Safir; Sang Kebenaran yang Dihilangkan “Refleksi Terhadap Safiriyah”

Safir, atau yang lebih dikenal dengan Pak Safir, kami menyebutnya dengan safiriyah, banyak lagi sebutan untuk beliau sebagai sosok kontroversial di dunia pemikiran. Saya mengenal beliau ketika menguji karya ilmiah saya sebagai prasyarat untuk duduk di bangku magister Pemikiran Islam. Anehnya, beliau bukan malah menguji karya ilmiah saya, melainkan mengajak diskusi mendalam terhadap karya ilmiah saya. Safir mencoba masuk secara mendalam seakan-akan paham betul tentang apa yang saya tuliskan hingga terjadi perdebatan kecil antara kami. Anehnya, beliau tidak sedikit pun tersinggung dengan argumentasi saya yang membantah beliau, malah pak Safir mengatakan “Pertahankan karya ini dan jadikan tesis dan saya pembimbing utama kamu, saya penasaran.” Begitulah awal pertemuan saya dengan Safir.

Sepanjang saya menimba ilmu di Darussalam, saya sering bertemu dan bercengkrama dengan Pak Safir, tidak khusus untuk pengembangan karya ilmiah saya, melainkan bertukar pikiran dan mengisi ruang-ruang argumentasi untuk menguak ide-ide filosofis Safiriyah.

Saya, Ramli Cibro dan Khairil Miswar kerap mendatangi beliau untu konsultasi dan juga berdiskusi untuk mematangkan karya ilmiah akhir kuliah dan berbicara hal-hal di luar kuliah untuk kemajuan pendidikan anak muda Aceh. Beliau sangat terbuka untuk didatangi bahkan Safir mengirimkan pesan pribadi ketika saya tidak datang dalam satu minggu, seolah-olah ada kerinduan kepada kami karena kesamaan pikiran untuk membangun dunia akademis ke arah yang lebih baik.

Safir saya kenal dengan sosok yang memukau dari segi argumentasi logisnya. Safir memiliki segudang pengetahuan logis untuk mengubah arah pendidikan berbasis agama untuk lebih terbuka dan mendobrak sistem yang dirasanya sangat kaku dan tidak visioner. Safir tidak suka dengan individu yang memukau hanya dari luar saja, memakai pakaian keagamaan tapi mengelabui, memanfaatkan ruang agama untuk kekayaan pribadi dan memanfaatkan orang lain karena kepentingan dirinya melalui kalam-kalam suci yang disampaikan.

Safir yang saya kenal adalah sosok santun tapi tegas, sederhana dan redah hati, sikap dan moralitasnya mencerminkan pemikir yang tidak pernah pudar meskipun beliau terus berjuang dengan usianya yang sudah senja.

Safir mendidik kami dengan pandangan-pandangan logis dan mengajak masuk dalam relung-relung akal untuk dapat menyelesaikan masalah. Teologi yang digunakan untuk mengajarkan agama bersifat teologi pembangunan, sangat kental dengan aspek tasawuf falsafi dan sangat menghargai nilai-nilai Islam yang rahmatan lilalamin. Sebagai seorang akademisi, beliau selalu mengajak kami (anak muda penuntut ilmu di Darussalam) untuk maju dan jangan bermimpi dengan mimpi biasa saja. Anak muda harus memiliki cita-cita perubahan yang tinggi meskipun banyak tantangan yang akan dihadapi, “Tetaplah berpendirian yang kukuh karena pemikiran milikmu yang hidup.” Itu yang disampaikan pada saya ketika berdiskusi dengan beliau di Prada, yaitu tempat kediaman baru T.Safir.

Dengan pemikiran-pemikiran beliau yang sangat brilian, Safir kerap dikesampingan dalam ruang-ruang diskusi publik terutama dalam ruang publik agama. Padahal, tidak ada yang salah dari argumentasi dan pemikiran Safir, hanya saja menurut saya, individu-individu tertentu yang kerap bersinggungan dengan pemikiran Safir adalah individu-individu yang mengenal bahwa safir itu dapat dijadikan acuan untuk menguak agama untuk kemajuan pendidikan Darussalam dan Aceh.

Safir termarjinalkan karena kerap berbenturan dengan kelompok agama mayoritas, termarjinalkan karena idenya selalu dianggap berbenturan dengan pemangku jabatan Universitas Darussalam dan tidak didengarkan oleh mereka-mereka yang sudah fanatik terhadap individu tertentu yang menghalangi keterbukaan dan kemajuan. Padahal Safir adalah Safir, sifatnya yang tegas, sikapnya yang kukuh serta retorikanya yang tidak berbelit-belit membuat lawan debatnya kerap terdiam dan mengalami kebuntuan dalam berpikir.

Beliau adalah kebenaran yang diredupkan, bahkan dihilangkan demi kepentingan eksistensi kelompok mayoritas.

Ketika Safir memberikan kuliah kepada kami, saat itu malam setelah Isya. Beliau bercerita tentang anak laki-laki yang meminta sumbangan ke rumahnya untuk pembangunan dayah. Beliau berjudi dengan diri sendiri, apabila ia dapat membacakan kitab yang disodorkan maka akan diberikan uang tiga ratus ribu rupiah, apabila tidak maka anak tersebut tidak mendapatkan apa pun. Sesekali Safir kalah, dan memberikan uang itu dengan penuh keikhlasan dengan bergumam “ka talo kee” (saya telah kalah). Banyak juga ditemukan anak-anak tersebut tidak mampu membaca kitab bahkan belum benar membaca Alquran. Safir mengatakan bahwa hal ini sebagai kemunduran, pemanfaatan dan kepentingan sekaligus pembodohan terhadap generasi penerus agama, yang seharusnya tidak dilakukan olah pemuka agama. Beliau merasa sangat sedih atas kelakuan demikian, ruang kuliah kami seketika hening.

Kuliah dilanjutkan dengan satire-satire lainya sehingga membuat suasana kuliah gaduh dan penuh dengan ilmu, dan beliau bercerita tentang Safir al-Lahabiyah’ yang membuat kami tertawa sepanjang malam, atas ceritanya mengelabui kami yang terkantuk-kantuk karena malam yang semakin larut.

Pemikiran Safir mungkin tidak akan kita temukan lagi di Aceh pasca kepergiannya menghadap Sang Pencipta. Safir akan saya kenang sebagai sosok pemikir Islam Aceh untuk mengubah pemikiran masyarakat Aceh melalui pendidikan dan doktrin personal untuk dapat melihat bahwa tanpa berpikir terbuka dan logis dalam menelaah agama maka semakin redup masa depan anak muda Aceh-Darussalam.

Safir akan selalu menjadi cerita menarik dan terus akan hidup dan dikenang seakan-akan safir hidup dan terus hidup di kalangan pemikir Islam Darussalam dan Aceh. Tidak ada kata selain kekaguman, keterpukauan dan penghormatan yang mendalam untuk menggambarkan diri Safir, namun eksistensi beliau seakan-akan diredupkan. Dia merupakan sosok bapak yang dihilangkan kebenarannya dan dikikiskan wacana pemikirannya dalam mendoktrin anak muda Darussalam. Selamat jalan Pak Safir, tugasmu telah usai, penerusmu akan selalu mengenangmu dan akan melanjutkan perjuanganmu, engkau selalu hidup di dalam pikiran kami dan meneruskan warisan intelektualmu.

Editor: Khairil Miswar

Baca Juga

“Pulitek” Orang Aceh: Politik Keterusterangan

Pengalaman-pengalaman serupa tentulah dapat kita temukan di berbagai kesempatan, bahwa dalam relasi sosialnya, terutama dalam dunia politik, keterusterangan merupakan tipikal dari orang Aceh.

Kisah Persahabatan di Balik Meja Kerja

Waktu terus berjalan, tetapi persahabatan dan kenangan di balik meja kerja itu tetap hidup dalam hati mereka. Meskipun jalan hidup membawa mereka ke berbagai arah, ikatan yang telah terbentuk selama bertahun-tahun tidak akan pernah hilang.

BUKAN DI TANGAN MPR

Malah, sekarang, kita lebih mengkhawatirkan kapasitas partai politik, yang lebih mengejar hasil instan elektoral dengan mengajukan pelawak sebagai calon wakil walikota.

MEKKAH YANG DEKAT

Mekkah adalah tanah impian. Semua muslim mendambakan menginjakkan kaki di sana. Dari Mekkah, tempat di mana sakralitas ibadah haji dilakukan, cerita mengenai hubungan muslim dengan Tuhan dan masyarakatnya bermula.

Menyoal Frasa Wali Keramat dalam Cerpen Ada Sepeda di Depan Mimbar

Namun, pada poin kedua, di sini, imajinasi Khairil Miswar sama sekali bertolakbelakang dengan imajinasi saya. Gambaran imajinatif sosok Teungku Malem yang dianggap wali keramat, namun dia menghasut Tauke Madi untuk tidak lagi memperkerjakan orang yang tidak salat, bukan main anehnya