Masjid Azizi Kubah Hitam, Saksi Bisu Sejarah Langkat

Sejarah Masjid

Mesjid Azizi Kubah Hitam didirikan oleh Sultan Abdul Aziz Abduldjalil Rahmat Shah yang memerintah Negeri Langkat pada tahun 1897-1927 M. Beliau adalah Sultan Negeri Langkat. Sultan Langkat sebelumnya bernama Sultan Haji Musa Al-Khalidy Al-Mu’azam Shah yang memerintah Negeri Langkat pada tahun 1830-1897 M.

Setelah beliau mangkat, anak beliau yang bernama Tengku Abdul Aziz ditabalkan menjadi Sultan Negeri Langkat. Pada masa pemerintahan Sultan Haji Musa, rakyat Negeri Langkat hidup dalam keadaan damai. Suku melayu yang terkenal dengan sifat lapang dada dan murah hati telah menyebabkan banyak suku bangsa lain datang dan menetap di daerah Langkat serta mendapat layanan yang baik dan mempunyai mata pencarian yang memadai.

Sebagai anak negeri putera Langkat, mereka melengkapi diri dengan ilmu dan kekuatan demi menjaga diri keluarga, harta dan marwah bangsa Melayu.

Sultan Haji Musa berkawan dengan seorang alim, wara’ dan zahid yaitu Syech Haji Abdul Wahab Rokan Al-Khalidy Naqsabandy. Sultan Haji Musa berguru masalah tarikat pada gurunya Syech Haji Sulaiman Zuhdi di Djabal Qubis pada tahun 1869-1871 M dan mendapat title khalifah serta kembali ke Tanjung Pura membangun rumah suluk yang dilengkapi dengan ruangan untuk sembahyang berjama’ah. Pada masa itulah beliau mewakafkan tanah seluas 113 Hektar di Basilam untuk pengembangan ilmu agama Islam kepada Syech Haji Abdul Wahab Rokan Al-Khalidy Naqsabandy (yang dikenal dengan sebutan Tuan Guru Babussalam Langkat).

Saat itu, ramai orang datang ke Tanjung Pura karena rajanya terkenal saleh dan pemurah. Semenjak beliau menjadi khalifah, misi dari Sultan Langkat lebih mengutamakan pendidikan agama serta syiar Islam lebih disemarakkan.

Sultan Haji Musa mangkat pada tahun 1897 dan disemayamkan di maqam yang telah diwasiatkannya dan sekaligus beliau berwasiat agar membangun sebuah masjid di samping maqamnya.

Ayahandanya takluk di bawah pemerintahan dengan daerah kekuasaan sebelah timur berbatasan dengan Deli dan Karo, sebelah barat berbatasan dengan Aceh dan Selat Malaka.

Pada tanggal 12 Rabiul Awal 1320 H, Sultan Abdul Aziz mendirikan sebuah Masjid Raya yang dinamai Masjid Azizi. Pada waktu itu bangunannya termasuk modern dan dapat menampung ribuan jama’ah serta sampai kini masjid ini terlihat masih berdiri dengan megahnya dan menjadi kebanggaan bagi masyarakat daerah Langkat.

Dalam konsep pembangunannya Masjid Azizi memadukan lima unsur kekuatan sebagai filosofinya yaitu:

  1. Kekuatan ulama
  2. Kekuatan cerdik pandai/zu’amah
  3. Kekuatan orang kaya atau aghniya’
  4. Kekuatan fakura/do’a

Pada tahun 1331 H baginda mendirikan perkumpulam agama yang bernama Al Jamiatul Mahmudiyah Litholabil Khairiah. Atas usaha beginda didirikan juga sebuah madrasah agama di bekas istana almarhum ayahandanya Sultan Haji Musa dengan nama Madrasah Maslurah. Tidak lama kemudian dibangun pula di sampingnya sebuah asrama pelajar yang kemudian dijadikan tempat pengajian tingkat tsanawiyah dengan nama Madrasah Aziziah. Mata pelajaran seluruhnya dalam bahasa Arab dengan guru-gurunya terdiri dari alim ulama dan sebagian besar tamatan Makkah dan Kairo.

Madrasah Maslurah dan Madrasah Aziziah terkenal pada zamannya karena banyak mengeluarkan alim ulama dan cerdik pandai yang terkenal, salah satunya Haji Adam Malik yang pernah menjadi menteri luar negeri dan Wakil Presiden Republik Indonesia.

Masjid berfungsi sebagai cermin dari raja dan rakyatnya di mana masjid itu berada. Masjid Azizi yang dibangun oleh Sultan Langkat ini jauh lebih bergerun (anggun) dari istana raja. Ini menunjukkan bahwa Sultan Langkat benar-benar bertaqwa dan ingin mempersatukan ulama dan umara secara harmonis. Di antara ulama-ulama tersebut ada yang dikirim belajar ke Makkah dan Mesir untuk memperdalam ilmu agama Islam atas biaya kerajaan.

Wasiat Sultan Abdul Aziz sebelum beliau mangkat, agar masjid yang telah dibangun digunakan untuk jama’ah salat sebanyak lebih kurang 2000 orang.

Biaya pendirian masjid ini menghabiskan 200.000 Dolar Singapura pada waktu itu. Arsitektur masjid bernuansa Timur Tengah dengan kaligrafi yang begitu indah yang khusus dirancang untuk menunjukkan tingginya budaya Islam pada masa itu.

Kubah Masjid Azizi dibuat dari tembaga sedangkan lampu gantung terletak di dalam masjid untuk jamaah dan menyemarakkan syiar Islam serta pintunya harus terbuka selama 24 jam dan nazir masjid haruslah selalu dari anak lelaki keturunannya.

Penyebaran Islam di Langkat

Agama Islam berkembang di Langkat sejak awal sekali, tidak berapa lama setelah masuknya agama Islam ke bumi Nusantara melalui Pasai di Aceh.

Pendiri Langkat, raja pertama, Dewa Syahdan berasal dari pantai berbatasan dengan Aceh dan sudah memeluk agama Islam sejak lahirnya. Dewa Syahdan sendiri penganut agama Islam yang taat dan berguru kepada ulama Tuan Syekh Imam Sadik bin Abdullah yang wafat di Goeri pada tahun 1590.

Walaupun Raja Dewa Syahdan beragama Islam tetapi beliau tidak memaksakan rakyatnya untuk mengikutinya, ini dibuktikan dengan memberikan kebebasan kepada masyarakat terutama yang berdiam di hulu dan pegunungan yang umumnya memeluk agama Perbegu.

Agama Islam menjadi agama resmi di Langkat. Hubungan kerukunan masyarakat sangat tinggi, saling menghormati dan mereka semua terikat ketat dengan adat istiadat.

Perkembangan pesat agama Islam di Langkat dimulai pada abad ke 19 di bawah pemerintahan Sultan Musa. Peningkatan dakwah dan pendidikan ini tak terlepas dari peran Tengku Hajjah Maslurah, isteri Sultan Musa yang juga sepupunya.

Tengku Maslurah bergiat mengembangkan agama Islam dengan berbagai cara. Beliau ingin rakyat Langkat benar-benar melaksanakan ajaran agamanya dan bukan hanya sekadar nama saja.

Keinginan Tengku Maslurah sederhana saja, semakin seseorang mengetahui agama Islam tentu semakin banyak orang yang baik dan semakin sedikit orang yang berbuat jahat seperti maksiat, dengki, fitnah, khianat dan guna-guna yang masih sering terjadi di masyarakat. Jika rakyatnya damai tenteram maka semakin mudahlah mewujudkan kemakmuran.

Seperti diketahui telah lama sekali langkat dalam keadaan huru-hara kekacauan perebutan kakuasaan antar kedatukan, berontak kepada raja, maka sebagian orang memperkuat dirinya dengan ilmu-ilmu takhayul, ilmu kebal, guna-guna yang membuat mereka menjadi berani serta nekat. Keadaan inilah yang dirisaukan Tengku Maslurah karena banyak orang yang tak berdosa menjadi korban ilmu-ilmu syaitan.

Tengku Maslurah ingin mengubah situasi ini yang tentu saja tidaklah mudah. Mengubah keadaan ini harus hati-hati jika mau berhasil, karena jika salah akan terjadi huru-hara, saling fitnah dan saling serang ilmu mistik dan yang sudah tentu menjadi korban adalah masyarakat awam.

Untuk mencapai cita-cita mulia ini diperlukan kesabaran, kecerdikan, keberanian serta tawakkal. Agar berhasil maksudnya maka Tengku Maslurah mengajak suaminya mendalami Islam, beribadah dengan tekun dan tulus. Harapan Tengku Maslurah sangat jitu, jika raja dan permaisurinya selalu beribadat dan selalu berbuat kebaikan maka tentulah rakyat akan meniru dan mengikutinya.

Perubahan tingkah laku santun menurut ketentuan agama ini berkembang ke seluruh negeri Langkat, maka suasana tenang tenteram mulai dapat dinikmati dan tentu pembangunan negeri Langkat semakin mudah dilakukan seperti pembangunan infrastruktur jalan dan jembatan. Pembangunan sampai ke hulu seperti jembatan Namo Ukur.

Untuk dapat segera mewujudkan pedalaman agama Islam bagi masyarakatnya maka dicarilah guru-guru yang mashur untuk datang ke Langkat. Mulanya hanya mengajar di istana tetapi atas permintaan orang banyak maka dibenarkanlah mengajar di luar istana.

Di antara guru yang diundang mengajar di Langkat tercatat Syech Muhammad Nur da. kemudian Tuan Syech Baki dari Batubara. Tuan Syech Wahab Rokan dan Tuan Syech baki dimakamkan di Besilam.

Tuan Syech Muhammad Nur dan Tuan Syech Baki inilah yang banyak berjasa menyadarkan masyarakat yang selama ini kental dengan ilmu hitam untuk segera bertobat dan meninggalkannya.

Pekerjaan yang tidak mudah yaitu mengubah kepercayaan selama ini yang merasa paling kuat ternyata tidak ada apa-apanya di sisi Allah SWT.

Kemudian Tengku Maslurah mendatangkan guru lagi yaitu Tuan Syech Muhammad Yusuf bin Syech Muhammad Tahir berasal dari Minangkabau. Tuan Syech Muhammad Yusuf lebih dikenal dengan nama Tok Ungku. Beliau diangkat menjadi Mufti Kesultanan Langkat.Tok Ungku semasa hidupnya sangat dihormati karena wara’ dan kepakarannya dalam ilmu keislaman.

Tok Ungku salah satu bintang guru-guru termashur di Langkat, maka ramailah orang dari luar Langkat datang berguru.

Kewarara’an Tok Ungku dalam melaksanakan ibadah serta kehidupannya sehari-hari membuat dia sangat dihormati sampai-sampai dikeramatkan.

Tok Ungku mengajar di Masjid Tanjung Pura dan muridnya terus bertambah berdatangan bukan saja dari kampung-kampung di Langkat tetapi dari luar seperti Mandailing, Minangkabau, Siak dan Malaya. Karena ramainya yang datang dari luar Langkat maka Tengku Maslurah memberikan beras gratis kepada orang yang belajar dan membangunkan rumah maktab untuk tempat tinggal selama belajar.

Ramainya pemburu ilmu datang ke Langkat karena banyaknya ulama andal yang menetap di Langkat serta kontinu memberikan ilmunya kepada siapa saja, termasuk menuntut ilmu ke Tuan Guru Syech Wahab Rokan di kampung Besilam.

Tok Ungku wafat di Langkat 21 Rajab 1323 dan dimakamkan di kompleks pemakaman Masjid Azizi Tanjung Pura di sisi makam keluarga Sultan Langkat.

Menantu Tok Ungku bernama Syech Muhammad Taib merupakan imam yang Masyhur di Masjid Azizi bersama Tuan Syech Haji Muhammad  Nordin bin Haji Umar. Putera Tok Ungku bernama Haji Muhammad Nur merupakan imam utama di Masjid Azizi.

Kemudian atas nasihat para ulama dan juga karena sudah berilmu serta taat beribadat ditambah lagi suasana keamanan negeri Langkat dapat dikendalikan maka pada tahun 1881 atau 1298 tahun Hijriah berangkatlah Sultan Musa bersama permaisuri dan keluarga termasuk putera-putera menunaikan rukun Islam yang ke lima, ibadah haji ke Makkah al Mukarramah.

Di tanah suci Sultan Musa berguru kepada Tuan Syech Muhammad Yunus, guru yang masyhur di tanah suci berasal dari Batubara Sumatera Utara. Tuan Syech Muhammad Yunus adalah guru dari Tuan Syech Wahab Rokan Tuan Guru Besilam.

Murid-murid yang sudah tamat belajar dan sudah mendapat rekomendasi dari Tuan Guru dikirim ke penjuru Langkat untuk memberikan ilmu kepada masyarakat yang sudah lama merindukan ilmu keislaman. Sejak itu berkembanglah Islam di Langkat dengan cara yang benar melalui ulama-ulama muda yang sangat disayangi dan dihormati masyarakat sehingga ramailah orang yang mendalami agama dan belajar membaca Al-Quran.

Diperkenalkanlah fardu ain, fardu kifayah, kemudian perukunan dan ilmu tauhid. Bagi masyarakat dewasa diperkenalkan tariqat Naksabandiyah. Banyaklah yang mengikuti terlebih setelah Sultan Musa sebagai kepala negara ikut bersuluk. Semakin ramailah orang mengikuti tariqat dan dirasakan perubahan yang sangat besar dalam kehidupan masyarakat Langkat. Semua orang bisa mengaji, terlebih lagi jika berdiam di Tanjung Pura karena dekat dengan banyak ulama, maka setiap orang Tanjung Pura dianggap orang berilmu dan pandai mengaji. Para orang tua tak ingin anaknya tidak berilmu, maka semua anak terutama di Tanjung Pura wajib masuk pendidikan Islam di maktab.

Suasana ini pernah penulis rasakan pada masa remaja dan masih dirasakan suasana belajar di maktab sore hari, mendengar pembahasan ilmu kitab dari ulama di masjid setelah salat Magrib.

Baginda Sultan Musa bersama permaisuri sangatlah menghormati ulama, setiap ada terdengar nama ulama di negeri lain, maka mereka berusaha mendatangkannya untuk bersedia menetap atau mengajar walau sementara saja.

Walaupun metode pengajaran agama pada masa itu tidak seperti sekarang ini dengan cara modern tersedia buku-buku dan bahan rujukan lainnya, tetapi pada masa itu dirasakan sekali perubahan tingkah laku masyarakat yang semakin santun saling menghormati, jauh dari perbuatan keji, dengki, hasut dan mengguna-gunai. 

Editor: Khairil Miswar

Baca Juga

Melampauai Integrasi Ilmu: Dari Jamiah Baiturrahman Ke Jamiah Khairiyah

Setelah Jamiah Baiturrahman, lebih dua ratus masyarakat tidak belajar ilmu-ilmu umum. Barulah setelah kehadiran Tuanku Raja Keumala, Jamiah Khairiyah mampu menghadirkan kembali kajian-kajian ilmu-ilmu umum berbarengan kajian ilmu-ilmu agama yang melampaui integrasi ilmu. Namun itu belum cukup untuk mengembalikan semangat untuk kembali menjadi masyarakat yang terbuka, modern, dan kosmopolit. Dampak perang melawan Kolonial Belanda berkepanjangan, ditambah tidak belajar ilmu-ilmu umum sudah sangat lama, masih terasa hingga kini.

Cermin dan Kehidupan: Melihat Kualitas Diri dalam Setiap Pantulan

Ketika kita berusaha untuk memahami dan menjelaskan tentang dunia luar, kita ternyata justru sedang memproyeksikan keyakinan, pengalaman, dan nilai-nilai yang kita hidupi…. Kita bukan menilai dunia apa adanya, tetapi dunia sebagaimana yang kita yakini. Inilah mungkin, mengapa kita perlu untuk sesekali mencoba melihat dunia dari perspektif orang lain.

Biografi Hamzah Fansuri

Hamzah Fansuri lahir sekitar pertengahan abad ke-15 pada periode akhir Samudra Pasai. Beliau mengenyam pendidikan pada Zawiyah Blang Pria. Kemudian hijrah ke Singkil dan mengajar pada lembaga pendidikan di sana. Tidak lama kemudian, melalui Barus, Hamzah Fansuri bertolak ke Timur Tengah untuk menuntut ilmu. Kembali ke Aceh, Hamzah Fansuri menetap di Fansur yakni Ujong Pancu, Peukan Bada, Aceh Besar.

Ragam Orientasi Bahasa Indonesia (Asal Usul Bahasa Persatuan)

Karya ilmiah Sutan Takdir Alisjahbana seperti Perkembangan Sejarah Kebudayaan Indonesia Dilihat dari Segi Nilai-Nilai  telah menunjukkan tentang bagaimana bahasa Indonesia sangat mampu menjadi sarana penulisan ilmiah. Penulisan ilmiah yang membuktikan kompatibilitas tinggi bahasa Indonesia sebagai sarana penulisan ilmiah selanjutnya juga dapat dilihat dalam karya Ignas Kleden, Sikap Ilmiah dan Kritik Kebudayaan. Tulisan ilmiah tentang agama juga ditulis oleh Sutan Takdir Alisjahbana yakni Pemikiran Islam dalam Menghadapi Globalisasi dan Masa Depan Umat Manusia. Karena memang bahasa Indonesia yang dulunya dalam format bahasa Melayu telah digunakan oleh Hamzah Fansuri, Syamsuddin Al-Sumatrani, Abdurrauf Al-Singkili, dan lainnya, telah sangat baik menjadi sarana komunikasi literatur agama.