Sejak awal kelahirannya, diskursus teologi ditengarai oleh keberadaan berbagai varian pemikiran. Pada masa awal, keyakinan umat Islam terpolarisasi pada model pemikiran Salaf, Jabariyah, Qadariyah, Syi’ah, Murji’ah, Muktazilah, Asy’ariyah, dan Maturidiyah.
Secara historis, kelahiran varian pemikiran kalam ini sesungguhnya memiliki interpretasi historis-empirisnya masing-masing. Konteks historis tersebut dapat dilihat berdasarkan perspektif politis, antropologis, geografis, atau sosiologis yang menjadi latarnya.
Saya mencoba membuat simplifikasi dengan menyebut dua aliran yang paling inti, yaitu Jabariyah dan Qadariyah. Sistem teologi Jabariyah berkembang pada masa Bani Umayyah. Dalam sudut pandang politis, Jabariyah bukan hanya sekadar berkembang, tetapi juga dikembangkan, yaitu dikembangkan Bani Umayyah yang dalam banyak literatur sejarah citra kekuasaan mereka cenderung dikesani negatif. Tentu bukan generalisasi. Umar bin Abdul Aziz antara lain termasuk khalifah yang dikecualikan.
Orientasi pengembangan teologi ini, bukan tanpa alasan. Landasan politisnya adalah untuk meredam potensi kritis masyarakat. Hal ini diamini oleh Ahmad Mahmud Shubhi dalam Al-Falsafah Al-Akhlaqiyah fi Al-Fikr Al-Islami: al-Aqliyun wa al-Dzauqiyun aw an-Nadhar wa al-‘Amal, yang menyatakan bahwa eksistensi kekuasaan politik bani Umayyah dibangun di atas landasan teologis yang memiliki kekuatan hebat untuk menyatukan umat serta meredam sikap kritis umat, yaitu paham Jabariyah.
Melalui paham ini segala bentuk perilaku politik yang irasional dapat diselesaikan dengan satu kata kunci, yaitu takdir. Maka, segala kebijakan dan situasi politik Bani Umayyah senantiasa dilihat dari perspektif kemutlakan Tuhan dalam memutuskan suatu kepastian politik.
Sebagai sistem keyakinan, Jabariyah sendiri bukan berarti tidak memiliki rumusan teologis yang mandiri sehingga dapat begitu saja menjadi alat politik penguasa. Dalam sudut pandang orisinalitas keyakinan teologis, paham Jabariyah sebenarnya mencerminkan nilai universal kecenderungan sufistik. Namun demikian, nilai universalnya kemudian ditenggelamkan dalam kolam kekuasaan sehingga kecenderungan sufistik tersebut bergeser ke wilayah yang dicitrakan fatalisme.
Dengan citra ini, Jabariyah dijustifikasi sesat sebab melakukan reduksi yang sangat radikal terhadap segala potensi istimewa yang dimiliki manusia, antara lain akal. “…Bukan engkau yang melempar ketika engkau melempar, tetapi Allah yang melempar…” (QS. Al-Anfal: 17) yang dalam interpretasi tasawuf merupakan refleksi paripurna dari insan kamil, kemudian menjadi sangat buruk dalam interpretasi aliran teologi yang lain.
Dalam tasawuf, sufi adalah orang yang diarahkan oleh Tuhan. Sementara dalam teologi, Jabariyah adalah orang yang meninggalkan ikhtiar sebab semua sudah ada dalam kehendak Tuhan. Dengan kalimat lain, ketika interpretasi tasawuf ini dilihat dari pandangan teologi yang eksklusif, Jabariyah terpinggirkan dari aliran yang berhak memperoleh kavling di surga sebab terpapar paham sesat.
Demikian halnya dengan Qadariyah. Aliran ini juga lahir pada masa Bani Umayyah. Qadariyah menunjuk pada kelompok yang merasa prihatin atas realitas kezaliman yang diatasnamakan Tuhan.
Diriwayatkan bahwa Ma’bad Al-Juhani dan Atha Ibn Yassar mendatangi Hasan Al-Bashri untuk menyatakan keresahannya atas keyakinan (baca: keyakinan sufistik yang dipolitisir) yang menisbahkan segala kezaliman atas nama kehendak Tuhan. Pada titik ini perlu digarisbawahi, bahwa kemunculan Qadariyah sesungguhnya berangkat dari wilayah etika. Bahwa paham Qadariyah yang menyatakan bahwa manusia memiliki kebebasan untuk memilih dan menentukan perbuatannya, mestilah dipahami dalam arti etis karena terlahir dari tuntutan etis.
Namun dalam konteks teologi eksklusif, ketika Qadariyah ditempatkan ke wilayah teologi, paham ini diterjemahkan menjadi paham yang menyatakan bahwa Tuhan tidak memiliki kekuasaan untuk menentukan suatu akibat bagi manusia. Justifikasi ini telah melenyapkan Qadariyah dari sejarah teologi. Sebagaimana Jabariyah, ia sesat.
Dalam perkembangan selanjutnya, Jabariyah dan Qadariyah bermetamorfosis ke dalam varian nama namun sesungguhnya membawa misi utama yang hampir sama, yaitu Muktazilah dan Asy’ariyah.
Dalam buku Teologi Terakhir, varian pemikiran teologi yang berlatar modern ditampilkan Miswari, sang penulis, dengan polarisasi islamis-modernis, modernis-tradisionalis-sekularis, modernis-konservatif-tradisional, atau modernis-reformis-moderat-konservatif-tradisional. Apabila disarikan dua di antaranya, sebagaimana Jabariyah Qadariyah, sepertinya akan menyisakan islamis-liberal, sebab dalam banyak tempat, konsep modernis adakalanya dimaknai penulis dengan liberal.
Sayangnya, demikian menurut analisis penulis buku ini, semua konsep yang menunjukkan polarisasi senantiasa ditempatkan dalam suatu konteks, antara lain konteks politik. Mungkin agama terlalu seksi untuk ditinggalkan karena merupakan media yang paling efektif untuk dipolitisasi. Dengan cara ini, setiap tahap metamorfosis selalu melahirkan interpretasi yang berasal dari otoritas konteks tertentu sehingga terjemahannya hampir selalu merupakan bentuk kontradiksi teologis.
Setiap corak pemahaman senantiasa dibenturkan dengan pemahaman lain yang kemudian dinilai salah semata-mata berdasarkan perspektif tertentu. Penelitian dilakukan oleh Pusat Pengkajian Islam dan Masyarakat (PPIM) UIN Jakarta yang timnya dikoordinatori oleh Iim Halimatusa’diyah tentang Beragama di Dunia Maya: Media Sosial dan Pandangan Keagamaan di Indonesia.
Penelitian tersebut mencoba memperlihatkan keragaman cara pandang para pengguna media sosial dalam mengutarakan hasrat beragamanya dengan menganalisis empat model pemahaman, yaitu keagamaan liberal, moderat, konservatif, dan Islamis. Temuannya sungguh mengejutkan, bahwa terjadi penguatan paham keagamaan yang diyakini sebelumnya, sehingga mereka yang liberal menjadi semakin liberal, mereka yang konservatif semakin konservatif, dan mereka yang Islamis menjadi semakin Islamis.
Penguatan paham keagamaan untuk masing-masing kelompoknya, menunjukkan minimnya interaksi antar pandangan keagamaan sebab hampir seluruh jaringan di media sosial terbentuk hanya antara akun yang memiliki pemahaman yang sama. Dengan demikian, tidak ada dialog antar pemikiran sebab masing-masing hanya berkonsentrasi pada dirinya, diam di rumah sendiri, terbiasa dengan situasinya, kemudian merasa nyaman, sehingga tidak merasa perlu bersilaturahmi ke rumah tetangga untuk sekadar mengetahui kemungkinan adanya rumah lain lebih nyaman sehingga menginspirasi untuk mengadopsi kenyamanan rumah tetangga dalam konteks rumahnya, atau untuk mengetahui bahwa ada banyak rumah berpenghuni di sekitarnya dan realitas tersebut didayagunakan setiap individu supaya semakin menegaskan dimensi humanitasnya.
Dari situ, dibangun asumsi mengenai minimnya interaksi antar kelompok pemikiran akan cenderung menyulitkan proses pertukaran pemahaman keagamaan yang diharapkan mampu membentuk moderasi keagamaan. Hal ini perlu diwaspadai supaya, meminjam istilah Miswari, tidak terjadi bencana teologis yang ditandai dengan sikap eksklusif, fanatik, intoleran, bahkan radikalisme.
Kenyataan ini tampaknya sinergis dengan narasi yang dibangun dalam Teologi Terakhir. Buku ini merupakan refleksi kegelisahan penulisnya atas interpretasi umum dari diskursus teologi yang berkembang dewasa ini.
Miswari menelisik konteks-konteks teologis yang berpotensi hadir di hadapan teologi dalam situasi kontradiktif, merongrong, untuk kemudian mengekangnya, sehingga aksiologi keilmuannya terlepas dari persoalan objektif yang dihadapi umat manusia.
Untuk selanjutnya, ia menyampaikan solusi bagi banyak problem teologis dewasa ini. Membaca buku ini, cita-cita moderasi Islam menemukan titik terangnya.
Editor: Khairil Miswar