Kamis Kedua Terakhir (Bagian Pertama)

 

Saat duduk di teras depan rumahnya, Apa Cantoi mengenang hari lebaran yang telah lewat beberapa hari lalu. Dia ingin sekali kembali pada hari-hari yang penuh kebahagiaan itu. Setiap hari-hari lebaran, dada Apa Cantoi diisi kebahagiaan entah datang dari mana. Lorong-lorong yang sama dia lihat setiap hari menjadi berbeda suasananya saat hari lebaran. Jalan setapak yang dilalui menjadi berbeda dengan hari-hari lainnya. Padahal tidak ada perubahan apa-apa.

Apa Cantoi merasakan suasana yang nyaris sama dengan kenikmatan berbeda saat bulan Ramadhan. Setiap hal yang dipandang pada bulan Ramadhan menjadi berbeda. Setiap suara yang didengar meski irama yang sama menjadi berbeda. Meski dalam kondisi lelah dalam berpuasa, saat bekerja, Apa Cantoi menjadi bersemangat. Ada bahagia dalam dada sepanjang bulan itu.

Ramadhan kali itu Apa Cantoi tidak punya penghasilan apa-apa. Sudah lebih setengah bulan dalam bulan suci itu, dia masih belum memiliki gambaran bagaimana agar lebaran bisa memiliki uang. Memang Apa Cantoi tidak punya persiapan apa-apa pada lebaran yang membuatnya harus memiliki banyak uang. Dia tidak dituntut untuk memberi uang kepada bocah-bocah keponakannya. Dia tidak berekspektasi untuk memiliki baju dan celana baru saat menjelang lebaran. Biasanya pun jalan-jalan dia pergi bila ada yang mengajak. Tetapi tidak memiliki uang sama sekali saat lebaran adalah satu hal yang ganjil.

Apa Cantoi berharap dia bisa mengantongi uang walau tidak banyak, setidaknya untuk pergi ke Kota Peusangan dengan jengkinya dan duduk mengopi di mana warung kopi yang buka. Sambil itu dia bisa mengamati anak-anak hilir mudik di pasar dengan senapan mainan sambil mengenakan kacamata. Belakangan Apa Cantoi memahami bahwa anak-anak memakai kacamata bukan hanya untuk gaya-gayaan, tetapi juga supaya peluru tidak terkena mata. Biasanya anak-anak bermain perang-perangan di toko-toko yang tutup pinggir kota. Di situ lebih aman karena jarang orang berlalu-lalang.

Pernah satu hari tepatnya hari Kamis, Apa Cantoi pergi ke pasar untuk melihat keramaian. Hari itu adalah hari pekan, di mana orang-orang berkumpul di pasar untuk minum kopi, berbelanja kebutuhan, dan sebagainya. Hari pekan itu diselenggarakan seminggu sekali. Kota Peusangan hari pekannya Kamis. Sejak dulu sudah begitu. Sejak dulu setiap Kamis selalu ramai, apalagi menjelang lebaran. Adapun Kamis yang paling ramai bukan Kamis terakhir menjelang lebaran. Karena Kamis itu orang-orang telah berbelanja pakaian Kamis sebelumnya. Adapun Kamis terakhir itu orang-orang sudah fokus membuat kue lebaran. Kalaupun membeli jenis pakaian, itu hanya pakaian dalam dan aksesoris. Kamis kedua terakhir menjelang lebaran itulah yang paling ramai dan paling sibuk. Banyak orang yang hilang dompet. Apakah dicolong maling yang datang dari luar daerah, tercecer begitu saja, atau tertinggal di satu tempat. Bahkan Kamis kedua terakhir itu ada emak-emak yang menangis sambil berteriak dan menjerit-jerit karena kehilangan anaknya. Apa Cantoi tidak tahu apakah kemudian anaknya ditemukan. Itu sering terjadi setiap tahun pada Kamis menjelang lebaran.

Menjelang siang pada Kamis kedua terakhir menuju lebaran, Apa Cantoi mengambil sepeda jengkinya menuju Kota Peusangan. Dia melalui menyusuri lorong rumahnya menuju jalan Dusun Mutiara untuk menghindari cuaca panas. Ramadhan kali itu memang panas sekali. koran meliput tentang cuaca ekstrem yang belum pernah terjadi sebelumnya. Hujan nyaris tidak turun sepanjang Ramadhan. Memang melalui jalan Dusun Mutiara, perjalanan menjadi semakin jauh. Tetapi banyak pohon di pinggir jalan. Jadinya sepanjang jalan tidak kepanasan. Terpapar sinar mahahari langsung itu sangat melelahkan. Apalagi saat sedang berpuasa. Bisa dehidrasi dibuatnya. Tenggorokan menjadi kering. Bayangan es bandung yang merah muda menyala-nyala di dalam kepala. Makanya Apa Cantoi sendiri sangat menghormati mereka yang bekerja menjadi kuli. Orang-orang itu berpanas-panas sepanjang hari.

Tiba di persimpangan warung kopi Apa Suh yang sedang tutup, Apa Cantoi belok kiri. Bila lengah di persimpangan itu, bahaya sekali karena ada jurang dengan semak-semak yang lebat. Selanjutnya adalah sungai. Setelah belok kiri, di sebelah kiri, terdapat perkebunan di pinggir jalan. Ada di tanam banyak timun suri. Tapi sepertinya sudah habis dipanen. Hanya tinggal beberapa yang hampir matang. Ramadhan kali itu, timun suri laris manis. Orang-orang sudah kesulitan mendapatkannya sejak memasuki pertengahan Ramadhan. Timun itu sangat laris karena sejuk bila dikonsumsi. Sangat cocok bagi siapa saja yang telah berpuasa seharian. Padahal bulan-bulan Ramadhan sebelumnya, timun suri tidak selangka itu. Tentu saja karena Ramadhan kali itu sangat panas.

Tiba di kampung Kedai Angsana, Apa Cantoi tidak mengarah ke jalan Matang-Tanjong, tapi memilih berbelok kanan ke jalan kampung Pantai Baru. Rupanya jalan itu sudah diperbaiki. Sebelumnya bersepeda ke sana sangat rentan kempes ban. Soalnya banyak kerikil di jalanan. Pecahan batu bisa membuat ban sepeda kempes bahkan pecah. Di kampung Pantai Baru, balai pusat perkumpulan desanya merupakan bangunan lama yang masih dipertahankan dan dirawat, meski mereka sudah mendirikan sebuah tempat ibadah yang indah di seberang jalan. Ada banyak ukiran dan lukisan. Di antaranya adalah lukisan burak dengan cat minyak pada salah satu bagian dinding dominan hijau.

Pada masa itu orang-orang menyimbolkan burak dengan kuda berkepala perempuan cantik rambut panjang. Badan kuda adalah simbol untuk ketangguhan dan kecepatan. Karena burak itu sangat gagah dan cepat seperti cahaya. Makanya yang paling cocok disimbolkan sebagai kendaraan cepat dan tangguh adalah kuda. Bahkan mobil-mobil hingga hari ini, tenaganya diukur dengan tenaga kuda. Sementara wajahnya yang cantik sebagai simbol bahwa burak itu adalah makhluk yang elok dan enak dipandang. Makhluk Tuhan yang paling cantik dan elok dipandang itu paling cocok disimbolkan dengan perempuan. Namun belakangan ini gambar burak semacam itu dianggap terlalu vulgar. Entah bagaimana ada orang bisa terangsang melihat badan kuda.  Mungkin juga sebagai simbol kendaraan cepat, kuda tidak cocok lagi.

Dari jalan itu, bila berbelok ke kiri atau ke kanan, Apa Cantoi masih akan menemukan jalanan yang tidak terik karena pada satu sisi adalah tepi bukit yang penuh pepohonan dan pada sisi satunya lagi adalah sawah terbentang yang mengirim angin yang sejuk. Meski, Ramadhan kali itu, saking panasnya, tidak hanya hujan yang tidak turun, angin pun enggan berembus. Belok kiri atau kanan akan menuju desa Rawa Kecil. Waktu kecil, Apa Cantoi sering bermain di sana. Ke kiri adalah sawah. Waktu kecil, Apa Cantoi sering ke sana untuk memancing ikan. Ada ikan gabus, ikan sepat, ikan lele, dan ikan air tawar lainnya. Dulu di sawah, alur air di sawah, dan rawa-rawa di antara sawah dan kebun, banyak ikannya. Sekarang sudah sangat langka. Mungkin pupuk kimia yang dipakai untuk pertanian membuat mereka punah. Padahal jangankan ikan, ular swah dan berang-berang juga ada di sana. Kalau sedang musim panen, sawah dapat menjadi tempat bermain layang-layang. Ada juga anak-anak yang mengupas tanah sawah yang permukaannya kering untuk mencari ikan. Rupanya bagian bawah sawah sangat basah. Ikan-ikan bertapa di dalam tanah saat musim panen. Kalau sawah berair kembali, ikan-ikan akan naik ke atas permukaan tanah untuk berkembang biak.

Kali itu Apa Cantoi memilih belok kanan. Ada jembatan kecil di sana. Sebelum Apa Cantoi disekolahkan di bawah Departemen Hukum, jembatan itu masih terbuat dari kayu. Setelah dia kembali, sudah menjadi jembatan beton yang kukuh. Lengkap dengan tiga baris horizontal besi dua sisi yang disangga empat batang cor semen. Itu untuk mencegah pengguna jalan tercebur ke parit saat melintasi jembatan. Dua di kiri dan di kanan ada coran beton pada dua ujung. Itu untuk mencegah pengemudi kendaraan yang lengah agar tidak mengarah ke parit. Pada coran beton jembatan semacam itu yang dibuat pada tempat-tempat strategis, suka digunakan anak muda untuk duduk-duduk pada sore hari.

Masa Apa Cantoi masih muda dulu, sebayanya suka duduk-duduk di empat coran tinggi satu meter dengan lebar masing-masing lima puluh sentimeter dan panjang satu meter. Anak muda masa itu duduk sore hari setelah mandi dan mengenakan pakaian terbaiknya. Terkadang ada di antara mereka yang duduk sendiri saja bila temannya tidak ada. Pakaian mereka yang kece pada masanya itu menjadi inspirasi anak-anak yang menyaksikan. Apa Cantoi sendiri waktu kecil pernah minta dibelikan celana Lea dan puas ketika dibelikan celana Zea. Dia juga pernah meminta sandal Carvil dan puas dengan dibelikan sandal Carbil. Waktu meminta sepatu Adidas, dia senang ketika dibelikan Abibas. Itu semua diinspirasikan oleh anak muda yang dia perhatikan duduk di tembok jembatan pada sore hari.

Berbeda dengan jembatan strategis waktu itu yang ada anak mudanya, jembatan yang dilewati Apa Cantoi saat hendak ke Pasar Matang tidak ada yang duduk-duduk di sana. Jalanan itu sepi, baik dulu maupun kini. Banyak pohon kelapa dan jati pada sesi kiri yang merupakan kaki bukit. Sisi kanan dulunya adalah rawa-rawa. Sepertinya karena sudah mengalami kehabisan mata air dan debit hujan yang semakin minim, di sana sudah dimanfaatkan warga untuk menanam sayur-sayuran seperti kacang panjang, terong, dan sebagainya.

Ada beberapa bukit kecil yang perlu dilewati. Tetapi tidak membuat Apa Cantoi harus turun dari jengkinya. Meskipun sepanjang jalan rindang, Apa Cantoi berkeringat. Karena cuaca memang sangat panas. Berkeringat itu baik. Berkeringat merupakan cara yang ampuh menghindari berbagai penyakit. Bila usia sudah tiga puluh ke atas, seseorang harus sering berkeringat karena bila tidak, lemak menumpuk di badan dan menjadi bibit penyakit. Usia tiga puluh ke atas, sel-sel tubuh sudah mulai lemah. Pembakaran mulai melambat. Berbeda dengan usia tiga puluh ke bawah. Sel-sel tubuh masih kuat. Apapun yang dimakan, mudah dibakar. Sebab itulah orang berusia tiga puluh ke bawah jarang ada yang gemuk dan buncit.

Apa Cantoi dulu waktu muda sering dicibiri karena terlalu kurus. Sekarang di baru tahu bahwa terlalu kurus umum di bawah tiga puluh petanda badan sangat sehat. Karena apa yang dimakan mudah dibakar. Beda dengan usia di atas tiga puluh, harus melakukan pembakaran khusus. Caranya adalah dengan bekerja rutin, yakni kerja-kerja yang menghasilkan keringat seperti bertani. Yang bahaya adalah mereka yang sering berada pada ruangan berpendingin. Keringat mereka tidak bisa keluar. Pekerja demikian harus rutin berolahraga bila ingin tetap sehat. Yang beruntung adalah yang bekerja pada bidang keamanan negara. Mereka harus selalu dalam kondisi fisik yang baik sehingga harus rutin melakukan olah raga.

Apa Cantoi sendiri belakangan ke mana-mana rajin dengan sepeda. Apalagi setelah dibelikan jengki baru oleh Ratna. Dia sangat menyayangi sepeda itu. Dipakai ke mana-mana. Apa Cantoi tidak akan membiarkan sepeda itu kotor. Setiap pulang, sepedanya selalu dibersihkan. Dia merasa berdosa apabila ada debu yang menempel pada sepadanya itu.

Apa Cantoi sangat bersyukur bisa sering berkeringat akibat ke mana-mana dengan sepeda. Lagi pula dia tidak punya jenis kendaraan lain. Semenjak mendapatkan jengki baru, berat badan Apa Cantoi semakin turun. Dia merasa semakin kurus. Tapi saat memikirkan itu, Apa Cantoi sempat melirik ke bawah. Ukuran perutnya belum mengecil. Malah dengan badan yang semakin kurus, perutnya tampak semakin buncit. Apalagi Apa Cantoi suka memakai kaos putih. Itu membuat perutnya tampak semakin buncit. Tapi Apa Cantoi tidak tahu kenapa Ratna masih suka berteman dengannya. Ratna yang bersih, putih, tinggi, dan elok. Sementara Apa Cantoi apa adanya. Apa Ratna tidak malu kalau berjalan dengan dirinya, pikir Apa Cantoi.

Mungkin bila semakin sering berkeringat, pikir Apa Cantoi, dia akan menjadi semakin kurus dan buncitnya bisa sekain berkurang. Dengan begitu, bisa jadi Ratna akan semakin sering mengajaknya jalan bersama. Tetapi setelah Apa Cantoi pikir lebih jauh, tetap saja Ratna yang cantik itu tidak sesuai dengannya. Apa Cantoi hanya suka mengenakan kaos putih, celana kain hitam dan panjang, ditambah kain sarung yang dilipat dua sehingga panjangnya hanya hingga dengkul. Apa Cantoi suka pasang sarung kemana-mana karena menurutnya, terkadang celana bisa kenapa-napa, sehingga sarung dapat menjadi solusi.

Kalau Apa Cantoi pikir-pikir, sudah lebih sebulan dia tidak bertemu Ratna. Terakhir bertemu di kafe Doto-Coffee. Waktu itu mereka mengopi sambil mengobrol tentang beberapa hal. Ratna bercerita bahwa dia baru saja membeli beberapa buku baru berkualitas mengenai hukum. Apa Cantoi menanggapi dengan antusias tema-tema hukum yang dibicarakan Ratna dalam buku-buku barunya itu. Tetapi Apa Cantoi hanya menanggapi sekedar, karena dia tidak terlalu paham mengenai ilmu tersebut.

Tiba di sebuah bukit, ada persimpangan di sana. Belok kanan ke Rawa Kecil. Belok ke kanan akan segera meninggalkan Rawa Kecil menuju Pantai Kalong. Bila belok kiri, ada rumah Ratna di sana. Tapi sekarang Ratna tidak lagi sering di sana. Belok kiri ke arah Pantai Kalong, ada jembatan di sana. Dulu di bawah jembatan itu banyak kafe yang dibuat untuk anak muda. Hari Minggu banyak pasangan muda mudi ke sana. Tapi hanya mereka yang punya atau dapat pinjaman sepeda motor yang ke situ. Minuman di kafe-kafe ada Coca Cola, Fanta, Sprite. Pakai es batu menjadi sangat nikmat. Dulu, sudah lama sekali, Apa Cantoi pernah membawa Ratna ke sana. Tapi cuma sekali. Apa Cantoi dapat pinjaman sepeda motor dari familinya. Motor itu dibeli dari hasil menjual sepetak kebun. Itu adalah motor Astrea Impressa seken. Sekarang harga kebun itu setara sebuah mobil Pajero seken.

Pengalaman ke Pantai Kalong bersama Ratna adalah kenangan terindah dalam hidup Apa Cantoi. Tapi sayang sekali setelah pertemuan itu komunikasi mereka meregang. Hingga akhirrnya Ratna hilang entah kemana dan juga Apa Cantoi harus sekolah di bawah Departemen Hukum dalam waktu yang lama. Ketika Apa Cantoi kembali, Ratna sudah menjadi pengacara ternama.

Apa Cantoi belok kanan. Ada sebuah rumah sangat tenteram tampaknya. Hanya ada satu rumah semi permanen bercat putih di sana. Apa Cantoi membayangkan bisa hidup berdua dengan Ratna di rumah itu. Mereka bisa pelihara lembu dan bercocok tanam untuk menghasilkan uang. Apa Cantoi yakin akan hidup bahagia setiap detiknya.

Jalanan menuju jembatan Pantai Kalong sebelah kanannya banyak tumbuh bambu ragam jenis. Banyak tumbuh buluh di sana. Mendekati jembatan ada bukit yang tinggi. Banyak rumpun bambu. Tiba di persimpangan kalau belok kanan bisa ke desa Getah Rotan. Belok kanan desa Simpang Empat yang melalui itu bisa ke Kota Peusangan. Apa Cantoi belok kanan tiba di ujung seberang jembatan. Jengki berhenti. Tampak di hadapan Apa Cantoi kenangan masa lalu. Ada banyak warung yang menyediakan minuman soda. Setiap warung punya dua puhuhan bale-bale kecil. Dicat warna -warni untuk menarik perhatian pengunjung. Ada sekitar sepuluh warung. Baris paling ujung bale-bale adalah pantai sungai yang indah. Di tengah sungai banyak bebatuan. Sebagian pengunjung yang umumnya pasangan muda mudi duduk-duduk di bebatuan. Sebagian sedang merencanakan masa depan sambil mandi setengah badan. Airnya sangat bersih dan sejuk.

Apa Cantoi melihat Ratna sedang duduk di sisinya, di atas sebuah batu berukuran besar. Di sana Apa Cantoi mengucapkan cinta kepada Ratna. Perempuan muda dengan bola mata bersinar itu tampak sangat terang dengan kulitnya yang cerah, apalagi saat itu Ratna mengenakan kaos putih lengan pendek. Dengan rambut yang basah terurai di atas bahu, dengan wajah yang berair karena baru saja mandi sungai, perempuan itu sempat terkejut dan membatu. Lalu tersenyum dan mengangguk. Karena malu, Ratna berlari ke bale-bale tempat mereka meletakkan helm dan jaket. Ratna duduk di pinggir Fanta dan Sprite yang telah mereka pesan. Ada dua gelas bening berisi es kosong. Ratna mengambil botol sprite dan menuangkan ke salah satu gelas. Apa Cantoi meyusul. Sambil menuangkan minuman soda berwarna merah ke dalam gelas satunya, Apa Cantoi melirik Ratna. Perempuan itu masih tersipu dan tersenyum-senyum. Apa Cantoi sedikit membungkuk untuk mengamati wajah Ratna yang sedang tertunduk.

Bibir merah jambu itu sedang mengemut pipet berwarna merah. Air soda bening di dalam pipet naik turun. Mata Dua bola mata Ratna yang tersembunyi di balik rambutnya yang masih basah melirik wajah Apa Cantoi. Ratna meletakkan minuman itu dan mengangkat kedua kakinya ke atas bale-bale. Perempuan itu menutup wajahnya dengan dua lututnya. Dari balik celana jins warna abu perak dan lengan putih bersih, dan rambut panjang yang basah, Apa Cantoi masih sempat melihat wajah Ratna masih tersenyum dan tersipu.

Apa Cantoi terkejut ketika sebuah dump truck kuning bermuatan tanah membunyikan klakson. Sempat ia melirik truk yang telah membuyarkan kenangannya itu. Dilirik kembali ke arah pinggir sungai itu. Pohon kelapa ditanam rapi dan telah tumbuh dengan tinggi nyaris sama. Ujung daun muda yang masih tegak sudah melampaui tinggi listrik.

Apa Cantoi menyeberang jalan di ujung jembatan. Dia kembali ke arah Simpang Empat. Sepanjang jalan sebelah kanan dan kiri sudah banyak didirikan rumah-rumah. Dulu sebelah kiri adalah bukit yang tinggi. Kini kaki bukit sepanjang jalan sudah dikeruk dan didirikan rumah-rumah. Di belakang rumah-rumah itu masih banyak proyek galian tanah.

Mencapai jalan negara, sebelah kanan ada sebuah bukit. Itu namanya Bukit Kapal. Konon dulu itu merupakan sebuah kapal yang terdampar dan kemudian menjadi bukit. Padahal laut masih belasan kilometer jaraknya. Kata sebagian orang, dulu laut mencapai lokasi jalan negara sekarang. Bisa jadi itu benar, mengingat di Riau, dulu terdapat laut yang sangat luas berbentuk teluk yang besar sekali. Tapi sekarang sudah menjadi daratan semua. Mungkin ada penyusutan air laut pada satu masa dulu.

Di dekat Bukit Kapal ada sebuah rumah besar yang didirikan waktu Apa Cantoi masih muda. Konon harga gambarnya saja dua puluh lima juta rupiah. Pada masa itu, jumlah uang sebanyak itu sudah bisa membangun rumah mewah. Itu adalah milik toke pinang. Orang paling kaya di kecamatan itu pada masa lalu. Kini telah ada beberapa rumah di kecamatan itu yang lebih besar daripada itu. Tapi pesona keindahan rumah toke pinang dimaksud masih terasa kemegahannya meski telah berlalu puluhan tahun.

Apa Cantoi singgah di pasar ikan untuk membeli mentega kemasan seperempat kilogram. Dia berencana menjadikan itu sebagai selai roti setelah dicampur sedikit gula. Kalau sedang berpuasa, memang banyak hal yang diinginkan. Apa yang dilihat seolah-olah sanggup dimakan semua. Kalau melihat es bandung, tenggorokan yang sedang kering meronta-ronta. Jangankan melihat es buah, melihat cangkir plastik warna pink saja bisa membuat orang berkhayal seperti sedang minum es teler.

Bulan puasa seharusnya menjadi medan latihan menahan diri. Tapi yang terjadi justru sebaliknya. Konsumsi melonjak tinggi. Untuk sebuah kota kecamatan, sirup botol dikonsumsi satu kontainer. Apa Cantoi berniat membeli timun suri. Tapi tak ada. Di Mata Air pinggir jalan Matang Tanjong juga tidak tersedia. Sejak memasuki pertengahan Ramadhan, timun suri seperti raib ditelan bumi. Ada yang bilang kemarau berkepanjangan menjadikan makanan khas bulan puasa itu banyak yang gagal panen. Ada yang bila karena Ramadhan kali itu sangat panas, timun suri menjadi buruan utama sehingga menjadi langka. Timun suri adalah buah yang dimasukkan ke dalam potongan kulit batang pisang dan menjadi favorit di bulan Ramadhan, karena sifatnya yang dingin mampu menghilangkan dahaga. Timun itu dikonsumsi dengan diaduk dengan sedikit gula. Karena teksturnya yang lembut, menjadi mudah diminum seperti jus.

Apa Cantoi singgah sejenak di terminal. Dia melihat banyak mini bus yang masuk terminal untuk menjemput sewa, mengambil paket, dan dan menitipkan paket di loket. Tampaknya orang-orang sudah mulai mudik.  Terminal yang biasanya sepi menjadi ramai. Sopir minibus sejak pertengahan Ramadhan berada dalam kegembiraan karena mulai punya banyak sewa. Kalau hari-hari biasa, mereka sering kalau bersaing dengan minibus ber-AC.

Sayangnya banyak terjadi kecelakaan bila menjelang lebaran. Mobil-mobil pribadi mulai ramai di jalan raya. Banyak orang yang merantau sudah mulai mudik dua minggu sebelum lebaran. Sopir minibus tidak meninggalkan kesempatan yang hanya datang setahun sekali. Jadinya mereka kurang istirahat dan mengalami kelelahan saat sedang berkendara. Apa lagi siang hari bulan Ramadhan,  cuaca panas dan kondisi tubuh orang berpuasa membuat mereka mengantuk.

Dari terminal, Apa Cantoi ke pasar Kota Peusangan. Di sana dia merasa seperti ada sesuatu yang tidak beres. Apa Cantoi berusaha mengingat-ingat sebenarnya hari itu hari apa. Sepertinya bukan hari Kamis, apalagi Kamis kedua terakhir menjelang Ramadhan. Kalau itu adalah hari Kamis, apalagi tepatnya pada waktu menjelang zuhur, pastinya orang-orang sangat ramai. Tapi hari itu sangat lengang. Bahkan di jalan yang pinggir aliran irigasi yang hari biasa saja ramai, kali itu lengang. Seharusnya di situ sangat ramai, apalagi hari Kamis, apalagi Kamis dua terakhir menjelang lebaran. Itu adalah pusat perbelanjaan pakaian di Kota Peusangan. Toko-toko pakaian dibangun di atas aliran irigasi.

Apa Cantoi seperti tidak percaya bahwasanya itu adalah hari Kamis. Dia mendatangi seorang paruh baya yang menjual bibit sayuran. Dagangannya itu dibentangkan di atas terpal saja. Jenis-jenis bibit yang dijual antara lain bibit bayam, bibit kangkung, bibit mentimun, dan banyak lagi. Dia juga menyediakan bakung isi telah dikeringkan dan dililit. Itu untuk orang tua agar tidak sakit gigi. Disangkut antara bibir bagian dalam dan gusi.

”Apa, hari apa hari ini?” tanya Apa Cantoi.

Pria itu tersenyum, lalu menjawab, ”Tentu saja Kamis.”

Apa Cantoi memang harus percaya bahwa itu memang hari Kamis. Kalau bukan Kamis, pedagang kaki lima seberang jalan depan toko-toko di atas irigasi tidak akan berjualan. Pria penjual bibit sayuran itu juga hanya berjualan hari Kamis.

”Kenapa sepi sekali hari ini, Apa?”

”Mungkin karena cuaca terlalu panas. Jadi orang-orang akan ramai nanti, menjelang Asar ketika cuaca mulai kurang panas.

Apa Cantoi kurang yakin dengan pendapat itu. Karena biasanya setiap Kamis dalam bulan Ramadhan, apalagi Kamis kedua terakhir, sepanas apapun cuaca, pengunjung pasar akan sangat ramai. Seingat Apa Cantoi, Ramadhan tahun lalu juga sangat ramai. Mungkin saja pria penjual bibit sayuran itu menjawab dalam suasana hati kurang baik karena pengunjung pasar sepi dan berharap nanti pengunjung akan ramai.

Biasanya di pasar pakaian bila hari Kamis biasa saja, jangankan bersepeda, jalan kaki saja sangat sulit menembus kerumunan. Hari itu, padahal Kamis kedua terakhir menjelang Ramadhan, jangankan dengan sepeda, naik sepeda motor juga bisa mengendarai dengan mulus tanpa hambatan. Orang yang ke pasar pakaian hanya satu dua saja. Padahal waktu menjelang Zuhur pada hari Kamis kedua terakhir sebelum lebaran, sebagaimana Ramadhan-Ramadhan sebelumnya, adalah puncak keramaian di mana jangankan dengan sepeda, berjalan kaki sendiri tanpa membawa apa-apa saja bisa sulit. Orang-orang berdesakan. Ada yang kehilangan anak, ada yang kehilangan dompet. Orang yang hilang anak berteriak-teriak, menjerit-jerit di tengah kerumunan bahkan ada yang berjam-jam anaknya baru bisa ditemukan. Yang kehilangan dompet juga tidak kalah heboh. Menjerit-jerit seperti kerasukan. Melihatnya membuat miris. Banyak dari mereka yang kehilangan dompet karena terjatuh sendiri tanpa sadar saat berjalan, karena telah terlalu banyak menjinjing barang belanjaan. Ada yang tanpa sadar dompetnya diletakkan di lantai toko saat sedang memilih pakaian lalu lupa mengambil. Ada juga yang memang kemalingan karena ada orang yang dirasuki iblis datang dari daerah yang jauh, khusus menargetkan orang-orang yang lengah pada waktu sedang ramai-ramainya.

Hari itu, tidak ada lagi orang yang menjerit-jerit karena kehilangan anak. Tidak ada lagi orang yang terduduk sambil menangis tersedu-sedu akibat kehilangan dompet. Yang tampak hanya satu dua orang yang berjalan-jalan melihat-lihat pakaian yang disusun di teras toko lengkap dengan patung peraga alias mannequin. Mengamati sejenak, menyentuh ujung lengan baju yang dipajang, merasakan tekstur kainnya dengan ujung jari sambil acuh tak acuh dan kemudian berlalu.

Mengenai mannequin, Apa Cantoi ingat pernah ada amaran dari orang agama yang melarang patung peraga itu. Alasannya takut ada yang naik birahinya. Ada juga yang melarang pemasangan patung burung di sebuah persimpangan kota dengan alasan harus diberi nyawa. Ada juga yang mencemooh pemasangan patung besar sebuah biji dengan alasan patung itu tidak ada hubungannya dengan agama. Seharusnya yang dijadikan ikon itu adalah yang berhubungan dengan agama.  Patung hewan tidak boleh karena harus diberi nyawa. Patung tumbuhan tidak boleh karena tidak ada hubungannya dengan agama. Mungkin yang namanya patung tidak ada yang boleh. Mungkin yang boleh adalah patung agama. Bagaimana patung agama itu?  Mungkin patung benda-benda yang dapat dikaitkan dengan agama seperti patung sarung, patung lobe, patuh baju koko, patung sajadah, dan sebagainya.

Apar Cantoi ingat setiap Kamis bulan Ramadhan, pengunjung pasar berdesak-desakan. Tidak hanya perempuan; laki-laki pun banyak. Mereka bersenggolan, berhimpitan; berdesak-desakan di sana. Apa Cantoi ingat orang agama pernah mengusulkan agar perempuan dan laki-laki dipisahkan di sekolah. Kelas perempuan harus dibedakan dengan kelas laki-laki. Tidak ingin perempuan dan laki-laki disatukan dalam satu lokal. Jangan-jangan ada yang mengusulkan agar sekolah laki-laki dan sekolah perempuan dipisahkan. Tapi memang ada perguruan pendidikan yang memisahkan sekolah laki-laki dan sekolah perempuan di area berbeda. Bahkan ada yang hanya menerima siswa laki-laki saja. Ada juga yang hanya menerima siswa perempuan.

Sekolah asrama yang hanya menerima siswa laki-laki membuat para siswa tidak punya ekspektasi membuat diri menarik. Karena tidak ingin dilirik oleh siapapun. Pernah ada cerita pada sebuah sekolah asrama yang hanya menerima siswa laki-laki, ada seorang siswa yang rajin membuat diri menarik. Rupanya memang dia sedang membuat dirinya dilirik siswa lainnya. Sekarang dia sudah buka salon di kota besar.

Pada tempat-tempat pendidikan yang hanya menerima satu jenis kelamin, pernah terjadi beberapa kasus hubungan sejenis. Tidak ada ketertarikan atas lawan jenis. Tidak ada ekspektasi atas lawan jenis. Tidak ada bayangan. Karena dilihat saja hampir tidak pernah. Sebenarnya tempat-tempat yang terlalu mengisolasi satu jenis kelamin membuat kelainan orientasi seksual berpeluang muncul. Karena tidak ada orientasi dan ekspektasi pada lawan jenis. Uniknya banyak orang agama yang bernafsu memisahkan laki-laki dan perempuan sehingga tidak ada perjumpaan.

Kali itu, pengunjung pasar pakaian sangat lengang. Jangankan persentuhan laki-laki dan perempuan, persentuhan perempuan yang satu dengan perempuan yang lain saja mustahil. Apa Cantoi sendiri yang bersepeda, tidak perlu turun dan mendorong sepedanya. Dia bisa mendayungnya dengan kecepatan sedang. Udara panas menghantam wajah Apa Cantoi. Ramadhan itu adalah Ramadhan yang paling panas selama Apa Cantoi ingat.

Tujuan Apa Cantoi adalah ujung barisan kedai-kedai pedagang pakaian di atas irigasi. Di sana ada sebuah lapak yang memanaskan jagung dan beras menjadi jajanan yang disukai anak-anak. Jagung dimasukkan ke dalam sebuah wadah terbuat dari besi berbentuk bulat. Di bawahnya ada tungku api untuk memanaskan. Setelah segenggam jagung dimasukkan, wadah diputar dengan dipegang pada salah satu ujung wadah yang disangkutkan di atas dua sisi penyangga. Sekitar lima menit diputar di atas tungku api, terjadi ledakan keras yang menandakan jagung telah mengembang dan menjadi berwarna putih. Jagung yang tadinya segenggam menjadi satu kantung plastik. Karena meledak itulah jajanan tersebut disebut jagung meledak. Jajanan itu telah dijual sejak Apa Cantoi masih kecil. Bahkan mungkin generasi sebelum Apa Cantoi masih kecil juga sudah ada. Pedagang jagung meledak berjualan di kota-kota kecamatan pada hari pekan alias hari ramai-ramainya masing-masing. Kota Peusangan hari ramai-ramainya adalah hari Kamis. Jadi setiap Kamis dapat ditemukan lapak jagung meledak di Kota Peusangan.

Apa Cantoi ke tempat biasanya lapak jagung meledak digelar untuk memastikan apa memang benar hari itu adalah hari Kamis. Rupanya ada lapak jagung meledak hari itu. Jadi, tidak diragukan lagi, hari itu adalah Kamis. Seratus Persen pasti. Itu membuat Apa Cantoi semakin heran. Apa gerangan. Kenapa hari Kamis, bulan puasa pula, apalagi Kamis kedua terakhir, pasar lengang.

Apa Cantoi memarkir sepeda dekat sebuah lapak penjual parang. Dia duduk mengajak pedagang parang mengobrol. Pedagang parang bilang, dia tidak lagi berjualan pindah-pindah kota mengikuti hari pekan. Katanya setiap hari jadinya sama saja. Orang-orang tidak lagi ke pasar mengikuti hari pekan.

”Orang-orang sekarang bisa ke pasar kapan saja. Bahkan bisa ke pasar sehari dua sampai tiga kali sehari,” kata penjual parang.

Apa Cantoi paham bahwa itu karena hampir semua orang sudah punya sepada motor. Jadi setiap orang bisa ke mana saja, kapan suka.

”Dalam satu rumah kalau ada lima anggota keluarga,” tambah penjua parang, ”ada enam sepada motor.”

Itu memang sedikit hiperbolik. Namun pada banyak rumah, setiap anggota keluarga punya sepada motor.

fenomena tersebut tentu sangat berbeda dengan beberapa dekade sebelumnya. Orang-orang hanya bisa ke pasar dengan angkutan umum. Di Kota Peusangan, angkutan umum yang menjangkau pedesaan adalah Chevrolet pick-up.  Ke arah utara, angkutan itu menyediakan kursi dari kayu yang dipasang memanjang berhadap-hadapan. Orang-orang yang tidak mendapatkan bagian di kursi bisa berdiri di tengah-tengah. Ke arah pedesaan seberang sungai juga demikian. Sementara ke arah selatan lebih heroik. Chevrolet tipe Luv-nya tidak disediakan kursi. Orang-orang duduk pada dinding pickup. Penumpang pertama akan memilih bagian pojok antara dinding dengan pintu belakang itu adalah posisi paling aman mengingat pada posisi tersebut terdapat dua sisi. Tetapi posisi heroik itu tidak disukai perempuan. Perempuan yang naik pertama akan memilih pada sebuah gundukan yang dibuat tepat di atas ban belakang. Itu adalah posisi paling aman. Laki-laki tidak akan duduk di posisi itu karena nilai kejantanannya bisa merosot drastis. Sementara anak-anak lebih suka berada pada posisi depan, mereka bisa pegangan pada penyangga besi yang dipasang untuk melindungi kaca belakang kabin.

Bila hendak ke pasar, orang di ujung seperti Tanjung di selatan, Londanon di seberang sungai, dan Jangkar di utara bisa langsung ke tempat mangkal menuju Kota Peusangan. Lama mangkal hingga penumpang penuh atau bila tidak penuh waktu mangkalnya satu jam. Mobil tembak, yakni mobil yang fokus mengambil penumpang sepanjang jalan tidak boleh mengambil penumpang pada area mangkal. Penumpang penuh artinya sudah tidak muat baik duduk maupun berdiri. Lama perjalanan lebih satu jam. Pulang juga demikian. Jadinya sekali pulang pergi itu membutuhkan waktu hingga empat jam. Makanya bila hendak ke pasar, orang-orang memilih pergi pada hari pekan yakni Kamis.

Hari pekan itu banyak pedagang kaki lima berdatangan untuk membuka lapak.  jadinya hari pekan kalau hendak berbelanja ada banyak pilihan. Pada hari pekan juga diadakan pasar hewan. Ada area untuk perdagangan kambing, ada area untuk perdagangan ayam dan bebek, dan area perdagangan lembu. Itu adalah wilayah para bapak-bapak. Terkadang mereka yang akrab dengan hewan ternak, datang ke gelanggang hewan bukan untuk menjual atau membeli hewan, tetapi juga menjadi ajang bersilaturahmi, bertemu dengan orang-orang sefrekuensi dari kecamatan, bahkan kabupaten berbeda. Sementara pasar banyak ibu-ibu dan sedikit bapak-bapak. Anak gadis tidak akan mau ke pasar kecuali digandeng erat oleh ibunya. Itu pun masih ada pedagang ikan yang berani menggoda meskipun melalui cara yang lebih bersahaja. Anak laki-laki tidak suka ke pasar, apalagi pasar ikan. Menurut mereka tempat itu jorok. Harga diri mereka akan hancur bila diketahui teman-teman.

Apa Cantoi menuju arah jalan raya. Sebelah kanan ada beberapa bengkel sepeda motor. Salah satu bengkel namanya sama dengan sepeda motor Honda yang legendaris dan banyak dicari sebagai barang antik klasik yang tangguh. Seseorang memanggil Apa Cantoi di hadapan salah satu bengkel. Rupanya itu adalah Apa Randus. Jadinya Apa Cantoi ikut duduk sambil beristirahat. Tenggorokannya sudah kering. Tetapi sedang berpuasa. Apa Randus adalah saudara jauh Jusmadi. Jadi mereka membicarakan tentang Pak Jusmadi.

Kata Apa Randus, Jusmadi orangnya memang menonjol. Tetapi terlalu ikut campur urusan orang lain. Itu sudah terjadi sejak dia masih kecil. Apa Cantoi teringat, pantas saja Jusmadi terlalu menonjol di kampung.

”Kalau sudah ada Jusmadi,” kata Apa Randus, ”pasti sudah ada kumpul-kumpul orang.”

Apa Cantoi mencium gelagat bahwa Apa Randus punya sentimen pribadi atau mungkin mengetahui watak asli Jusmadi.

”Nanti ujung-ujungnya pasti ada program kumpul-kumpul uang,” tambah Apa Randus.

Apa Cantoi juga pernah mengetahui dari kabar burung, Jusmadi pernah terlibat masalah keuangan. Dulu sudah lama waktu dia kuliah. Tetapi kabar itu simpang siur. Ada yang mengatakan, itu adalah program bisnis multi level marketing. Ada yang mengatakan bahwa dia menipu orang. Tetapi Apa Cantoi tidak berani menanggapi.

Apa Cantoi lebih suka membahas kenapa pasar sepi meski minggu kedua terakhir lebaran. Apa Randus mengatakan itu karena hujan sudah lama tidak turun, sehingga target panen sebelum lebaran, tertunda hingga setelah lebaran.

”Bahkan di beberapa kawasan ada yang gagal panen,” kata Apa Randus.

Apa Cantoi mengiyakan saja pendapat Apa Randus. Karena memang setelah musim panen, masyarakat menjadi punya uang sehingga dapat ke pasar saat hari pekan. Perencanaan panen awal Ramadhan menjadi gagal akibat kemarau berkepanjangan. Sudah lama tidak hujan. Sehingga, masyarakat menjadi kehabisan uang. Berbeda dengan pasca panen bisa punya uang. Bahkan jaman sebelum Apa Cantoi sekolah di bawah Departemen Hukum, setiap pasca panen, diselenggarakan pasar malam pada tempat-tempat tertentu. Ada tong setan, ada komidi putar, panggung sandiwara,  ada banyak wahana permainan anak, dan lainnya. Bahkan ada layar tancap. Layar tancap sangat digemari, mengingat PHR sudah lama tutup. Bila ingin ke Gajah, perlu ke kota kabupaten.

Di kota Apa Cantoi, pagelaran panggung sandiwara berlangsung meriah, antusiasme warga cukup tinggi. Seperti orang Brazil yang tidak dapat dipisahkan dengan sepakbola, demikian warga di kota Apa Cantoi tidak bisa dipisahkan dengan seni. Pentas seni selalu disambut meriah. Bahkan desa Apa Cantoi sendiri telah banyak melahirkan seniman, mulai dari para seniman drama sandiwara, orkes, dan pembawa acara monolog. Belakangan ketika eksistensi televisi semakin masif, peminat pentas sandiwara semakin berkurang, sehingga banyak seniman yang melakukan pementasan sandiwara sekenanya sambil berjualan obat-obatan tradisional.

Pendapat Apa Randus ada benarnya. Uang memang menjadi sulit ketika panen tertunda atau gagal. Namun untuk urusan membeli pakaian lebaran, juga membeli perlengkapan sekolah anak memasuki tahun ajaran baru, orang daerah Apa Cantoi tidak surut. Karena, mereka telah menabung uang selama setahun. Sesulit apapun, uang untuk dua kebutuhan itu harus ada.

Setelah berbincang-bincang dengan Apa Randus, Apa Cantoi berencana pulang. Dia sengaja melewati jalan negara, namun karena hanya naik sepeda, Apa Cantoi ambil jalur berlawanan di pinggir. Pada sebuah jalan kota yang biasanya sangat padat dengan pengunjung saat hari Kamis, kali itu sangat lengang. Para pedagang juga tidak semuanya datang membentangkan dagangan seperti hari pekan sebelumnya.

Berjalan di Kota Peusangan tepatnya di Jalan Negara, Apa Cantoi tidak pernah lupa untuk sejenak melirik ke dalam toko Mars. Itu adalah toko yang menjual pakaian pria. Dulu waktu Apa Cantoi muda, setidaknya sekali dalam setahun, setelah menabung selama dua belas bulan, akan kesana untuk membeli celana jins, atau kemeja, atau kaos, atau celana dalam Hings, atau sandal, atau tali pinggang.

Di depan Mars, Apa Cantoi disambut senyum ramah dari seorang pria penjaga toko yang tampil rapi. Pedagang itu duduk di depan rak toko bagian luar.  Pedagang pakaian memang umumnya berpenampilan rapi mengenakan jins model terbaru dipadukan kaos oblong yang biasanya bergambar logo merek celana jins tertentu. Mungkin kali itu Apa Cantoi mendapatkan sambutan sangat hangat karena memang toko sedang sepi. Kalau sedang ada pelanggan, apalagi sedang ramai, tentu saja penjaga toko tidak dapat menyambut Apa Cantoi dengan sangat  hangat. Dia akan disibukkan melayani pelanggan.

Mendapatkan sambutan yang sangat hangat, Apa Cantoi tertarik untuk masuk ke dalam toko. Dia memarkir sepedanya tepat di samping tong sampah kayu berbentuk corong es krim dengan tutup dari kayu. Di atas tong itulah biasanya para penjaga toko duduk menunggu pelanggan. Sampah toko pakaian paling cuma plastik dan kardus.

Di dalam Mars, sebelah kanan adalah rak kaca tinggi satu meter berisi pajangan sandal. Ada Dodoni, School, Apache, Ardiles, Adidias, dan sebagainya. Biasanya sandal dan sepatu yang dipajang sebelah rebah, sebelahnya lagi tegak. Sebelah kiri adalah rak kaca yang sangat tinggi hingga dua meter setengah. Itu menutupi nyaris seluruh dinding samping hingga dinding belakang. Dibagi dua bagian, yakni bagian depan dipajang sepatu dan belakang adalah campuran celana dan baju. Di langit-langit digantung aneka jenis tas pakaian, termasuk tas paling ikonik adalah tas pakaian berjenis kain celana jins. Itu biasanya dipakai orang-orang yang pergi merantau atau sopir truk yang pergi berhari-hari. Juga dipakai nelayan pemburu ikan tuna  yang berhari-hari melaut ke area yang jauh dari pantai.

Bagian belakang juga merupakan rak kaca. Di dalamnya didominasi bajo kaos dan pakaian dalam. Celana dalam favorit adalah Hings. Warnanya putih. Mereka yang punya ekonomi lebih baik, akan membeli Hings dengan garis hijau pada logo merek pada kemasan. Itu biasanya disebut Hing Hongkong.

Saat melihat-lihat celana, Apa Cantoi tertarik dengan celana jins merek Favo. Itu adalah merek impiannya. Waktu kecil, Apa Cantoi pernah meminta dibelikan celana Favo, tetapi yang didapatkan adalah jins tiruan bermerek Favoo. Celana Favo pertama kali dilihat Apa Cantoi salat Jumat. Karena berdiri di saf paling belakang, anak-anak banyak pemandangan untuk dilihat, antara lain merek celana dan sarung orang-orang dewasa di depannya. Sejak saat itu Apa Cantoi sangat ingin memiliki celana Favo. Sayang sekali saat belum sekolah di bawah Departemen Hukum, meskipun pernah membeli beberapa merek celana, di antaranya Wrangler, Lea, Lee, dan Levi’s, tetapi belum sempat memiliki Favo.

Apa Cantoi sangat kagum dengan celana yang dibentangkan di atas rak kaca. Celana itu begitu macho. Warnanya biru dongker. Ada label merek dengan kain kecil berwarna merah dengan tulisan merek bewarna hitam yang dijahit pada kantong belakang sebelah kanan.

Harganya enam ratus lima puluh ribu rupiah. Sayang sekali. Apa Cantoi hanya punya lima ratus ribu rupiah. Dia permisi dan meminta maaf uangnya masih kurang.

Pemuda tampan rapi penjaga toko senyum dan berkata, ”Saya tunggu, sampai Apa kembali,”.

Apa Cantoi senyum dengan ungkapan yang dianggapnya basa basi itu.

”Celana ini akan saya simpan untuk Apa,” penjaga toko tampak serius.

”Kalau begitu simpan dulu ini,” jawab Apa Cantoi sambil menyodorkan lima ratus ribu rupiah.

”Jangan,” sanggah penjaga toko, ”nanti saja sekalian.”

Apa Cantoi tidak memaksa meskipun menurutnya uang itu lebih baik dititipkan ke Mars saja supaya tidak terpakai olehnya. Karena kalau memagang uangnya, Apa Cantoi takut akan habis.

 

Bersambung….

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

Baca Juga

Maharaja

“Bila sedang berada di puncak gunung, buatlah suara-suara yang merdu. Karena semua teriakan akan kembali padamu.” (Jalaluddin Rumi) Saya baru saja menonton film Maharaja yang

Sekuler

Beberapa hari lalu ada kuliah umum. Pembicaranya adalah seorang guru besar. Banyak wawasan baru yang didapatkan dari menyimak kuliah umum itu. Di antaranya adalah mengenai

“Pulitek” Orang Aceh: Politik Keterusterangan

Pengalaman-pengalaman serupa tentulah dapat kita temukan di berbagai kesempatan, bahwa dalam relasi sosialnya, terutama dalam dunia politik, keterusterangan merupakan tipikal dari orang Aceh.

Kisah Persahabatan di Balik Meja Kerja

Waktu terus berjalan, tetapi persahabatan dan kenangan di balik meja kerja itu tetap hidup dalam hati mereka. Meskipun jalan hidup membawa mereka ke berbagai arah, ikatan yang telah terbentuk selama bertahun-tahun tidak akan pernah hilang.

BUKAN DI TANGAN MPR

Malah, sekarang, kita lebih mengkhawatirkan kapasitas partai politik, yang lebih mengejar hasil instan elektoral dengan mengajukan pelawak sebagai calon wakil walikota.