al-fard yakni setiap individu harus bersyariat. Jalannya adalah melalui pendidikan, ibadah, dan pembentukan moral untuk mewujudkan maslahah yakni terbentuknya setiap pribadi yang bertakwa.

Cendikiawan telah membagi tiga tingkatan maqasid syariah yakni keharusan (daruriyat), kemudian pelengkap (hajiyyat), selanjutnya penyempurna (tahsiniyat). Orientasinya ada lima, yaitu melindungi: iman, jiwa, keturunan, akal, dan harta. Fungsinya sangat signifikan. Bila lima orientasi ini runtuh, tatanan sosial ambruk.

Syariat adalah jalan untuk melestarikan maqasid. Seruan jihad jihad dalam aturannya yang sesuai, dibenarkannya qisash, dilarangnya zina, mencuri, membunuh, alkohol, itu semua adalah bagian dari daruriyat dalam maqasid. Tujuannya adalah maslahah bersama. Sebab itulah syariat itu mendorong etos kerja, perekonomian yang melejit, membangun keluarga yang sejahtera, menuntut ilmu, mengembangkan sains, mencintai seni, dan melestarikan budaya.

Itu semua merupakan unsur-unsur yang dapat menghadirkan maslahah. Dalam hal ini, pelaksanaan syariat tidak hanya dilihat dalam urusan agama saja melainkan juga merupakan urusan adat, sosial, budaya dan sebagainya. Karena intinya adalah tercapainya kesejahteraan sosial.

Meskipun sangat signifikan, diskursus maqasid tidak menjadi perhatian penting para pengkaji hukum Islam. Mungkin karena maqasid dianggap hanya bagian filsafat hukum Islam. Meski fungsinya sangat penting dalam penerapan hukum, namun cenderung diabaikan. Perumus fikih yang literalis melihat hukum sebagai perangkat teknis yang wajib dijalankan setiap individu sehingga mengabaikan dimensi filosofisnya.

Al-Ghazali dan al-Syatibi adalah sarjana yang mempromosikan pentingnya maqasid. Maqasid tidak ditentang ulama fikih, namun mereka hanya fokus pada perangkat teknis teks yang jelas. Kelompok zahiri yang menjadi perumus hukum fikih berpandangan, maqasid hanya diterapkan bila rujukan teks tentangnya eksplisit.

Sementara kelompok batini yang juga ahli dalam perumusan hukum fikih namun umumnya tersingkir akibat sentimental penguasa politik berpandangan, maqasid itu nilainya terkandung dalam nash secara simbolik, namun mereka tidak menerangkan lebih jauh orientasinya.

Secara eksplisit nash tidak menunjukkan orientasi maqasid. Sebab itu ulama kurang banyak membahasnya. Lagi pula, nash tidak menyediakan orientasi konkret maqasid.

Signifikansi maqasid baru mendapat perhatian oleh Imam Al-Juwayni pada abad empat hijriah. Beliau membuat kategori signifikansi maqasid menjadi daruriyyat, hajiyyat, tahsiniyyat. Selanjutnya diskursus maqasid diberi fokus oleh Al-Ghazali pada penyelamatan aspek iman, agama, akal, keturunan, dan harta. Saifuddin Al-Amidi mengatakan pentingnya maqasid untuk menetapkan dua analogi bertentangan dalam tarjih.

Syihabuddin Al-Qarafi, dari lima fokus maqasid, menambah orientasi ‘kehormatan’. Tetapi ditentang oleh Al-Subki dan Al-Shaukani karena dianggap itu telah terhimpun dalam ‘keturunan’. Namun Syihabuddin Al-Qarafi dibela Al-Sulami. Karena, menurut Syihabuddin Al-Qarafi, misalnya ada kasus fitnah, pembelaan kehormatan menjadi berbeda dengan persoalan keturunan.
Ibn Taimiyah menegaskan tentang perkara seperti pemenuhan kontrak, pelestarian hubungan kekerabatan, menghormati hak-hak tetangga seseorang; sejauh menyangkut urusan dunia ini, dan cinta Allah; ketulusan, kepercayaan, dan kemurnian moral, dalam hubungannya dengan akhirat, membebaskan jumlah fokus maqasid.

Pandangan demikian ini menarik perhatian ulama kontemporer termasuk oleh Yusuf Al-Qardhawi. Mereka memperluas maqasid hingga kesejahteraan sosial, kebebasan individu, dan kemanusiaan.

Dengan keniscayaan kandungannya dalam nash, meskipun tidak eksplisit, maqasid perlu ditekankan. Orientasinya, sebagaimana ditawarkan Muhammad Hasan Kamal (2020), dianggap perlu ditambahkan pada penelitian dan pengembangan ilmu pengetahuan, penguatan ekonomi. Dan tentunya pengembangan maqasid tidak terbatas dalam penyesuaiannya dalam perkembangan zaman.

Bagi kelompok zahiri, maqasid adalah aturan eksplisit tentang perintah dan larangan. Al-Syatibi menegaskan pentingnya mengikuti aturan teks yang tegas, namun dengan mengintegrasinya bersama penerapan maqasid syariah. Dia melihat daruriyyat itu niscaya bagi mukalaf. Hajiyyat adalah alternatif bagi yang berhalangan.

Dalam hal ini, muncul pertanyaan apakah melakukan lawan dari larangan atau neninggalkan lawan dari perintah termasuk maqasid?

Bagi Al-Syatibi, induksi adalah metode terpenting mengidentifikasi maqasid syariah. Namun pada sisi lain, dia menegaskan bahwa yang umum berlaku secara aksiomatis. Misalnya tidak ada ayat spesifik yang mengatakan syariat untuk kemaslahatan. Namun secara umum dapat dipahami bahwa itu merupakan kesepakatan.

Al-Syatibi memiliki peran besar dalam ilmu maqasid. Alasannya karena dia telah merumuskan penyimpulan maqasid berdasarkan induksi: Melindungi lima perkara yang tidak ada dalam nash, namun itu dihimpun dari kasus-kasus partikular.

Pemahaman maqasid menurut Al-Syatibi adalah syarat menjadi mujtahid. Ibn Asyur juga menegaskan pentingnya maqasid dalam ijtihad. Persoalan dalam sejarah adalah terdapat banyak kelompok yang membaca Al-Qur’an secara parsial. Sehingga tidak dapat melihat pentingnya maqasid dalam ijtihad mereka. Oleh karena itu dalam berijtihad, ulama fikih harus memahami Al-Qur’an secara holistik.

Pentingnya maqasid dilihat oleh Imam Hanafi. Sehingga beliau memvalidasi uang sebagai bentuk zakat. Karena tujuan zakat adalah menyejahterakan fakir miskin. Sementara Imam Malik tidak melihat signifikansi maqasid dalam zakat. Misalnya urusan waktu. Imam Malik mengatakan zakat sebelum waktunya seperti salat sebelum waktunya. Adapun Ibn ‘Arabi dan Ibn Rusyd melihat pada maqasid-nya, sehingga mengatakan zakat sebelum waktunya mengatakan itu sah.

Terkadang Abu Hanifah dikritik karena kebijakan penetapan hukumnya. Namun bila diselisik lebih jauh, dia telah memenuhi ekspektasi maqasid yang merupakan orientasi hukum. Misalnya sebuah kontrak yang dibuat, umumnya harus diikuti karena itu bagian dari syariat. Tetapi klausul kontrak yang menzalimi salah satu atau kedua pihak perlu dibatalkan (yang sekilas dianggap melanggar syariat) namun perlu dilakukan demi mencapai tujuan maqasid.

Terkadang hakim mengambil keputusan yang secara permukaan terkesan melanggar syariat. Namun bila diselisik itu untuk memenuhi maslahah dalam maqasid.

Nabi juga pernah melakukan sesuatu yang terkesan tidak konsisten dengan syariat tetapi memilih jalan lain karena memilih yang lebih penting yakni maslahah. Para sahabat, khususnya Umar bin Khattab juga kerap melakukan hal serupa.

Maqasid memiliki kandungan nilai dalam Al-Qur’an dan hadis. Ianya memang tidak memiliki kandungan eksplisit, tetapi melihat pada orientasi nash. Maqasid juga sangat ditentukan situasi ruang dan waktu sebuah konteks.

Usul fiqh, ijma’ qiyas, dan ijtihad sangat penting memahami maqasid-nya. Fokus maqasid harus diutamakan sebelum beralih pada teknis perumusan hukum.

Kerangka teoretis, manfaat, dan makna syariat harus berlandaskan pada pemahaman dan fokus pada maqasid.

Ilustrasi: rqiim.com

Baca Juga

“Pulitek” Orang Aceh: Politik Keterusterangan

Pengalaman-pengalaman serupa tentulah dapat kita temukan di berbagai kesempatan, bahwa dalam relasi sosialnya, terutama dalam dunia politik, keterusterangan merupakan tipikal dari orang Aceh.

Kisah Persahabatan di Balik Meja Kerja

Waktu terus berjalan, tetapi persahabatan dan kenangan di balik meja kerja itu tetap hidup dalam hati mereka. Meskipun jalan hidup membawa mereka ke berbagai arah, ikatan yang telah terbentuk selama bertahun-tahun tidak akan pernah hilang.

BUKAN DI TANGAN MPR

Malah, sekarang, kita lebih mengkhawatirkan kapasitas partai politik, yang lebih mengejar hasil instan elektoral dengan mengajukan pelawak sebagai calon wakil walikota.

MEKKAH YANG DEKAT

Mekkah adalah tanah impian. Semua muslim mendambakan menginjakkan kaki di sana. Dari Mekkah, tempat di mana sakralitas ibadah haji dilakukan, cerita mengenai hubungan muslim dengan Tuhan dan masyarakatnya bermula.

Menyoal Frasa Wali Keramat dalam Cerpen Ada Sepeda di Depan Mimbar

Namun, pada poin kedua, di sini, imajinasi Khairil Miswar sama sekali bertolakbelakang dengan imajinasi saya. Gambaran imajinatif sosok Teungku Malem yang dianggap wali keramat, namun dia menghasut Tauke Madi untuk tidak lagi memperkerjakan orang yang tidak salat, bukan main anehnya