Jaran kepang atau jarkep merupakan pagelaran acara yang menarik sehingga penampilan acara tersebut mendapat antusias dari warga sekitar. Bahkan warga desa tetangga yang mengetahui adanya jaran kepang ini juga ikut berbondong menyaksikan pagelaran budaya ini.
Pada mulanya jaran kepang ini bukanlah sebuah seni pertunjukan, karena memang zaman dulu belum dikenal istilah kesenian. Jaran kepang ini merupakan bagian dari ritual menolak bala, mengatasi berbagai musibah serta meminta dan mengharapkan kesuburan dan keberhasilan panenan dan juga supaya masyarakat tenteram aman dan damai. Seiring dengan perjalanan waktu, hal itu berkembang menjadi mitos yang diyakini oleh masyarakat dan kemudian berkembang menjadi berbagai simbol yang digunakan dalam kegiatan ritual .
Memang, sejauh ini belum ditemukan data tertulis atau prasasti yang membahas tentang jaran kepang. Ada dugaan kata “kepang“ berasal dari kepung menurut sejarawan M.Di Cahyono. Dalam bahasa Jawa kuno dikenal kata kepang yang bersinonim dengan kepung yang menunjukan pada: mengepung (Zoetmuder, 1995: 491) dalam arti tarian yang merupakan gerakan pengepungan yang dilakukan oeh sekelompok orang prajurit berkuda. Yang mereka kepung adalah celengan atau babi hutan dan barongan atau ular besar.
Kesurupan atau trance adalah hal yang sering dan terjadi selama pagelaran berlangsung.
Formasi tarian ini biasa digarap 6-8 orang dengan 4 laki laki dan 4 perempuan menari berpasangan dan tak lupa menggunakan riasan wajah yang khas hitam putih dan sekendang merah yang diikatkan di pinggang wanitaa sebagai ciri khas dalam jaran kepang. Atraksi pijakan pecahan kaca, mengupas kulit kelapa dengan gigi, lecutan pecut atau cemeti.
Masing-masing pemain akan menjadi semakin liar dan gila dalam memainkan pagelaran ditambah lagi bau menyan, gendang gedung musik yang menambah kesan magis yang menyeruak di sekitarnya.
Namun, semakin berkembangnya zaman dan luasnya perkembangan teknologi yang semakin canggih sangat berdampak pada meluasnya globalisasi. Hal ini menyebabkan kearifan lokal yang sangat melekat dalam kehidupan masyarakat yang tumbuh dan berkembang dengan kesenian dan kebudayaannya kini semakin pudar dan bahkan nyaris punah.
Negara kita yang memilki beragam macam tradisi dan adat istiadat yang kita pelihara tampak nyata tergerus dengan perkembangan zaman.
Di saat ekonomi melemah sebab adanya wabah COVID-19 yang mempengaruhi turunnya pendapatan masyarakat dan besarnya keinginan menghadirkan hiburan yang bisa menjadikan identitas kesukuan yang ada, jarkep menjadi pilihan sebab biaya yang tidak terlalu mahal untuk menyaksikannya.
Namun jarkep kini hilang dan bertahan dengan keterbatasannya karena kurangnya minat penonton bagi pemuda zaman sekarang yang lebih memilh gadget ketimbang menyaksikan tradisi luhur yang terbilang jarang ditemui untuk saat ini.
Jaran kepang hanya ada ketika adanya acara besar seperti perkawinan dan selamatan lainnya. Namun adanya wabah ini membuat jaran kepang dan para pemainnya tidak aktif sebab penerapan protokol kesehatan yang ditetapkan oleh pemerintah membuat mereka tidak dapat berkutik untuk menampilkan tarian khas jaran kepang mereka .
Dulunya di Desa Alurtani Kecamatan Tamiang Hulu Kabupaten Aceh Tamiang tidak ada jaran kepang.
Di Jawa, tarian ini menggambarkan gagahnya seeseorang. Namun di sini tarian ini hanya dengan berhias blankon sebagai penyempurna dan hanya berpakaian biasa yang menunjukan identitasnya sebagai orang Jawa.
“Ning nang ning nggung” menjadi lirik khas yang membuat pendengar dan penonton bisa ikut bergoyang menikmati tarian jaran kepang ini. Tarian di sini memang berbeda dengan yang ada di Jawa yang lekat dicampur dengan campur sari untuk memperpanjang durasi.
Di Desa Alurtani, pemain jaran kepang, Pak Sukir melestarikan tarian ini karena ia rindu suasana Jawa. Tapi semenjak ada Covid jadwal show drastis berkurang sebab penerapan prokes dari pemerintah yang melarang adanya kerumunan membuat mereka harus memberhentikan total.
“Biasanya dalam sekali pagelaran kami mendapat Rp.1.000.000 dan dalam sebulan kami bisa main 2 sampai 3 kali , dari siang hari sampai malam, namun sekarang dalam sebulan total sama sekali kami tidak menerima tawaran main lagi,” katanya.
“Tradisi ini harus dipertahankan sebab kita wong Jowo (orang suku Jawa) sebagai pemilik dari tradisi ini harus menjaga dan melestarikan tradisi dan budaya kita hingga cucu cicit kita tetap dapat menyaksikannya lagi,” tambah Pak Sukir.
Meski tergerus kecanggihan zaman, Pak sukir selaku kepala atau ketua dari pemilik jaran kepang yang ada di desa Alurtani mengharapkan pemuda pemudi dapat tetap ikut membantu dalam menyokong kelestarian tradisi yang hampir punah ini.
Editor: Khairil Miswar