Perkembangan ilmu dalam Islam terjadi ketika budaya inklusif semarak dalam kebudayaan Islam. Terdapat ghirah keilmuan dalam diskursus fikih, teologi, filsafat, dan tasawuf.
Sejarah perkembangan teologi Islam menunjukkan bahwa ketika suatu ajaran diakomodir secara berlebihan oleh kekuasaan politik, maka akan menimbulkan kerugian bagi ajaran tersebut. Resistensi kekuasaan akan berakibat pada resistensi ajaran yang diapresiasi kekuasaan. Sejarah teologi klasik telah membuktikannya bahwa kekuasaan politik dapat mempertahankan eksistensi kekuasaannya ketika ajaran yang dianut mayoritas dipolitisir. Dengan cara ini, diskriminasi minoritas selalu terjadi.
Masyarakat muslim menjadi eksklusif karena pluralisme aliran teologi tidak diapresiasi. Padahal ragam perbedaan itu terjadi karena perbedaan batas nalar para teolog dan ahli fikih dalam menafsirkan nash. Meskipun perbedaannya hanya sedikit, tetapi darah telah banyak tumpah sepanjang sejarah agama. Pola pengkafiran dari sedikit perbedaan itu antara lain telah ditunjukkan Nuruddin Ar-Raniri dalam karya-karyanya, antara lain Tibyan fi Ma’rifah Al-Adyan .
Redaksi klasik yang disampaikan Ar-Raniri dalam kitab tersebut sulit dipahami oleh pembaca kontemporer. Untuk itu, pesan-pesan Ar-Raniri perlu dinarasikan ulang supaya dapat mempermudah pemahaman terhadap gagasannya.
Tibyan fi Ma’rifah Al-Adyan ditulis untuk meneguhkan identitas keagamaan tertentu di Kepulauan Indonesia pada sekitar abad ke-17. Tidak ketinggalan setiap akhir pembahasan diajukan pandangan untuk mengevaluasi gagasan Ar-Raniri dalam kitab tersebut. Pemikirannya dibahas juga dalam Hujjat al-Siddiq li Dhaf’il Zindiq serta evaluasi atas karya dimaksud.
Bagian tentang paradoks dalam teologi Islam diharapkan dapat menjadi pengingat masyarakat Kepulauan Indonesia bahwa teologi bercorak ortodoks yang berkembang hanyalah bagian dari dialektika keberagamaan dan berkehidupan. Teologi tertentu mengandung sangat banyak semangat budaya Arabia dan Helenisme dibangun dengan tidak meninggalkan penalaran paradoks. Teologi tertentu telah dianggap sebagai suatu pakem dasar dalam mengenal Islam. Padahal tidak dapat dilupakan bahwa teologi juga merupakan bagian dari diskursus besar keilmuan dan tidak lepas dari pengaruh budaya tertentu.
Mempertahankan ajaran tertentu dalam berkeagamaan sama dengan tidak membiarkan Islam menyesuaikan diri dengan perkembangan zaman. Maka diperlukan penawaran pemikiran filosofis dalam berkehidupan dan beragama.
Pemikiran keagamaan tertentu lainnya memiliki akar yang lebih mendasar dalam cara pandang hidup masyarakat Indonesia.
Tasawuf falsafi adalah ajaran yang pernah berkembang di Kepulauan Indonesia. Ajaran ini dapat menjadi alternatif dalam menghapus mental emosional dan taklid dalam beragama. Sikap terlalu ekslusif dapat menjadi bencana bagi citra agama dan harga diri bangsa bila terus dipertahankan. Di lain pihak, agama yang hanya bertahan di masa depan adalah yang dibangun berdasarkan nilai-nilai universal, nilai yang secara prinsipil inhern dalam tasawuf falsafi.
Oleh karena itu, tampaknya teologi perlu mengintegrasikan nilai-nilai universal yang ditawarkan tasawuf filosofis ke dalam body of knowledge prinsip keagamaan tanpa harus kehilangan jati diri teologisnya.
Dalam perspektif historis, bencana teologis terlahir dari prinsip yang terlalu literalistik. Islam adalah agama yang dibawakan oleh juru selamat akhir zaman, selanjutnya terpecah dalam berbagai keyakinan sehingga terjadi pertikaian dalam sistem internalnya. Selanjutnya, pemahaman akan Islam yang dibangun tidak lepas dari sistem monarki. Mereka yang tidak sepakat dengan sistem dikucilkan dan disingkirkan.
Islam sebagai sistem memang menciptakan keseimbangan. Namun semangat progresivisme dan dinamisme Islam perlu diperhatikan supaya keseimbangan agama dan politik dapat terus berlangsung.
Dalam pembahasan tentang aliran-aliran intelektual dalam Islam, dijelaskan tentang karakteristik berbagai varian intelektual dalam Islam. Modernis menginginkan kemajuan Islam supaya berdaya guna di zaman modern. Kelompok moderat mencoba menyesuaikan diri dengan lingkungannya. Kelompok konservatif berusaha memurnikan agamanya. Sementara itu, kelompok tradisional berusaha mempertahankan silsilah keilmuan secara sistematis. Berbagai perbedaan pandangan antar varian tidak lepas dari perbedaan perspektif teologis. Dalam konteks teologi politik, Islam sebagai ajaran tentang nilai ketuhanan, kemanusiaan, dan kealaman, ditransformasikan dalam kerangka sistem.
Ketika kolonialisme muncul, pemahaman agama yang dianggap sebagai sistem dijadikan energi untuk merespons modernisme yang dibawa oleh Barat. Islam memberikan semangat perlawanan atas kekejaman Kolonialisme. Sebagian melakukan perlawanan secara sistematis dalam bentuk pergerakan ilmu pengetahuan dan sosial. Sebagian lainnya fokus pada perlawanan keras dalam peperangan.
Pasca kemerdekaan, semangat agama terus memberikan energi politik dan perlawanan. Sayangnya, dalam perkembangannya, semangat keagamaan dipahami secara berbeda sehingga tindakan-tindakan reaksioner muncul. Hal ini antara lain terjadi akibat pembangunan opini media yang menjadikan sebagian muslim menjadi semakin radikal.
Tindakan radikalis dan teroris itu pada gilirannya berdampak pada konotasi negatif tentang citra Islam. Sebab itulah penafsiran ulang ayat-ayat Al-Qur’an dan Hadis tentang peperangan yang terlanjur dipahami secara tidak kontekstual oleh sebagian Muslim sangat diperlukan. Karena sebagai agama, Islam adalah anti kekerasan. Perlu adanya model dialog inklusif yang dibangun di atas semangat ilmiah sehingga dapat memperkenalkan varian tafsir agama yang dapat menjembatani selubung historis, geografis, antropologis, sosiologis ke dalam konteks analogis kekinian dan kedisinian.
Dengan cara demikian, teolog diharapkan dapat merumuskan ijtihad teologis sebagai solusi bagi problem sosial keagamaan yang dihadapi umat Islam yang selaras dengan ajaran universal yang terdapat dalam kitab suci.
Radikalisasi keagamaan dibahas berdasarkan perspektif bagaimana akomodasi negara terhadap gerakan-gerakan Islam yang merespons modernisme. Dalam analisis ini, periode Orde Baru yang dianggap sangat represif terhadap umat Islam ternyata menerapkan pendekatan yang paling lembut dibandingkan periode lainnya seperti Hindia Belanda, Pendudukan Jepang, dan Orde Lama.
Sementara tindakan tegas terhadap kelompok Islamis terjadi Pasca-Reformasi. Namun demikian, baik dari kekuasaan politik dalam setiap generasi maupun bentuk gerakan keagamaannya, perlu dipahami secara kontekstual. Karena, baik gerakan keagamaan maupun kekuasaan politik, masing-masing bertindak atas gejala-gejala tertentu yang terjadi. Setiap unit variabel yang memunculkan gejala-gejala tindakan perlu diperhatikan dan dimaknai secara objektif.
Sebenarnya dasar negara Indonesia, yakni Pancasila, itu mengandung nilai esensial yang integral dengan esensi agama. Sebab itulah pemahaman yang benar terhadap Pancasila dan esensi keagamaan sangat diperlukan.
Demokrasi yang mengedepankan hak asasi manusia harus terus-menerus diperjuangkan untuk mensejahterakan masyarakat Indonesia dan umat manusia di seluruh dunia. Semangat Islam dan Pancasila dapat menjadi energi besar dalam memperjuangkan tugas mulia itu.
Esensi nilai Islam hanya dapat dilaksanakan apabila kandungannya tidak direduksi ke dalam sistem formal. Formalisasi agama menyebabkan limitasi keagamaan sedemikian rupa oleh sistem, prosedur, mekanisme, dan administrasi kekuasaan. Islam sebagai kandungan nilai universal harus dibebaskan dari sebagai bentuk reduksi.
Sebenarnya formalisasi keagamaan dilakukan oleh sebagian kelompok modernis. Sementara masyarakat Muslim tradisional yang dominan itu hanya menginginkan syariat Islam dapat dilaksanakan dalam kehidupan sehari-hari. Sebab itulah formalisasi keagamaan membuka peluang besar terjadinya pergeseran paradigma keagamaan. Agama yang merupakan kandungan nilai esensial yang dibutuhkan oleh kejiwaan dan kedirian setiap individu masyarakat perlahan dapat bertransformasi menjadi sistem. Hal ini merugikan agama, merugikan kaum Muslim, merugikan negara, merugikan umat manusia, dan merugikan segenap makhluk.
Sebagai contoh, perempuan dalam sistem formalisasi keagamaan sering sekali menjadi objek semata. Mereka hanya mampu melakukan resistensi secara terselubung dalam rangka menyuarakan aspirasinya. Padahal seharusnya perempuan dijadikan subjek untuk mengatur diri mereka. Cara pandang perempuan sebagai objek dan hasrat yang besar untuk mengatur perempuan itu berangkat dari pemahaman yang kurang esensial terhadap hakikat perempuan.
Dalam negara modern, setiap aspirasi umat Islam perlu diperhatikan. Bila tidak, itu dapat mengganggu stabilitas negara. Sebagian umat Islam mengklaim Islam memiliki nilai efektif dalam mengatur negara sehingga mereka dapat memperjuangkan aspirasinya melalui jalur politik dalam sistem modern. Hanya saja, kiprah politik sendiri menuntut sikap pragmatik yang kerap mereduksi aspirasi. Sejalan dengan itu loyalitas komunitas menjadi terbelah.
Atas kesadaran menjaga sakralitas agama agar tidak tereduksi, sebagian berpandangan Islam tidak cocok dijadikan sebagai sebuah ideologi politik. Dalam hal ini gagasan Nurcholish Madjid, yakni sekularisasi, tampaknya dianggap sangat layak untuk umat Islam.
Dalam sistem ini, agama dapat menemukan posisinya yang stabil sekaligus menjamin aspirasi politik. Sayangnya banyak umat Islam dewasa ini kurang memahami esensi pesan Islam sehingga kerap memaksakan aspek simbolik agama dalam ranah objektif.
Dalam hal ini, konsep objektivikasi Islam perlu dipertimbangkan. Pemahaman Islam yang literalistik seperti pandangan sebagian modernis, menyebabkan konflik antara kebudayaan dan pemahaman keagamaan. Kelompok literalis kurang dapat memosisikan agama dalam kehidupan sehingga menganggap selain apa yang dapat mereka pahami dari agama, tidak boleh menjadi cara masyarakat berkehidupan. Padahal kebudayaan merupakan cara manusia untuk menjalin harmoni dengan alam. Kebudayaan menyeimbangkan kehidupan alam. Dengan mengapresiasi kebudayaannya, manusia telah menetapkan suatu cara hidup yang seimbang dengan alam tempat mereka tinggal.
Pada sisi lain, perkembangan sains memang membuat pertumbuhan pengetahuan manusia menjadi tereduksi. Paradigma sains membuat eksplorasi saintifik menjadi terkurung ke dalam dimensi logis dan empiris dari suatu realitas.
Reduksi ini menyebabkan disharmoni sains dengan agama dan kebudayaan. Sains positivis berubah menjadi perspektif tunggal untuk mempelajari segala dimensi wilayah penelaahan ilmu. Padahal, matematika yang dijadikan landasan sains, adalah terintegrasi dengan esensi agama. Sebab itulah pandangan-pandangan yang menawarkan harmonisme sains, agama, dan budaya, perlu diapresiasi.
Tugas-tugas besar dalam mengatasi berbagai persoalan ilmu pengetahuan dan sosial dapat diharapkan kepada kelompok inteligensia. Namun karena sebagian besar di antara mereka berada di perguruan tinggi, maka para inteligensia perlu menyerahkan banyak energi untuk menyelesaikan problem internalnya. Sebagian inteligensia berada di lembaga birokrasi. Oleh karena itu, setiap eksekusi yang ingin dilakukan harus mengikuti prosedur, mekanisme, administrasi, dan protokol tata laksana birokrasi.
Demikian juga inteligensia yang berada di bawah lembaga swadaya masyarakat, harus menyesuaikan diri dengan kepentingan kepentingan penyokong.
Kelompok inteligensia di perguruan tinggi keagamaan sebagian besar harus mengatasi masalah-masalah integralisasi keilmuan dalam rangka menghapus kesenjangan ilmu pengetahuan. Namun sayangnya diskursus konsep-konsep yang telah ditawarkan, kurang dihidupkan sehingga muncul asumsi bahwa konsep-konsep itu hanya sebatas kepentingan sementara, yakni merumuskan pola penggabungan pembelajaran ilmu-ilmu agama dan ilmu-ilmu umum.
Bila kelompok inteligensia terlalu disibukkan dengan persoalan dan prosedur lembaganya masing-masing, maka masyarakat menjadi semakin kehilangan bimbingan. Bila itu terus terjadi, dikhawatirkan paham-paham radikal dan fundamental menjadi semakin meningkat. Itu sangat berbahaya bagi keamanan, kenyamanan, dan integrasi bangsa.
Sebab itulah, Teologi Terakhir hadir untuk menawarkan cara pandang keagamaan yang sesuai dengan setiap manusia yang hidup dalam budayanya. Teologi terakhir adalah cara pandang atas setiap persoalan tentang ketuhanan dan hal-hal yang berkaitan dengannya melalui perspektif yang terbuka, humanis, tanpa meninggalkan dimensi Ilahiah dalam setiap ikhtiar manusia.
Teologi terakhir bermaksud menjadi tawaran untuk melihat berbagai persoalan ketuhanan dan hal-hal yang berkaitan dengannya dengan mendayagunakan khazanah intelektual klasik dalam perspektif inklusif dan mengapresiasi khazanah pemikiran kontemporer seperti gagasan dari Sukarno, Nurcholish Madjid, Kuntowijoyo, Abdurrahman Wahid, M. Dawam Rahardjo, Azyumardi Azra, Goenawan Mohamad, Mulyadhi Kartanegara, Budhy Munawar-Rachman, dan para inteligensia reformis lainnya.