Satu waktu, di saat masih mahasiswa S-1 di IAIN Ar-Raniry, saya membuat Pak Rahman Kaoy agak jengkel gara-gara mengajukan pertanyaan, “Apakah Abu Dawud Beureueh tidak mengetahui perdebatan Sukarno dengan Natsir mengenai Islam sebagai dasar negara?”
Mendengar pertanyaan itu, Pak Rahman sedikit mendelik, tetapi masih memberi senyum khasnya sebagai seorang guru, dia menjawab, “Abu Dawud merupakan orang cerdas.”
Pertanyaan itu saya ajukan, di saat itu, karena sulit memahami mengapa ulama sekaliber Daud Beureuh, yang sangat yakin kepada Islam sebagai jalan hidup orang Aceh, mempercayai Sukarno yang membela keras pilihan politik Mustafa Kemal Ataturk di Turki pada permulaan abad ke-20.
Tentu saja, bagi Pak Rahman, pertanyaan saya itu tidak masuk akal karena dia merupakan generasi muda yang berjumpa langsung dengan Daud Beureuh secara intensif setelah Peristiwa Aceh 1953 usai. Baginya, yang melihat dari dekat karisma Daud Beureuh bagi masyarakat pedesaan, Ketua PUSA itu adalah sosok paripurna dalam memahami gerak Aceh sejak akhir pendudukan Belanda, selama pendudukan Jepang, dan masa-masa genting revolusi nasional.
Namun, pertanyaan saya itu juga menjelaskan tentang imaji berbangsa dan bernegara yang sedang tumbuh kuat dari ujung barat sampai ke timur Indonesia. imaji yang hanya bisa menjadi keinginan bersama ketika merasakan satu penderitaan dan kesamaan nasib. Atas dasar itulah, dalam hipotesa saya, Daud Beureueh dan kalangan ulama saat itu mengabaikan perdebatan Sukarno dan Natsir tersebut.
Apalagi, di saat yang sama, Sukarno dan Daud Beureuh memiliki kesamaan dalam memahami cita-cita Islam, yaitu: Islam is progress; Islam itu berkemajuan.
BA