Jika Anda bertemu dengan seorang laki-laki paruh baya atau agak tua berjalan kaki menggendong “rombong gula gending” sambil menabuh wadahnya di berbagai wilayah Indonesia, maka sudah pasti mereka itu adalah penjual gula gending dari kampung kami: Desa Kembang Kerang Daya, Lombok Timur, NTB. Dari Aceh hingga Papua mereka menyebar, berkeliling jualan “gula gending”. Gula Gending bukan hanya sebuah profesi dagang. Tetapi melampaui hal itu, gula gending bagi mereka adalah simbol perjuangan hidup dan tanggung jawab yang diemban kaum laki-laki di kampung kami terhadap keluarganya.
Sebagai keturunan diaspora (pendatang) Sumbawa di Lombok, orangtua-orangtua di kampung kami tentu tak memiliki cukup tanah, ladang dan sawah. Oleh karenanya, berjualan gula gending menjadi jenis profesi di bidang niaga yang dipilih oleh keluarga-keluarga kurang mapan untuk bertahan hidup.
Kampung kami, Desa Kembang Kerang, terletak di kawasan lereng Rinjani. Secara etnik, penduduknya merupakan keturunan Sumbawa, dan sehari-hari menggunakan bahasa Sumbawa. Tentu saja jenis “bahasa Sumbawa” yang digunakan kini telah banyak berubah, karena dipengaruhi bahasa Sasak yang dominan dalam keseharian mereka. Selain itu, persilangan kawin-mawin dengan orang Sasak, membuat mereka memiliki identitas “hibrid”, yakni percampuran Samawa-Sasak secara etnik.
Dalam amatan sehari-hari—tentu bukan melalui riset yang ketat dan ilmiah—boleh dikatakan bahwa 70 persen orangtua di kampung ini pernah menjadi penjual gula gending. Bahkan hingga hari ini sebagian dari mereka masih bertahan menekuni jenis profesi ini. Di tengah gurita ritel-ritel modern di berbagai kota, dan dalam derap gempuran bisnis pariwisata di Lombok, mereka tetap kukuh menapaki “liku-liku jalan” profesi ini.
Para penjual gula gending adalah orang-orang yang tak pernah berhenti berjalan kaki. Mereka berkeliling melintasi berkilo-kilo meter dengan jalan kaki; melewati desa-desa nun jauh dan kota-kota asing di perantauan yang mereka singgahi. Siklus perantauan para penjaja gula gending ini biasanya berangkat pasca Idul Fitri, kemudian kelak pulang kampung menjelang bulan puasa tiba, dan menikmati idul fitri bersama keluarga. Lalu setelah itu, mereka kembali berangkat merantau lagi, dan begitu seterusnya.
Ada pula yang memilih tidak pulang kampung setahun sekali, mereka terpaksa merayakan Idul Fitri di rantauan. Sebab terkadang harga tiket pesawat dirasa terlalu mahal, sementara kebutuhan keluarganya di kampung belum terpenuhi. Akhirnya mereka memilih mengirim uang harga tiket untuk kebutuhan keluarganya untuk merayakan “Lebaran”.
Profesi ini tentu terlihat sangat sederhana, mohon maaf kerapkali juga dianggap usaha “recehan”. Tetapi dari profesi inilah sebagain besar anak-anak di kampung kami menjadi sarjana, magister dan bahkan doktor. Sebab pengelanaan para penjual gula gending ke berbagai wilayah di Indonesia, selain bertujuan mencari rezeki untuk menyambung hidup, juga untuk biaya anak-anak mereka yang sedang sekolah dan atau kuliah. Maka tidak heran, sarjana-sarjana di kampung kami, yang kini sudah berprofesi sebagai guru, dosen, PNS dan lain-lain adalah sebagain besar anak-anak penjual gual gending.
Ketika anak-anak mereka sudah tamat kuliah dan menjadi sarjana, kemudian mendapat pekerjaan. Maka para penjual gula gending itu memperjuangkan cita-cita puncaknya, yakni naik haji. Maka dalam perantauan yang kesekian kali, mereka mulai menabung untuk persiapan ongkos naik haji. Di samping itu, mereka juga berderma menyumbang untuk pembagunan madrasah dan masjid di kampung kami. Demikianlah arti hidup yang diperjuangkan para penjual gula gending.
Bagi sebagian teman-teman saya di pusat pusat kota di Lombok, seperti Mataram, Lombok Barat, dan Praya Lombok Tengah, gula gending adalah kenangan masa kecil mereka. Mereka mengenang tabuhan musik gula gending sebagai hiburan sederhana saat mereka menikmati jam keluar main, sambil membeli gula gending. Tetapi bagi kami, anak-anak penjual gula gending, lamat-lamat punggung ayah kami yang mengendong “rombongnya” berjalan kaki sambil memainkan nada dari rombongnya, adalah memberi sebuah makna tentang teladan perjuangan hidup.
Rombong dan tabuhan musik gula gending boleh dikatan salah satu jenis musik tradisional di Lombok. Ia tumbuh sebagai kebudayaan minor. Oleh karenanya, ia bukan jenis kesenian yang dimainkan pada waktu senggang, atau dipentaskan dalam ritual dan seremonial adat orang Sasak, tetapi belakangan ini sesekali mereka dipentaskan dalam event-event pemerintah untuk kepentingan pariwisata. Tetapi gula gending, sekali lagi, dalam makna yang sesungguhnya, adalah kesenian yang dilakoni sepanjang hayat, sebagai sebuah seni memperjuangkan hidup. Orangtua-orangtua penjual gula gending itu adalah seniman hidup yang sejati!
Sumber foto: web celoteh Sasak.
Editor: Khairil Miswar