Maharaja

“Bila sedang berada di puncak gunung, buatlah suara-suara yang merdu. Karena semua teriakan akan kembali padamu.” (Jalaluddin Rumi)

Saya baru saja menonton film Maharaja yang alur ceritanya membingungkan banyak orang. Entah apa pelajaran yang dapat dipetik dari film berdurasi lebih dua jam itu. Harus ada. Karena bila tidak, dua jam itu bisa dipakai bisa menyelesaikan satu paragraph LED borang, atau menulis artikel tentang filsafat Islam klasik sebanyak lima sampai sepuluh halaman.

Mungkin pelajarannya adalah, kita harus sadar bahwa sebenarnya every single person of us, sejatinya sendiri. Kesepian. Sebab itulah kita berkeluarga, bersosialisasi, bermasyarakat. Dengan harapan, hidup dapat menjadi bermakna. Namun dalam usaha mewujudkan kehidupan bermakna itu, terkadang kita menjadi terlalu posesif dan egois.

Banyak orang berani melakukan segala hal, termasuk yang mungkin melanggar, untuk membahagiakan keluarga. Padahal akhirnya setiap orang akan kembali pada kesepian. Terlempar. Sendiri. Kembali pada reset pabrik: Kesepian. Terkadang, itu semua dilakukan sebenarnya karena ketakutan akan dirinya sendiri menderita kesepian. Ini namanya egois. Misalnya mencuri untuk membahagiakan keluarga hingga akhirnya malah mengorbankan mereka.

Banyak orang terlalu takut akan keterlemparan akibat penghinaan, disepelekan, dicampakkan, diremehkan, direndahkan. Hingga bertekad mengumpulkan uang sebanyak-banyaknya. Bahkan terkadang hingga menghalalkan yang haram dan merugikan orang lain. Mereka lupa bahwa sejatinya every single person of us, datang dengan telanjang dan kembali dengan tangan kosong. Bahkan sebagian orang terlalu serakah hingga Tuhan harus mengingatkan melalui berbagai bentuk kemalangan.

Untuk film Maharaja sendiri, karena sering belajar sastra dan telah membaca banyak novel, dengan mudah saya dapat memahaminya. Perlu diketahui, film itu menganut tiga alur cerita yang ditayangkan secara acak. Masa muda, menjelang kejadian, dan setelah kejadian malam itu.

Mengenai pelajaran inti yang dapat dipetik dari film Maharaja, saya teringat Jalaluddin Rumi dalam Fihi ma Fihi pernah mengingatkan, agar manusia pada setiap tindakan dalam kehidupan di dunia, harus sadar bahwa dirinya seperti berteriak di atas puncak gunung: ” Karena semua teriakan akan kembali padamu.’

Baca Juga

Sekuler

Beberapa hari lalu ada kuliah umum. Pembicaranya adalah seorang guru besar. Banyak wawasan baru yang didapatkan dari menyimak kuliah umum itu. Di antaranya adalah mengenai

Kamis Kedua Terakhir (Bagian Pertama)

  Saat duduk di teras depan rumahnya, Apa Cantoi mengenang hari lebaran yang telah lewat beberapa hari lalu. Dia ingin sekali kembali pada hari-hari yang

“Pulitek” Orang Aceh: Politik Keterusterangan

Pengalaman-pengalaman serupa tentulah dapat kita temukan di berbagai kesempatan, bahwa dalam relasi sosialnya, terutama dalam dunia politik, keterusterangan merupakan tipikal dari orang Aceh.

Kisah Persahabatan di Balik Meja Kerja

Waktu terus berjalan, tetapi persahabatan dan kenangan di balik meja kerja itu tetap hidup dalam hati mereka. Meskipun jalan hidup membawa mereka ke berbagai arah, ikatan yang telah terbentuk selama bertahun-tahun tidak akan pernah hilang.

BUKAN DI TANGAN MPR

Malah, sekarang, kita lebih mengkhawatirkan kapasitas partai politik, yang lebih mengejar hasil instan elektoral dengan mengajukan pelawak sebagai calon wakil walikota.