Beberapa waktu lalu, saya berdiskusi ringan dengan dua akademisi di sebuah warung kopi. Mereka adalah Bung Alkaf dan Miswari. Keduanya merupakan senior saya di kampus. Pada awalnya, saya diundang nimbrung bersama untuk meneguk segelas kopi sanger dan berdiskusi ringan. Saat tiba, saya sudah tertinggal beberapa pembicaraan mengenai topik yang mereka bicarakan.
Dengan lantang Miswari bersorak terhadap saya, “Nah ini dia sudah datang kolega Jusmadi,” tegasnya.
Bung Alkaf dengan cepat menyela dan membela saya, “Dia bukan kolega, tapi korban Kejusmadian,” ucapnya.
Saya bertanya, “Apa itu Jusmadi?”
Miswari dengan lantang menjawab, “Simaklah diskusi kami dengan baik.”
Mendengar diskusi mereka, seolah-olah saya kembali ke Ciputat: di mana diskusi mengenai Anaxagoras, Parminendes, dan Xenophanes bergema dalam dinding-dinding FORMACI. Semakin didengar, semakin bermain imajinasi saya untuk menangkap apa yang didiskusikan mereka.
Pada akhir diskusi tersebut, saya memberikan kesimpulan bahwa, “Diskusi ini tentang Jusmadi,” ucap saya. Mereka membenarkan ucapan saya. Tidak lama setelah itu, kami berlalu begitu saja tanpa ada bergumam sedikit pun.
Dari pertemuan singkat tersebut, saya mulai merenung dan menyimpulkan bahwa ‘Jusmadi’ merupakan sosok imajiner yang diejawantahkan ke dalam dunia nyata untuk memberikan nilai atas posisi tertentu terhadap manusia tertentu dalam beberapa dunia kerja. Jusmadi menggambarkan kedudukan yang tidak tergugahkan oleh sesuatu yang lain, meskipun kedudukan tersebut tidak layak pada dirinya. Jusmadi menggambarkan kenikmatan pada singgasana tanpa harus capek-capek bekerja, berkompetisi, dan berusaha sebagaimana orang yang memikirkan esok hari.
Jusmadi adalah sosok yang digambarkan berposisi terindah, tidak peduli terhadap nasib orang lain. Dia mementingkan diri sendiri: yang penting dirinya sudah sejahtera dan cukup segala hal. Jusmadi ini dalam imajinasi merupakan sosok dalam publik yang dia sudah pada posisi yang tidak membutuhkan apapun lagi selain hidupnya aman, damai, sejahtera dalam kondisi pas dan mantap.
Lebih jauh, Jusmadi adalah manusia beruntung, tidak mau tahu bagaimana keresahan yang dihadapi oleh orang-orang sekelilingnya. Dia tidak mahu tahu orang sekelilingnya.
Lalu bagimana tuduhan tadi oleh Miswari terhadap saya dia awal?
Jika gambaran Jusmadi begini rupa dalam imajinasi mereka, maka benar saya sedang berada dalam kejusmadian. Saya bergerak dalam atmosfir kejusmadian. Kalaulah memang begini Jusmadi, maka saya sudah terbelenggu dalam kejusmadian, yang tanpa sadar telah memberikan energi negatif, sehingga solah-olah diperbudaki oleh kejusmadian tersebut.
Adakah Jusmadi di sekeliling Anda saat ini? Ataukah jika Anda renung-renungkan kembali, jangan-jangan Anda sendiri adalah Jusmadi. Mari melihat droe-keudroe untuk menilai sejauh mana keberadaan diri kita pada saat ini. Jika benar aktualisasi imajinasi tersebut dalam dunia nyata, yakni hanya peduli pada kenyamanan diri, tidak punya semangat progresif, tidak peduli pada orang di sekeliling, berarti anda adalah Jusmadi.