Sukidi: Karakter Dasar Islam, Lapang dan Toleran 

Cendekiawan Muslim, Sukidi, mengatakan ibadah haji seharusnya mampu melahirkan sosok Muslim yang teguh dalam menaati perintah Allah, memiliki jiwa yang lapang dan toleran, ketimbang sekadar sebagai ritual ibadah tahunan belaka. Itulah teladan yang harus dicontoh dari kisah Nabi Ibrahim dahulu. 

“Ibadah haji adalah momentum yang tepat untuk menapaktilasi hanif-nya Nabi Ibrahim; bagaimana ia teguh sekaligus pasrah dalam menjalankan perintah Tuhan.” Demikian diungkapkan Sukidi saat menjadi narasumber pada Program Khazanah Islam dengan tajuk “Menjadi Muslim yang Baik” di Metro TV, Jakarta, Minggu (10/7/2022).

Selain keteguhan dalam beribadah, Sukidi menambahkan, spirit keberagamaan yang lapang dan toleran juga perlu digelorakan terus menerus di tengah sikap beragama sebagian masyarakat Muslim yang cenderung eksklusif dan sektarian. “Umat Islam kurang begitu menjiwai spirit Nabi Ibrahim tentang keberagamaan yang hanif,” tegasnya. 

Karena itu, kesadaran beragama sebagaimana dicontohkan Nabi Ibrahim harus terus dikumandangkan ke segenap umat Islam.

Kader Muhammadiyah itu merujuk pandangan Thabari ketika menguraikan arti kata “hanif” yang ia sebut memiliki beragam makna: yakni sebagai “mustaqiman/ beragama dengan jalan yang lurus,” dan “mukhlishan/seorang yang memiliki keikhlasan penuh ketika beribadah kepada Tuhan,” seperti ditafsirkan oleh Muqatil bin Sulaiman, mufasir terkemuka di era awal Islam.

“Apalagi, Nabi pernah berkata, bahwa ‘ahabbuddin ilallah al-hanifiyyatus samhah’/ agama yang paling dicintai Allah adalah agama yang lurus dan toleran,” tambahnya. Hadis di atas, kata Sukidi, merupakan penegas bagi umat Islam agar bertenggang rasa dalam beragama. “Yakni memberikan ruang kebebasan kepada yang lain untuk menjalankan agama dan keyakinannya masing-masing.”

Menurut Sukidi, agama yang lapang dan toleran ini penting untuk ditegaskan karena telah menjadi karakter dasar Islam yang sejati. “Islam dapat berkembang menjadi agama dunia, agama peradaban, dan agama yang dipeluk oleh miliar orang,” Sukidi menambahkan, “karena spiritnya yang memberikan toleransi kepada segenap umat yang berbeda agama dan keyakinan.”

Pesan penting lainnya dari pelaksanaan ibadah haji ialah spirit kesetaraan yang terkandung dalam Pidato Perpisahan Nabi Muhammad. Pemikir Kebinekaan itu menguraikan, Nabi dengan tegas menyampaikan bahwa martabat, kehormatan, dan harta merupakan elemen paling utama dalam hidup manusia yang tidak boleh dinista oleh siapa pun. 

“Setiap kita berhak diperlakukan secara adil dan setara sebagai manusia,” tegasnya. Pesan utama yang disampaikan Nabi ketika wukuf di Arafah itu harus menjadi pedoman hidup masyarakat Islam di Indonesia yang sangat bineka dari sisi agama, ras, etnis, suku, dan budaya.

Sukidi juga mendorong umat Islam agar meneladani spirit Piagam Madinah yang digagas Nabi ketika membangun peradaban baru di Kota Yatsrib pada tahun 622 M. Doktor lulusan Universitas Harvard itu menilai penting untuk meneladani perjanjian yang lahir demi menjamin kesetaraan, kebebasan, dan perdamaian di antara suku, agama, etnis, dan ras yang berbeda-beda di wilayah itu. 

Dalam konteks Indonesia yang bersmboyan Bhinneka Tunggal Ika, sudah selayaknya umat Islam menjiwai spirit kemajemukan, yakni fakta bahwa Tuhan menciptakan manusia dengan latar yang berbeda-beda, tetapi setara dalam hal apa pun. “Hanya ketakwaan yang membedakan satu dengan yang lainnya,” tegasnya. “Sedangkan hanya Tuhan yang tahu siapa di antara kita yang paling bertakwa.”

Di segmen terakhir dialog itu, Sukidi mengharapkan umat Islam untuk menjunjung tinggi sikap rendah hati yang memudar dari kehidupan sehari-hari. Dengan sikap rendah hati itu, seorang akan menjadi Muslim yang baik, mampu memberikan respek yang setara ke semua manusia, dan bersedia bersikap tepo seliro kepada yang lain. 

“Dengan meneladani Quran dan Sunnah, kita akan menjadi Muslim yang baik, dan otomatis menjadi warga negara yang baik,” tegas Sukidi. “Karena kita berpegang teguh kepada ajaran Islam.”

Tradisi memberikan respek yang setara inilah yang harus selalu dijunjung tinggi dalam kehidupan sehari-hari. Praktiknya ialah dengan cara memberikan sikap hormat kepada siapa pun secara setara dan adil, tanpa pandang bulu.

Baca Juga

“Pulitek” Orang Aceh: Politik Keterusterangan

Pengalaman-pengalaman serupa tentulah dapat kita temukan di berbagai kesempatan, bahwa dalam relasi sosialnya, terutama dalam dunia politik, keterusterangan merupakan tipikal dari orang Aceh.

Kisah Persahabatan di Balik Meja Kerja

Waktu terus berjalan, tetapi persahabatan dan kenangan di balik meja kerja itu tetap hidup dalam hati mereka. Meskipun jalan hidup membawa mereka ke berbagai arah, ikatan yang telah terbentuk selama bertahun-tahun tidak akan pernah hilang.

BUKAN DI TANGAN MPR

Malah, sekarang, kita lebih mengkhawatirkan kapasitas partai politik, yang lebih mengejar hasil instan elektoral dengan mengajukan pelawak sebagai calon wakil walikota.

MEKKAH YANG DEKAT

Mekkah adalah tanah impian. Semua muslim mendambakan menginjakkan kaki di sana. Dari Mekkah, tempat di mana sakralitas ibadah haji dilakukan, cerita mengenai hubungan muslim dengan Tuhan dan masyarakatnya bermula.

Menyoal Frasa Wali Keramat dalam Cerpen Ada Sepeda di Depan Mimbar

Namun, pada poin kedua, di sini, imajinasi Khairil Miswar sama sekali bertolakbelakang dengan imajinasi saya. Gambaran imajinatif sosok Teungku Malem yang dianggap wali keramat, namun dia menghasut Tauke Madi untuk tidak lagi memperkerjakan orang yang tidak salat, bukan main anehnya