Kini demokrasi Indonesia sudah berjalan tak keruan. Kehilangan jejak nilai, tak tahu pula ke mana arah haluan.
Sekadar menilik ke belakang. Sejak reformasi berkumandang, kaum tani, buruh hingga kaum terpelajar berani punya harapan. Suara-suara kritis yang selama ini terbungkam mulai keluar lewat rongga-rongga besar. Masyarakat sipil (civil society) yang sebelumnya berada di kelas bawah menemukan momentumnya. Pada tahun 1999, melalui drama alot berjudul poros tengah, Gus Dur berhasil menjadi Presiden Republik Indonesia. Itulah awal sirine demokrasi berbunyi di era reformasi.
M.C. Ricklefs (2007) dalam bukunya “Sejarah Indonesia Modern 1200-2004”, mencatat andil Gus Dur memperjuangkan demokrasi dengan mendorong pluralisme dan keterbukaan. Antara lain yang dilakukan Gus Dur adalah: membolehkan umat Cina konfusius melakukan perayaan secara terbuka, mencabut Tap MPRS Tahun 1966 tentang pelarangan marxisme dan komunisme, mengganti nama Irian Jaya menjadi Papua, memisahkan polisi dari militer (menghapus dwi fungsi ABRI), menyelesaikan konflik dengan jalan dialog, dan lain-lain.
Keluar Lintasan
Pada masa Gus Dur, proses jalannya demokrasi masih terbilang lurus. Meskipun konflik horizontal terjadi di mana-mana, tapi itu soal lain. Namun pasca kepemimpinannya yang berusia dua tahunan itu, jalannya demokrasi mulai berkelok. Tak ubahnya melintasi jalan Sibolga-Tarutung di Sumatera Utara. Melelahkan sekali. Bisa membuat penumpang mabuk.
Masalahnya kendaraan demokrasi kita berkelok-kelok bukan karena bentuk jalannya. Tapi karena putaran setir yang kehilangan kendali. Sehingga keluar dari lintasan. Penyebabnya bukanlah semata-mata karena sopir. Karena penumpang juga berpotensi mempengaruhi gerak setir. Jika jalan diibaratkan hukum, maka demokrasi sejatinya sejalan dengan tegaknya hukum. Jika tidak-meminjam istilah Jefrey A. Winters-itu namanya demokrasi kriminal (criminal democracy).
Penyimpangan demokrasi yang paling terang bermula dari politik elektoral. Pada Pemilu 2004 masih ada secercah peluang bagi politisi “sendal jepit” menduduki kursi parlemen (DPR/D). Namun kini, peluang itu sirna karena politik uang (money politics) menjelma menjadi kebudayaan dan ideologi. Oleh karena uang dijadikan prasyarat elektoral, maka koncoisme dependen antara politikus dengan kelompok oligarki sulit dihindari.
Situasi itu mengundang sejumlah pihak menawarkan wacana untuk kembali ke sistem lama. Tawarannya, Presiden dan Kepala Daerah dipilih oleh DPR/D. Sedangkan DPR/D dipilih berdasarkan nomor urut, bukan suara terbanyak. Hanya saja, tawaran ini terkesan sekadar menggeser lokus budaya money poliyics dari rakyat ke Wakil Rakyat dan elite partai. Pun, tidak ada jaminan jumlah uang yang didistribusikan akan berkurang.
Tawaran lain yang teranyar adalah wacana pembolehan Presiden-Wakil Presiden lebih dua periode. Ini tidak hanya menodai misi suci reformasi, tetapi tawaran itu bisa menyimpangkan demokrasi pada politik dinasti dan pelanggengan oligarki. Jika dikabulkan, Jokowi akan menjadi sasaran empuk kritikan publik. Terlebih dengan menangnya anak dan menantu Jokowi dalam kontestasi Pemilukada Tahun 2020 ini.
Selain soal politik elektoral, masalah HAM (Hak Azasi Manusia) juga menjadi sorotan. Bahkan Komnas HAM memberikan kartu merah kepada Jokowi. Pemerintahan Jokowi dianggap lemah menyelesaikan kasus HAM berat masa lalu. Kebebasan berekspresi kian terpasung, bahkan terkesan ada pembiaran pihak-pihak lain yang membatasi kebebasan akademik. Belum lagi soal konflik antaragama, intoleransi, dan kebebasan beragama. Catatan Kontras 2014-2018 menunjukkan sedikitnya ada 488 peristiwa pelanggaran kebebasan beribadah dan berkeyakinan.
Bersumber pada kedua penyimpangan di atas, penyimpangan lain dalam kehidupan bernegara turut menyertai. Penegakan hukum yang tebang pilih, budaya korupsi, radikalisme, segregasi sosial, dan sederet dosa demokrasi bangsa. Agama sebagai basis nilai keluhuran akhlak belum cukup ampuh efektifitas peranannya. Yang tampak di permukaan, agama komunal sedang terseret pada konsentrasi tarik-menarik kepentingan politik kekuasaan.
Bahkan Pancasila sebagai basis nilai haluan demokrasi ikut dipersoalkan. Memang posisi Pancasila tetap di tengah, namun kedua sayapnya ditarik oleh dua kepentingan ideologis yang berseteru: antara kelompok sekuler dan agama. Padahal konflik itu sejatinya telah usai. Karena semua golongan telah berdamai di dada Pancasila sejak awal kelahirannya. Alih-alih menjadikan Pancasila sebagai kompas demokrasi Indonesia, jangan sampai ibarat bunga: “layu sebelum berkembang”.
Meluruskan Jalan
Demokrasi tidak bisa dibiarkan keluar dari lintasan (trajectory). Sebab, masuk jurangnya kendaraan demokrasi adalah maut bagi semua bangsa. Tidak pandang bulu apakah itu supir, kernet, atau penumpang. Karenanya, semua pihak yang sadar dan paham, sejatinya menjadi tongkat penuntun arah jalan. Sedangkan bagi mereka yang tidak paham, cukup diam di boncengan. Jangan merecoki ke-khusyu‘-an perjalanan.
Adalah Jefrey A. Winters, dalam acara Webiner yang diselenggarakan KPK bertajuk “Memahami Oligarki, Aspek Ketatanegaraan, Ekonomi, dan Politik Pemberantasan Korupsi” (9/6), menawarkan gagasan brilian menyelamatkan demokrasi Indonesia. Ia mengatakan bahwa demokrasi hanya bisa tegak sejalan dengan tegaknya hukum. Karena senyatanya, penegakan hukum terhadap kasus-kasus penyimpangan demokrasi di Indonesia masih terbilang lemah.
Pada Pemilukada serentak Tahun 2020 lalu misalnya, tidak ada satu pun Calon Kepala Daerah terpilih yang digugurkan Bawaslu karena kasus money politics. Padahal praktik itu sudak jamak diketahui sebagai budaya politik elektoral. Demikian halnya dengan praktik korupsi dan kasus-kasus pelanggaran HAM yang terjadi belum balance dengan kuantitas penanganan hukumnya. Untuk itu, Presiden Jokowi perlu mengevaluasi dan mereposisi para kabinet penegak hukumnya.
Komposisi kabinet dianggap banyak pihak sebagai biang tumpulnya taji penegakan demokrasi di era Jokowi. Resuffle kabinet yang dilakukan Jokowi kemarin sebetulnya sudah terlambat. Tapi itu lebih baik daripada tidak sama sekali. Hanya saja, komitmen kabinet baru ini masih perlu diuji: apakah mereka ingin meluruskan jalannya demokrasi atau justru menyelamatkan kepentingan oligarki.
Sejalan dengan itu, Yaqut Cholil Qoumas sebagai Menteri Agama yang baru memundak “PR” berat. Antara lain bagaimana menerjemahkan konsep moderasi beragama secara praktis. Intinya bagaimana mengubah keberagamaan publik dari yang eksklusif ke inklusif, dari yang eksesif ke moderat, dan dari yang konservatif ke arah progresif. Dengan begitu agama akan menjadi pijar jalannya demokrasi. Lebih jauh lagi, Indonesia sebagai tanah yang comfertable bagi tumbuh-suburnya demokrasi.
Jika agama saja mengajak umatnya kembali ke jalan yang lurus, kenapa demokrasi tidak kita arahkan ke jalan yang sama?
Ilustrasi: straitstimes.com