Cinta itu seperti ada sepotong gerigi besi yang berputar di dalam jantung. Cinta sejati tidak bisa didapatkan. Tetapi ia kekal abadi di dalam hati.
Bagaimana cara memahami ini? Hanya dengan mengalami. Siapa yang jatuh cinta maka dia adalah orang yang bersaksi. Untuk apa jatuh cinta? Supaya dapat menjadi saksi. Dia harus mengalami. Tetapi tidak boleh didegradasi.
Dalam ajaran sederhana dalam agama, seorang pengajar tradisi mengatakan bahwa siapa saja yang jatuh cinta, tetapi tidak didegradasi. Hanya didendam, maka dia mati seperti orang mati syahid. Karena mereka sama-sama bersaksi.
Latar belakang film Wonder Women 1984 (WW 84) adalah masa di mana modernitas berada pada puncaknya. Setiap produk hadir dengan kemasan yang sangat menggiurkan. Mall menjadi sebuah gaya hidup yang sangat mewah. Orang-orang menjadi punya sangat banyak keinginan. Sebab itulah film tersebut berkisah tentang keinginan.
Tayangan WW 84 memperingatkan bahwa setiap keinginan yang ingin diwujudkan mengandung risiko. Apa pun yang telah dimiliki selalu menuntut konsekuensi.
Saya menjadi teringat pada masa modern itu sangat banyak orang yang harus meninggalkan kesejatian diri karena disibukkan oleh hasrat mencapai keinginan-keinginan. Manusia menjadi terlucuti. Hidup menjadi tidak alami. Akal budi dikhianati. Moralitas nyaris mati.
Keinginan yang terus timbul dari diri, ‘aku ingin kaya’, ‘aku perlu liburan ke luar negeri’, ‘aku suka mobil itu’, semua hal yang berorientasi pada ‘aku’ menuntut ‘kamu harus melayaniku’, ‘kamu harus memenuhi keinginanku’. ‘Kamu’ untuk melayani ‘aku’. Dan itu pasti sangat terbatas. Meskipun ‘aku ingin’ itu tidak terbatas, tetapi pemenuhan untuk itu sangat terbatas. Itu artinya, pengorientasian untuk ‘aku’ itu sangat terbatas posibilitas aktualitasnya.
Setiap hal untuk memenuhi keinginan ‘aku’, pasti ada ‘kamu’ yang harus dikorbankan. Bahkan mungkin sangat banyak ‘kamu’.
Dalam sebuah film, ada seorang miliuner tua dan sakit-sakitan ingin memiliki jasad muda dan kekar. Terdapat sebuah sistem yang mampu memindahkan memori. Miliuner memiliki banyak uang untuk membayar program tersebut.
Ketika bangkit, miliuner sudah punya jasad yang diinginkan. Ternyata untuk memenuhi keinginannya itu dia telah mengorbankan sebuah keluarga seorang prajurit yang anaknya sakit, butuh banyak uang untuk operasi sehingga sang prajurit menjual jasadnya untuk program tersebut. Akibat memenuhi keinginan miliuner, sebuah keluarga menjadi korban. Ternyata keluarga miliuner juga terkorbankan.
Film itu menggambarkan bahwa untuk memenuhi keinginan ‘aku’, banyak ‘kamu’ yang terkorbankan.
Dalam WW 84, terdapat banyak ‘aku’ yang punya banyak keinginan. Sehingga mengorbankan sangat banyak ‘kamu’. Dunia menjadi kacau. Untunglah Steve, kekasihnya Diana, sang Wonder Women, adalah Steve yang dulu. Tetap seorang prajurit yang punya hati yang mulia. Dia berusaha menyadarkan Diana bahwa hal terpenting dalam kehidupan adalah bersikap realistis.
Dalam WW 84, bagi saya, adegan yang paling menyentuh adalah ketika Diana harus melepaskan Steve. Lagi pula cinta tidak boleh didegradasi. Makanya dalam agama, bila cinta hanya dirindu dendam, akan menghantarkan pada kesyahidan.
Ajaran mistisme seperti tarekat Akbariah juga demikian. Menganjurkan untuk jatuh cinta. Tetapi bukan untuk dimiliki. Itu memang sangat berat. Seperti ada gerigi besi yang berputar di dalam jantung. Mungkin karena itulah seseorang memperoleh kemuliaan.
Segala hal yang diorientasikan pada ‘aku’ akan terbatas. Karena setiap ‘kamu’ punya keterbatasan untuk mewujudkannya. Tetapi apabila orientasinya adalah ‘kamu’, maka sang ‘aku’ tidak akan pernah dapat dihentikan. Misalnya ‘aku’ ingin disayangi. Maka ‘kamu’ yang menyayangi terbatas dalam menyayangi ‘aku’. Tetapi bila ‘kamu’ kusayangi, maka kasih sayang yang ‘aku’ berikan tidak akan terbatas. Tidak akan ada yang menghalangi. Terus-menerus dapat ‘aku’ lakukan. Tidak terbatas. Demikian juga bila ‘aku’ ingin dibantu. Maka ‘kamu’ yang memberi akan terbatas. Tetapi bila ‘kamu’ yang ‘aku’ beri, maka yang dapat ‘aku’ beri tidak akan terbatas. Dengan berorientasi ‘kamu’ maka ‘aku’ tidak terbatasi. ‘Aku’ menjadi tidak dapat dihentikan.
Sebab itulah Abu Yazid Al-Bistami ketika diberikan kesempatan untuk memperoleh keinginan, dia hanya ingin agar tidak memiliki keinginan. Karena dengan menginginkan, ‘aku’ menjadi terbatas. Tetapi bila memberikan, ‘aku’ menjadi tak terhentikan. Itu sesuai dengan sifat alami jiwa manusia yang pertumbuhannya tidak terbatas.