Suatu aktivitas beragama tidak dapat dilepaskan dari jalinan komunikasi antar subjek-objek sebagai sarana dan prasarana agama. komunikasi keagamaan dapat terjadi dalam bentuk yang sangat beragam seperti komunikasi dalam hal transformasi pengetahuan antar satu atau kelompok orang dengan kelompok lainnya yang sering terjadi dalam diskusi-diskusi ilmiah maupun dialog antar seorang guru dengan muridnya. Komunikasi agama juga dapat terjadi ketika seseorang hendak memahami agama melalui teks, baik buku maupun kitab suci. Dalam konteks ini, subjek pada dasarnya menjalin dialog yang intensif antara dirinya dan teks, di mana pembaca berusaha keras menyesuaikan pemahaman dirinya dengan apa yang sesungguhnya dimaksudkan oleh pemilik redaksi teks. Namun di antara itu semua, komunikasi tertinggi adalah komunikasi tanpa teks, yang terjadi dalam dimensi ruhani, di mana pola komunikasi ini sering di praktikkan oleh para sufi.
Ragam komunikasi agama lainnya juga terjadi dalam hal-hal yang sangat khusus dan bahkan terkadang bersifat ekslusif berdasarkan pencapaian derajat spiritual tertentu, seperti komunikasi para Nabi dengan Tuhannya yang kemudian dikenal sebagai turunnya wahyu ke dalam diri seorang Nabi. Komunikasi agama seperti ini merupakan bentuk komunikasi bersifat sangat khusus dan karenanya pula pola komunikasi yang terjadi juga sangat unik dan berbeda sama sekali dengan pola komunikasi yang biasa dikenal manusia pada umumnya. Komunikasi yang terjadi antara para Nabi dan Tuhannya bersifat sangat khusus karena menyangkut transformasi pengetahuan Tuhan yang murni ke dalam jiwa para Nabi/rasul yang terpilih. Sehingga atas dasar pencapaian pola komunikasi yang langka inilah para Nabi dan Rasul menduduki peringkat tertinggi sebagai otoritas penyampai risalah keagamaan.
Dari ragam bentuk komunikasi keagamaan yang ada bila ingin disederhanakan maka paling tidak terdapat dua jenis komunikasi yang terjadi dalam konteks keagamaan:
Pertama, Komunikasi dalam bentuk konvensional, yakni komunikasi yang berlangsung atas dasar suatu kesepakatan mengenai pemaknaan simbol- simbol tertentu sebagai perantara sehingga menimbulkan kepahaman antar satu subjek dengan subjek lainnya, hal inilah yang kita sebut dengan bahasa. Meskipun dalam perjalanannya tidak semua kata yang telah disepakati makna dasarnya tersebut dapat secara langsung memberi pemahaman yang memadai terhadap konteks pengungkapan kata tersebut seperti yang sering terjadi dalam komunikasi antara subjek dengan teks (relasi pembacaan), Namun paling tidak terdapat suatu kesepakatan pendahuluan mengenai bahasa yang digunakan dan bisa diakses oleh banyak orang.
Kedua, komunikasi spiritual manusia dengan Tuhannya atau yang kita sebut sebagai wahyu. Dalam konteks komunikasi yang demikian, pola yang digunakan sangat berbeda dengan komunikasi konvensional, di mana simbol dan tanda yang digunakan hanya dapat diakses oleh personal tertentu yang memiliki kemampuan untuk melakukan hal tersebut, mengingat ketinggian makna wahyu tersebut, maka hanya orang-orang tertentu pula yang dipilih nabi/rasul untuk mengkomunikasikan bahasa wahyu tersebut. Artinya di samping rasul memiliki cukup banyak pengikut, namun hanya pada personal tertentu saja (seperti khulafaurrasyidin) Nabi mengelaborasi secara komporehensif makna wahyu tersebut, yang pada akhirnya dituliskan dalam bentuk teks.
Pemahaman seperti ini mengantarkan kita pada suatu keterangan yang sangat berharga bahwasanya apa pun bentuk komunikasi yang digunakan selalu saja terdapat makna ganda dan bertingkat atas suatu pengungakapan suatu tanda/kata, yakni makna teks yang tertulis dan makna yang hadir dalam kepahaman akal subjek penerima informasi kata tersebut. Dalam konteks agama, kitab suci yang merupakan bahasa wahyu dalam bentuk teks, pada dasarnya juga diselimuti makna yang non-tekstual yakni pengalaman spiritual. Setiap orang dapat saja mengalami apa yang disebut dengan bahagia, tapi tidak setiap orang juga dapat menjelaskan dengan baik mengenai pengalamannya tersebut, atau dalam kondisi yang agak berbeda secermat apa pun sesorang menjelaskan mengenai peristiwa kebahagiannya itu tentu tidak dapat menghadirkan cita rasa yang utuh mengenai pengalamannya tersebut ke dalam diri subjek pendengar/pembaca, kecuali dia mengalami dan merasakan sendiri.
Hal inilah yang selanjutnya mengantarkan para pemeluk agama pada kesimpulan dan tafsir yang sangat beragam mengenai agama dan pengalaman keagamaannya. Bahkan dalam pertimbangan lain, perbedaan tingkat pengetahuan, kultur, dan daya analisa mengenai unsur-unsur transendental agama turut pula mewarnai kompleksitas problem penafsiran simbol agama yang senantiasa dihadapi para agamawan saat ini.
Namun dalam tataran praktisnya, tidak semua orang memahami perbedaan tersebut sebagai peristiwa yang alamiah. Bahkan bagi kelompok-kelompok tertentu, iming-iming keselamatan dunia dan akhirat yang dijanjikan agama telah mendorongnya memilih bertindak arogan untuk memaksakan semua orang mengikuti “jalan keselamatannya”. Hal ini ditambah lagi dengan keyakinan bahwa ketidakberhasilan seseorang atau suatu kelompok dalam mengajak orang atau kelompok lain yang dianggap menyimpang agar mengikutinya dapat menjadi penghalang keselamatan bagi dirinya atau menjadi penyebab berkurangnya koleksi pahalanya di akhirat kelak, sehingga gagasan ini semakin membakar gelora seseorang untuk secara serius memaksakan pemahamannya terhadap pihak lain termasuk dengan menggunakan kekerasan. Model pemicu kekerasan dan pemaksaan identitas lainnya juga dapat dimotivasi oleh kekhawatiran hilangnya kemurnian agamanya jika keran perbedaan pendapat terbuka lebar.
Dalam beberapa kasus, tindakan-tindakan pemaksaan bisa saja terjadi bukan dalam bentuk kekerasan, namun dengan politik penggiringan massa dan tindakan terstruktur melalui perangkat prosedural-birokratis yang biasanya mendapat payung legal, sehingga melalui tindakan yang demikian menyebabkan orang lain kehilangan kesempatan untuk menyampaikan apa yang dipahaminya tentang agama.
Belajar dari fenomena-fenomena pemaksaan tersebut, tentu saja memunculkan sejumlah pertanyaan, bahwa apakah perbedaan pandangan dalam memahami dan menuangkan pengalaman keagamaannya dapat dijadikan dasar legitimasi bagi seseorang atau kelompok untuk bertindak arogan dan memaksakan kehendak dan pemahamannya? Apa yang dapat kita elaborasi mengenai gagasan “bahwa kegagalan kita dalam mengajak orang lain yang berbeda pemahaman dapat menghalangi keselamatan atau mengurangi gunungan pahala kita di akhirat kelak, karena kita dianggap telah gagal dalam melindungi agama dari serangan berbahaya berupa perbedaan pemikiran”? Sebab bagaimana pun juga prinsip ini sering digunakan kelompok tertentu sebagai salah satu pilar dakwah, bahkan sering juga kita mendengarkan dalam banyak pertemuan, bahwa “Islam memang tidak dapat memaksa seseorang memeluk agama Islam, tapi jika seseorang tersebut beragama Islam maka dia wajib dipaksa!” Lantas penjelasan apa yang dapat kita berikan mengenai pandangan tersebut? Dari penjelasan mengenai perbedaan tafsir simbol agama yang telah disebutkan di atas, tentu saja setiap orang memiliki pilihan yang masing-masing dianggap benar dan oleh karenanya memiliki keinginan pula untuk mengajak pihak yang berbeda agar dapat sepaham dengannya. Tapi, bagaimana cara kita mewarnai proses interaksi (dialog) dengan pihak yang berbeda agar berlangsung kondusif? Dapatkah kita hidup damai dan saling menghargai dalam pluralitas pandangan? Atau hal tersebut hanya angan-angan yang tidak dapat dibenarkan karena mengancam kemurnian agama?