Manusia akan Tetap Memilih Kembali ke Neraka 

Ada sebuah adegan menarik dari serial Korea Selatan yang rilis 17 September 2021 dan sempat menyedot perhatian dunia. Squid Game nama filmnya, merujuk pada permainan terakhir berupa lompat garis dengan bentuk menyerupai cumi-cumi atau squid. Film yang diarsiteki oleh Hwang Dong-hyuk ini mengangkat kisah rekaan mengenai orang-orang terpilih yang diminta mengikuti rangkaian permainan mematikan. 

Mereka dipilih karena memiliki masalah dan hutang besar yang tidak akan pernah mampu dilunasi. Dengan mengikuti permainan, pemenang diiming-imingi uang dengan jumlah fantastis sebesar sebesar 45.6 miliar won atau sekitar 38,4 juta dolar yang tidak akan habis digunakan tujuh turunan. Permainan ini juga memiliki aturan sederhana yang brutal, bahwa mereka yang kalah akan mati atau dibunuh.

Permainan pertama disebut red light and green light atau semacam permainan petak umpet dengan penjaga sebuah boneka raksana, memiliki kepala yang dapat berputar 360 derajat dan mata yang memiliki sensor gerak mematikan. 

Tapi peraturannya, pemain hanya boleh bergerak dan menuju garis finis jika berhasil menghindari sensor gerak mata si boneka. Mereka akan gagal jika gerakannya terdeteksi. Dan mereka juga akan gagal, jika dalam waktu yang ditentukan tidak mampu mencapai garis finish. Baik yang gerakannya terdeteksi maupun yang gagal mencapai garis dalam waktu yang ditentukan, semua akan ditembak dan mati.   

Permainan pertama sudah cukup membuat syok. Hingga akhir, lebih dari setengah peserta dinyatakan kalah dan mati. Permainan pertama usai dan semua peserta yang tersisa, gusar.

Sebagian dari mereka tetap ingin bertahan, karena jikapun kembali ke tempat asal, kehidupan yang dijalani lebih kurang sama dengan apa yang didapatkan hari ini. Dijalanan, mereka dapat mati tertembak atau dibunuh kapan saja. 

Sedangkan dalam permainan ini, mereka juga tetap akan mati, tapi dengan sebuah harapan, bahwa kematian ini dalam rangka mencapai iming-iming uang yang besar. Namun sebagian lagi memilih untuk berhenti. Kehidupan jalanan yang penuh ketidakpastian nyatanya lebih memberi harapan daripada permainan dengan resiko kematian yang sangat tinggi.   

Akhirnya undian dilaksanakan dan permainan diakhiri karena lebih banyak yang memilih mundur. Semua peserta dikembalikan ke daerahnya masing-masing. Dan mudah ditebak, kehidupan yang dijalani tetap seperti semula. Dikejar rentenir, diburu mafia, dibayang-banyangi rasa bersalah dan dosa, mencopet dan menipu untuk dapat makan, hidup terhina dan penuh ketidakpastian, serta begitu banyak persoalan sehari-hari yang semakin getir dan menemui jalan yang semakin buntu.  

Namun, walaupun sudah dilepas kembali ke jalanan, mereka tetap diawasi. Kehidupan dipantau oleh orang-orang yang menginginkanmu kembali ke permainan, untuk menjadi hiburan bagi ekspatriat kelas dewa. Kemiskinan, penderitaan dan kematian, adalah hiburan. Eksploitasi kemiskinan dan penderitaan di televisi selalu mendapat rating tertinggi, karena kita, orang miskin, bukan saja rela untuk menjadi tontonan bagi orang kaya, kitapun ikut menemani mereka menonton kemiskinan diri, dari chanel-chanel gratis tapi sesak dengan iklan, dari televisi yang sebentar lagi ditarik dari peredaran, dan beralih ke siaran berbayar yang juga ada iklannya. 

Oke, dan kita kembali ke permainan. Undangan dikirim dan kepada mereka yang pernah keluar dari neraka, diajak untuk kembali kesana. Ironinya, manusia tetap kembali memilih bertarung di neraka, menyambut kematian yang dibayar dengan setipis harapan. Sepertinya tidak juga. Ini hanya jalan untuk bunuh diri sambil bermain. Toh jika kalah, tidak ada yang rugi? Dan jika menang, setidaknya kehidupan sedikit berubah. Pilihannya hanya dua,“Hidup berjaya atau mati dalam permainan.” Bukankah kita pernah mendengar diksi yang serupa dalam kalimat yang berbeda? 

Dan akhirnya, manusia memang memilih untuk kembali ke neraka. 

Manusia hidup diantara dua pilihan, antara bayang kesakitan, dan imajinasi kemakmuran. Kegemaran menyaksikan tontonan tingkah polah dan kemewahan orang kaya, melalui sinetron atau reality show dan mengidolakan crazy rich atau sultan adalah bagian dari split menyedihkan antara bayang kesakitan dan imajinasi kemakmuran. 

Sebagian kita tidak sanggup kembali kepada realitas, hingga mencari hiburan di alam imajinasi walaupun sakit realitas itu makin berlipat. Itu sebabnya, manusia mudah menjadi korban empuk bagi investasi bodong, trader judi, jualan lapak surga, janji sedekah, rentenir, narkoba, perdagangan manusia dengan kedok TKI atau pencarian bakat dan minat dan lain sebagainya. Manusia belum dapat benar-benar membedakan antara imajinasi, mimpi buruk dan realitas yang pahit. Itu seperti kisah bapak manusia yang ingin mencicipi sepotong roti surga di akhir hayatnya di bumi. Padahal sebentar lagi dia dikembalikan ke surga. Apakah sedemikian getir kehidupan di dunia? 

Tapi itu tidak penting. Yang menjadi pokok persoalan pada saat ini adalah betapa manusia berani untuk kembali ke neraka, walaupun telah pernah memasukinya. Dalam film squid game, jelas mereka sendiri yang meminta untuk dikeluarkan dari permainan. Tapi kemudian, ketika diajak kembali, mereka setuju. Manusia tidak kapok  dan malah bersedia untuk masuk lagi, ke neraka lagi. 

Ada sebuah narasi teologi yang menarik, tentang manusia yang dimasukkan ke dalam neraka. Mereka kemudian berteriak kesakitan, dan memohon supaya dikeluarkan dan dikembalikan ke bumi. Mereka berjanji kelak akan menjadi manusia yang baik-baik dan rajin mengikuti perintah.  Rasanya apa yang dikatakan, dalam suasana penuh rasa sakit dan penyiksaan itu, mungkin benar. Tapi apa jadinya jika mereka benar-benar dikeluarkan dari neraka? Dan sakit serta siksa pelan-pelan menghilang? Apakah kita dapat memegang janji manusia?

Jika berkaca dari film squid game, dimana orang-orang yang keluar dari neraka dengan suka rela memilih untuk kembali. Kejadian yang sama mungkin akan terjadi pada manusia dalam narasi teologi tersebut. Seperti disebutkan bahwa satu-satunya yang dipelajari oleh manusia dari sejarah adalah bahwa ia tidak belajar apa-apa darinya. Ini bukan menunjukkan pada kebijaksanaan melainkan kencenderungan umum, bahwa manusia sebenarnya mudah lupa, dan mudah diiming-imingi oleh kenikmatan fantasi dan lemah dihadapan hawa nafsu. Bisa saja, jika andai benar manusia dikeluarkan dari neraka, sehari dua hari mereka mungkin akan menjadi manusia baik seperti dijanjikan. Tapi tidak di hari keempat, dan hari kelima. Semakin jauh keterpautan hari dengan masa lalu, semakin hilang ingatan dan kenangan. Semakin manusia berani untuk kembali ke wujud asalnya. Dan semakin mereka memaksakan pikiran bahwa apa yang baru saja dialami adalah mimpi buruk semata. Sedemikian ambisi manusia untuk melupakan rasa sakit, dan menganggapnya sebagai mimpi buruk semata. Sebegitu sulit bagi manusia untuk mengakui realitas. 

Manusia tidak pernah belajar dan mudah lupa. Mereka tetap akan kembali jatuh ke lubang yang sama, dua kali dan bahkan berkali-kali. Rasa sakit dan pahit, kalau bisa hanyalah mimpi buruk yang akan berlalu ketika mereka bangun. Manusia menghadapi mimpi buruk dengan harapan bahwa setelah semua yang menimpa, keadaan akan kembali seperti semula, keadaan baik-baik saja. Tapi kenyataan tidak pernah seperti itu, dan manusia tidak pernah belajar dari masa lalu. Manusia berasal dari kanak-kanak dan akan tetap kembali kepada sifat kekanak-kanakan. Manusia tidak pernah belajar. Manusia akan tetap memilih untuk kembali ke neraka.

Baca Juga

“Pulitek” Orang Aceh: Politik Keterusterangan

Pengalaman-pengalaman serupa tentulah dapat kita temukan di berbagai kesempatan, bahwa dalam relasi sosialnya, terutama dalam dunia politik, keterusterangan merupakan tipikal dari orang Aceh.

Kisah Persahabatan di Balik Meja Kerja

Waktu terus berjalan, tetapi persahabatan dan kenangan di balik meja kerja itu tetap hidup dalam hati mereka. Meskipun jalan hidup membawa mereka ke berbagai arah, ikatan yang telah terbentuk selama bertahun-tahun tidak akan pernah hilang.

BUKAN DI TANGAN MPR

Malah, sekarang, kita lebih mengkhawatirkan kapasitas partai politik, yang lebih mengejar hasil instan elektoral dengan mengajukan pelawak sebagai calon wakil walikota.

MEKKAH YANG DEKAT

Mekkah adalah tanah impian. Semua muslim mendambakan menginjakkan kaki di sana. Dari Mekkah, tempat di mana sakralitas ibadah haji dilakukan, cerita mengenai hubungan muslim dengan Tuhan dan masyarakatnya bermula.

Menyoal Frasa Wali Keramat dalam Cerpen Ada Sepeda di Depan Mimbar

Namun, pada poin kedua, di sini, imajinasi Khairil Miswar sama sekali bertolakbelakang dengan imajinasi saya. Gambaran imajinatif sosok Teungku Malem yang dianggap wali keramat, namun dia menghasut Tauke Madi untuk tidak lagi memperkerjakan orang yang tidak salat, bukan main anehnya