Pada tahun 1985, Gayatri Chakravorty Spivak, mengeluarkan gugatan kontroversi dengan mengajukan pertanyaan, Can the Subaltern Speak? Dapatkan orang-orang yang dipinggirkan, berbicara? Dapatkan manusia yang selama ini dijadikan sebagai warga pinggiran, orang-orang termarginal, mereka yang jauh dari pusat ibukota, mereka yang dicap sebagai “mantan orang jahat,” dan siapa saja yang tersubordinasi oleh kuasa, oleh defenisi dan oleh politik, berbicara? Lalu ia menjawab sendiri pertanyaan itu, The subaltern can’t speak, orang-orang yang terpinggirkan tidak dapat berbicara, sama sekali.
Gugatan ini, kemudian menginspirasi Leela Gandhi (1998) untuk menyusun suatu metodologi dan paradigma poskolonial versinya sendiri dalam buku berjudul Postcolonial Theory a Critical Introduction. Subaltern-nya sendiri. Menurut Leela, tidak ada yang dapat memutus negeri bekas jajahan kolonial dari sejarah masa lalunya. Tidak perdamaian, dan tidak pula kemerdekaan yang baginya hanyalah kosmetik.
Kita hidup dimasa di mana implikasi kolonial yang berabad selalu menjadi santapan harian, membuat hidup menjadi sulit, memaksa untuk berada dalam posisi tersubordinasi oleh Barat. Kita selalu tertinggal, tergantung, dan seolah tidak ada yang perlu bertanggungjawab atas kekacauan yang terjadi di masa lalu. Padahal, kata Leela, Tidak boleh ada amnesia terhadap apa yang telah dilakukan oleh kolonialis, atas nama apa pun, walau itu berarti atas nama “kemerdekaan,” walau itu atas nama “perdamaian,” seperti yang terpampang di depan pos-pos militer itu. Padahal menurut Leela, sejarah kolonial harus dibuka selebar-lebarnya sampai kepada apa dan siapa yang membuat kolonial “tergoda” untuk menancapkan kuku.
Hari ini, kita dikendalikan secara terpusat. Ragam aturan dan seragamisasi serta standarisasi warisan kolonial dipaksakan. Padahal setiap daerah memiliki persoalan sosial politik dan budaya yang berbeda satu sama lain. Akibatnya nyaris sama seperti apa yang disebabkan oleh kolonialisme, ketimpangan sosial, kekacauan dan konflik tidak berkesudahan. Imbasnya, kemiskinan, kekerasan terhadap perempuan, dan lesunya ekonomi. Akibat laten lainnya, ketergantungan.
Bahkan di saat pandemi, ketergantungan tersebut terlihat dari ketidakberdayaan menangani pandemi secara mandiri. Pilihannya, lebih condong pada ketundukan akan titah WHO dan negara-negara Barat dengan segala nilai politik kolonial. Di Indonesia, varian-varian alternatif vaksin corona nyaris dibrendel, alternatif sosio-kultural pun nyaris tidak mendapat tempat. Pendekatan yang dipilih dan dibakukan, kesehatan versi WHO, pendisiplinan tubuh dan pengerahan militer. Kita bangsa Timur, bekas jajahan kolonial, tak pernah lepas dari tetek bengek kolonialitas.
Di Aceh, ketergantungan paling kentara jelas dari sejak sebelum pandemi muncul. Ketika mantan kombatan dan pejabat Aceh rajin sowan ke Jakarta, curhat pada sang “tuan,” mengenai temannya yang bandel. Apakah mereka mantan GAM garis poskol atau atau garis neolib tidak ada yang tahu, kecuali narasi perdamaian Aceh telah dikontrol secara ketat oleh Jakarta.
Subaltern Studies
Maka, untuk menggali sejarah poskolonial, para “oksidentalis” sejak Edward Said sampai Spivak mencoba menggagas paradigma perlawanan yang mereka sebut sebagai subaltern. Untuk subaltern sendiri, Leela Gandhi meramunya dengan cara yang lebih metodologis. Lalu bagaimana Aceh dilihat dari perspektif subaltern Leela Gandhi?
Maka di Aceh, subaltern studies harus menjadi kajian yang lebih serius berkenaan dengan historiografi kaum elite secara utuh dan jujur, tanpa dilandasi oleh tekanan dan rasa takut. Selama ini, sejarah Aceh cenderung ditutup-tutupi di bawah puing-puing berdamaian.
Belanda bahkan cuci tangan dari kekerasan yang dilakukan dengan menyerahkan kedaulatan Aceh sepenuhnya kepada Indonesia, sebuah model kedaulatan yang porak-poranda. Begitupun Indonesia (persisnya Jakarta), tidak ada tindak lanjut bagi pelaku kekerasan selama perang dan konflik. Seolah, tugas kita adalah tutup mulut dan meminum obat pikun supaya kepahitan-kepahitan masa lalu yang sampai hari ini dirasakan akibatnya, tidak usah diingat-ingat lagi. Tidak usah diungkit-ungkit lagi.
Lalu bagaimana akademisi dan intelektual Aceh dapat berbicara secara subaltern? Bagaimana mereka dapat memastikan diri cukup representatif bukan sekadar otoritatif untuk memahami subaltern? Bagaimana seorang akademisi dapat menjadi subaltern sejati atau ia hanya merupakan kelanjutan dari gaya berpikir kolonial? Apakah akademisi hanya meneruskan apa yang telah dilakukan oleh Snouck Hurgronje? Melihat Aceh dari perpanjangan tangan proyek NGO, BRR, atau apa pun itu yang hari ini terlihat semakin receh? Melakukan penelitian yang sudah ada kesimpulan dan hasil sejak dari pikiran, bahkan sebelum diketik?
Dimana kita harus berdiri dalam proyek subaltern ini? Apakah di bagian anti-subalternitas yang telah lama, mapan dengan keadaan yang tenang? Atau berdiri di antara epistemologi kerapuhan, melakukan refleksi diri, melakukan analisis historis (melalui pisau psikoanalisa) sembari mencari solusi atas implikasi-implikasi yang ditimbulkan oleh kekerasan di masa lalu. Kita harus berani menunjuk hidung siapa saja yang telah bertanggungjawab atas kerusakan di masanya, yang hari ini implikasi-implikasi pahitnya menjadi hantu yang terus membayang-bayangi. Kita juga harus berani menunjuk hidup mereka yang telah mengundang “kolonial,” sehingga tergoda untuk datang.
Poskolonial juga berarti menguak kembali sejarah kelam yang terkubur di atas “bangunan rapuh” yang bernama perdamaian, membuka hubungan yang bermasalah dan melihat asal usul dan sebab musabab terjadinya penindasan. Bagaimana asal usul kemunculan kejahatan kepada manusia Aceh? Apa saja faktor-faktor yang memunculkan penindasan itu dan siapa saja yang bertanggung jawab karena telah mengundang para penindas.
Poskolonalisme dalam alam pikiran manusia Aceh adalah respons dan konseptualisasi atas poskolonialitas yaitu keadaan-keadaan rumit yang ditimbulkan oleh masa lalu, akibat penindasan dan keterjajahan, baik oleh Belanda maupun oleh Jakarta yang membuat Aceh sulit untuk bangkit dan berkembang. Padahal, poskolonial sangat berguna untuk mengingat-ingat ulang, membuka kembali dan menyelidiki sejarah penindasan, dan memastikan peta posisi antara penindas dan yang ditindas. Tujuannya, supaya diketahui bagaimana pola kekerasan itu dilakukan setiap fase dan sepanjang masa, sehingga di masa depan ia tidak terjadi lagi, selamanya.
Kita mengalami pesimisme politik yang akut dimana atas nama perdamaian, kebebasan menjadi terikat. Di mana-mana kita diawasi dan dengan mudah dicurigai. Awalnya oleh razia masker, surat-surat himbauan yang ditujukan kepada Gubernur dan Bupati, lalu oleh CCTV bulat di simpang empat, dan selebihnya oleh aplikasi dan barcode.
Di masa damai, kita diminta untuk melupakan masa lalu, tapi orang yang meminta itu malah tidak pernah lupa dan mengimajinasikan kita sebagai mantan kriminal. Kita selalu dicurigai dan dianggap memiliki potensi jahat oleh orang-orang yang telah berbuat jahat kepada diri kita.
Aceh, atas nama perdamaian, terlena menerima dana otonomi khusus dan berbagai keistimewaan yang membuat berdebar karena sebentar lagi habis. Aceh mengalami gejala amnesia poskolonial dengan menciptakan Aceh Baru, yang katanya terbebas dari ingatan konflik yang menyakitkan. Padahal, tidak ada yang bisa lepas dari sejarah. Hari ini, kehidupan yang sulit, ketertinggalan dan ketidakadilan adalah buah dari keengganan untuk memeriksa secara detail sejarah masa lalu dan mengevaluasinya.
Utopianisme
Saya melihat bahwa Aceh Baru dibangun di atas fondasi utopianisme yang akut tentang masa lalu yang meloncat ke imajinasi Iskandar Muda dan masa depan yang ingin menyuarakan kosmopolitanisme dengan visi yang sangat lemah, seperti kekurangan imajinasi, kecuali mengulang, membangun untuk eksploitasi dan eksploitasi untuk membangun. Di satu sisi, tidak ada yang ingin kekerasan kembali berulang, namun di sisi lain, kita lebih memilih untuk melupakannya, atau dalam bahasa Leela disebut sebagai amnesia sejarah. Padahal, untuk supaya apa yang terjadi di masa lalu tidak lagi terulang, sejatinya harus ada antisipasi. Dan bagaimana antisipasi dilakukan jika masa lalu itu justru dilupakan?
Utopianisme yang didukung oleh teologi kepasrahan yang sangat rentan terhadap implikasi-implikasi tersembunyi dari kompleksitas masa lalu yang belum dipikirkan, belum dituntaskan tapi sudah dipilih untuk dilupakan. Apapun itu, setelah ini, kita akan menjadi sangat sibuk karena berada dalam dua dilema antara utopianisme dan sublaternitas, di mana keduanya sama-sama memiliki konsekuensi.
Padahal, pembedahan sejarah melalui psikoanalisa akan sangat membantu proses penguraian kekerasan dan rehabilitasi karena diangkat dan berangkat dari kejujuran, bukan sekadar karpet-karpet politik yang menyembunyikan bau kejahatan kemanusiaan di bawah bangunan rapuh yang bernama “perdamaian,” “otonomi khusus,” dan “Aceh Meudaulat,” jika tidak dikatakan ter-delete.
Perdamaian, atau hal-hal melenakan yang disebut oleh Leela Gandhi sebagai kosmetik, nyatanya menjadi cara efektif bagi kolonial untuk melepaskan tanggungjawab setelah kejahatan yang dilakukan selama berabad-abad. Penindas pertama, tidak memiliki dosa yang wajib ditanggung karena semua itu akan ditanggung oleh penerima kuasa sebagai konsekuensi dari ’pemindahan kekuasaan, dan lain-lain” dari Belanda ke Indonesia dan dari Indonesia ke delegasi mereka dari mantan kombatan. Kosmetik yang membuat amnesia adalah “perdamaian.” Dengan perdamaian dan sedikit ancaman, semua dosa yang dilakukan oleh aktor-aktor perang seolah dilupakan begitu saja. Dan kita dipaksa dengan cara-cara kasar, melalui acara-acara religi yang digaungkan secara masal, untuk mensyukurinya. Lalu, Bisakah Aceh Berbicara?