Adat bak Po Teumuruhom hukom bak Syiah Kuala (adat pada Po Teumuruhom hukum pada Syiah Kuala) merupakan falsafah hidup orang Aceh sejak zaman pemerintahan raja.
Adat bak Po Teumuruhom berarti bahwa urusan adat istiadat dalam masyarakat mengikuti petunjuk dan arahan dari penguasa atau raja. Sementara hukom bak Syiah Kuala berarti hukum atau urusan syariah diikuti menurut ulama, Syiah Kuala, gelar bagi Syeh Abdurrauf as-Singkili.
Dari falsafah hidup masyarakat Aceh tersebut, secara jelas dapat dipahami bahwa masyarakat Aceh sejak dulu telah memiliki pedoman dan pegangan yang kuat dalam menjalankan adat istiadat dan agama. Maka, tidak mustahil bila dalam pelaksanaan upacara-upacara adat, unsur agama menjadi bagian terpenting di mana nilai Islam masuk ke semua sendi budaya masyarakat termasuk peusijuek.
Masyarakat Aceh yang dikenal mayoritas beragama Islam, memiliki adat istiadat serta kaya dengan berbagai budaya. Hampir semua masyarakat Aceh dari dulu sampai sekarang masih melaksanakan prosesi peusijuek dalam kegiatan-kegiatan yang diyakini perlu diadakannya peusijuek.
Peusijuek dianggap sebagai adat yang mesti dilaksanakan. Prosesi peusijuek sudah menjadi budaya yang terus dipertahankan. Peusijuek mengandung nilai-nilai agama yang sangat filosofis sehingga peusijuek dianggap sangat sakral dan mesti dilakukan pada kegiatan-kegiatan yang diyakini perlu adanya peusijuek.
Peusijuek dianggap sebagai amalan agama yang tidak boleh ditinggalkan. Bila meninggalkan akan ditimpa musibah atau tidak ada keberkatan dalam menjalankan kegiatannya.
Peusijuek adalah salah satu ritual atau prosesi adat dalam budaya masyarakat Aceh. Tradisi ini biasanya dilakukan untuk memohon keselamatan, ketenteraman, dan kebahagiaan dalam kehidupan.
Tradisi ini biasanya sering dilakukan di hampir semua kegiatan adat masyarakat Aceh, pernikahan, perayaan adat, syukuran dan upacara adat lainnya. Di kalangan masyarakat pedesaan di Aceh peusijuek merupakan prosesi adat yang cukup biasa dilakukan bahkan untuk hal-hal yang kecil sekali pun, misalnya ketika membeli kendaraan baru atau ketika hendak menabur benih padi di sawah. Sementara bagi masyarakat perkotaan yang lebih modern tradisi peusijuek ini hanya dilakukan dalam kegiatan-kegiatan adat saja misalnya dalam prosesi adat perkawinan.
Tradisi peusijuek ini merupakan salah satu tradisi lama masyarakat Aceh. Menurut sejarahnya, tradisi peusijuek ini merupakan salah satu peninggalan kebudayaan Hindu.
Kebudayaan Hindu di Aceh sendiri disebabkan karena adanya hubungan antara Aceh dan India di masa lampau, sehingga secara tidak langsung budaya Hindu yang dibawanya mulai mempengaruhi kebudayaan masyarakat Aceh. Salah satunya adalah dengan adanya tradisi peusijuek ini.
Dalam bahasa Aceh “peusijuek” terdiri dari dua kata, yaitu “peu” dan “sijuek”. Jika ditilik lebih lanjut, “peu” dalam kata peusijuek bukanlah kata yang bisa dipisahkan karena “peu” disini sebagai awalan untuk kata “sijuek”. Sijuek berarti dingin jadi jika digabung dengan awalan peu, artinya adalah mendingin atau membuat sesuatu menjadi dingin atau menyejukkan.
Pada awalnya peusijuek yang dilaksanakan masih menggunakan mantra atau doa-doa tertentu. Namun semenjak masuknya Islam di Aceh, tradisi tersebut kemudian diubah dengan memasukkan unsur keislaman di dalamnya seperti doa-doa keselamatan, shalawat dan doa-doa dalam ajaran Islam lainnya. Walaupun begitu prosesi pelaksanaan peusijuek ini masih tetap dipertahankan hingga seperti bentuk yang sekarang.
Dalam budaya masyarakat Aceh, tradisi peusijuek pada dasarnya difungsikan untuk memohon keselamatan, ketenteraman, dan kebahagiaan dalam kehidupan. Namun fungsi peusijuek ini juga dibagi menjadi beberapa jenis, di antaranya seperti, peusijuek meulangga (saat perselisihan), peusijuek pade bijeh (mulai menanam padi), peusijuek tempat tinggai (menghuni rumah baru), peusijuek peudong rumoh (membangun rumah), peusijuek keureubeun (saat berkurban), peusijuek kendaraan, peusijuek naik haji, peusijuek khitan, peusijuek prut (tujuh bulanan) dan peusijuek pernikahan.
Pelaksanaan ritual peusijuek biasanya dilakukan oleh tokoh agama atau tokoh adat yang dituakan oleh masyarakat. Hal ini diharuskan karena tradisi peusijuek merupakan ritual yang dianggap sakral, sehingga untuk melakukannya haruslah orang yang paling mengerti tentang doa-doa dan prosesi dalam ritual tersebut.
Apabila orang yang dipeusijuek adalah kaum laki-laki, biasanya akan dilakukan oleh teungku atau ustadz. Sedangkan apabila yang dipeusijuek adalah kaum perempuan, maka akan dilakukan oleh ummi atau seorang wanita yang dituakan oleh masyarakat.
Dalam pelaksanaan tradisi peusijuek ini ada beberapa hal yang paling penting, yaitu perangkat alat serta bahan peusijuek, gerakan yang dilakukan pada saat peusijuek, doa yang dibacakan menurut acara peusijuek dan teumuteuk (pemberian uang).
Untuk perangkat dan bahan peusijuek biasanya terdiri dari talam, bu leukat (ketan), u mirah (kelapa merah), breuh pade (beras dan padi), teupong taweu (tepung yang dicampur air), oen senijuek (sejenis daun cocor bebek), manek manoe (jenis dedaunan), naleung sambo (sejenis rumput), glok (tempat cuci tangan) dan sangee (tudung saji).
Bagi masyarakat Aceh, setiap bahan peusijuek ini memiliki filosofi dan arti khusus di dalamnya.
Adapun makna dari penyelenggaraan peusijuek adalah:
- Talam mengandung makna bahwa orang yang dipeusijuek tetap bersatu dalam lingkungan keluarga yang ditinggalkan.
- Glok (tempat cuci tangan) mengandung makna bahwa orang yang dipeusijuek itu tetap berada dalam lingkungan keluarga (persatuan) dan berhemat.
- Sangee (tudung saji) mengandung makna diharapkan untuk mendapat perlindungan dari Allah SWT dari segala tipu daya yang menyesatkan.
- Breuh pade (beras dan padi) mengandung makna bahwa orang dipeusijuek semakin tua semakin berilmu, juga merupakan makanan pokok atau benih untuk menghasilkan.
- Teupong taweu (tepung yang dicampur air) mengandung makna bahwa tepung berwarna putih merupakan lambang kebersihan dan kesejukan jiwa bagi orang yang dipeusijuek.
- Oen manek manoe (jenis dedaunan) mengandung makna bahwa sesuai dengan deretan bunga diharapkan digalang persatuan dan kesatuan serta keteraturan.
- Oen senijuek (sejenis daun cocor bebek) mengandung makna obat penawar/kesejukan meresap kalbu.
- Naleung sambo (sejenis rumput) mengandung makna dengan sifatnya yang kokoh sulit untuk dicabut, lambang sebagai kekokohan pendirian dan etika, baik dalam kehidupan bermasyarakat maupun beragama.
- Bu leukat (ketan) mengandung makna zat perekat, lambang sebagai daya tarik untuk tetap meresap dalam hati orang yang dipeusijuek semua ajaran dan nasihat ke jalan yang diridhai oleh Allah SWT.
Sementara itu gerakan-gerakan pada saat prosesi peusijuek juga sangat unik. Gerakan-gerakan ini hampir menyerupai gerakan pada saat pemujaan-pemujaan dalam agama Hindu. Tetapi, gerakan ini terjadi hanya mengikuti arah memercikkan air dari kiri ke kanan dan dari kanan ke kiri dan sesekali disilang.
Banyak para teungku berpendapat bahwa adanya kesamaan ritual peusijuek dengan praktik pemujaan dalam agama Hindu bukan berarti bahwa peusijuek tersebut adalah ritual agama Hindu. Karena ritual itu sendiri sangat berbeda baik dari segi tujuan, cara, dan isi dari peusijuek tersebut.
Doa-doa yang dibacakan pada saat peusijuek merupakan doa-doa keselamatan, baik dalam bahasa Arab maupun berbahasa Aceh. Doa-doa biasanya disesuaikan dengan momen dari peusijuek. Doa-doa tersebut meminta keselamatan, kedamaian dan kemudahan rizki dari Allah SWT.
Adapun teumetuek (pemberian uang) dilakukan setelah semua prosesi peusijuek. Biasanya yang melakukan peusijeuk memberikan amplop berisi uang, dan diikuti kerabat-kerabat juga memberikan uang kepada yang dipeusijuek. Ini biasanya terjadi pada peusijuek perkawinan, calon jamaah haji dan khitanan.
Demikianlah ritual peusijuek yang ada di Aceh dan masih dilaksanakan sampai sekarang.
Editor: Khairil Miswar