Dilema Identitas dan Kemiskinan; Berubahlah dari “Ethnic” ke “Ethic”

Percayalah, sebuah daerah yang selalu bicara identitas di ruang publik, selalu membesar-besarkan identitas agamanya, selalu membesarkan keunggulan agamanya yang mayoritas di atas agama lain, selalu bicara kekhususan tanpa henti, selalu bicara keunggulan sukunya, adat istiadat dan budaya, maka dapat dipastikan daerah itu adalah daerah yang masih miskin. Karena kalau sudah makmur, mereka pasti akan menikmati hidup, tanpa tersandera oleh objek yang bisa menimbulkan disharmonisasi di antara manusia dan di antara pembicaraan yang melahirkan disharmonisasi antarmanusia adalah menonjolkan identitas di atas.

Ketika miskin, jiwa pemberontaknya muncul, sehingga pembicaraannya reaksioner dan emosian, lalu fokus dan orientasinya sering bicara masa lalu dan masa lalu itu dibawa ke kondisi kekinian. Ketika miskin, yang sering muncul adalah sentimen identitas, karena hanya itu yang dipunyai dan bisa diandalkan untuk diributkan, kreatifitas tidak muncul lagi, inovasi tidak ada gairah untuk divisualkan dan diwujudkan, hidup dalam tekanan, tidak mungkin orang sedang dalam sentimen dan tekanan itu bicara masa depan, pasti bicaranya masa lalu, pasti bicaranya tidak normal, emosian, tempramen, lalu muncul kalimat–kalimat : “kita kembali ke zaman Iskandar Muda, kembalikan Aceh ke zaman Iskandar Muda,…”, (padahal Iskandar Muda ada jahat-jahatnya juga). Zaman sudah beda, teknologi sudah beda, jadi tidak sinkron sama sekali. Orang–orang seperti ini adalah orang masa lalu yang hidup sekarang, atau orang yang hidup sekarang tetapi dengan kepala masa lalu, hasilnya: “apapun tidak nyambung.”

Orang yang hidup makmur, berlebihan, mereka tidak suka lagi membesar-besarkan identitas, tidak lagi bicara keunggulan satu suku terhadap suku lain, keunggulan satu agama dibanding agama lain, tidak lagi bicara mayoritas dan minoritas, tetapi sudah bicara unity, sudah bicara penyatuan manusia, bicara humanisme, bicara dan mempraktikkan bagaimana memperlakukan manusia sebagai manusia, bukan memperlakukan manusia sebagai agama, sebagai suku, karena kalau terus -terusan bicara ini, maka tidak bicara penyatuan manusia, tetapi bicara pemisahan dan pemilahan manusia.

Contoh sederhananya adalah, jika orang sudah hidup makmur, kaya, mereka tidak bicara lagi tentang uang, mereka bicara tentang keluarga, bicara tentang hewan peliharaan, bicara tentang di mana kopi terenak saat ini, itu semua karena mereka punya uang, uang ada dan berlimpah bersama mereka. Bagi mereka, uang adalah sesuatu yang pasti.

Namun jika manusia tidak ada uang bersama mereka, maka yang selalu dibicarakan adalah tentang uang, karena uang begitu misterinya bagi mereka. Manusia memang cenderung membicarakan sesuatu yang tidak ada pada mereka. Dan jika Anda menemukan orang yang hidupnya biasa saja, namun dia selalu bicara visi, bicara kebaikan bersama, maka orang itu adalah orang yang hatinya sudah kaya dan sangat lapang, tinggal menyusul uang secara real yang akan menghampirinya, karena sifat uang adalah ” dia akan datang dengan penuh hormat kepada seseorang yang berharga”.

Ketika Anda menemukan manusia yang suka bicara sesat, suka menyesatkan yang lain, suka mengkafir-kafirkan yang lain, suka mencari – cari kesalahan orang lain, maka di tubuhnya, di pikirannya dan di hatinya pasti penuh dengan kesesatan, kekafiran dan kesalahan, karena barang ini penuh padanya, maka itulah yang dibicarakannya, jika tubuhnya penuh kebaikan, maka pasti dia akan bicara kebaikan. Seorang penjual, pasti akan menjual barang yang ada padanya, tidak mungkin menjual barang yang tidak ada padanya.

Suatu hari, seorang pembunuh Imam Husein, dikejar – kejar oleh penguasa pada masa itu, karena rezim penguasa sudah berganti. Lalu dia bersembunyi di rumah cicit Nabi, karena itulah tempat yang paling aman di muka bumi. Setiap malam orang ini selalu gelisah dan takut, jangan-jangan cicit Nabi ini akan membunuhnya, karena dendam telah ikut membunuh Husein. Namun yang terjadi justru sebaliknya dia dijamu dengam ramah dan sopan, diperlakukan dengan hormat oleh oleh cicit Nabi.

Setelah tinggal 3 malam, pamitlah orang ini. Ketika hendak berpamitan, sang pembunuh Husein sangat penasaran dengan kebaikan cicit Nabi ini, dari atas kudanya dia bertanya kepada cicit Nabi ini:

“Apakah engkau tidak kenal aku?”

“Bagaimana aku bisa lupakan orang yang telah membunuh ayahku,” ,jawab Cicit Rasulullah.

Pembunuh itu kembali bertanya: “Lalu, kenapa kau tidak membunuh aku, sedangkan kau tahu aku pembunuh ayahmu.”

Dengan bersahaja, cicit Nabi berkata, “Aku tidak punya dendam itu, di dadaku ini tidak punya dendam sama sekali untuk membunuhmu dan Rasulullah tidak pernah mengajarkan dendam kepada kami.”

Kisah ini memberikan pelajaran penting kepada kita bahwa di dada manusia itu harus diisi dengan segala kebaikan, bukan kebencian dan dendam. Kebencian dan dendam ini biasa selalu muncul ketika manusia menilai manusia yang lain berdasarkan agamanya dan kepercayaannya.

Kembali ke perkara identitas tadi, jika ingin maju, beralihlah dari bicara etnik ke bicara etik. Besar – besarkanlah etik dibanding etnik. Bicara etnik, agama, suku atau apapun hanya sebagai angka saja, jangan masukkan angka-angka itu ke kebijakan, karena nanti akan timpang, karena jika dari awal sudah diskriminatif, maka di perjalanannya pasti akan terus diskriminatif sampai dajjal turun nanti (jika berani turun).

Mengapa dengan membesarkan dan mempraktikkan etik kita akan maju? Karena yang dinilai, yang dilihat, yang diapresiasi dari manusia adalah kebaikannya, keramahannya, kesopanannya, kerendahhatiannya, apapun agamanya, sukunya, meski dia seorang atheis sekali pun. Jika kebaikan manusia dilihat berdasarkan agamanya, maka kebaikan itu akan luntur, malah yang dihadirkan adalah kebencian, lalu muncul kalimat : “Dia baik,…tapi non Muslim,…tapi kafir…”, maka selamanya kita akan hidup dalam kebencian terhadap yang berbeda. Ada kalanya kebenaran itu justru kita dapat dari seorang Atheis.

Narasi etik ini akan sangat bagus jika mewujud dalam pilihan-pilihan politik nantinya dan juga dalam jabatan – jabatan publik. Person – person tertentu yang track recordnya bagus, tidak cacat moral, tidak korup, punya gaya komunikasi yang sopan, beradab dan tidak arogan, sekalipun dia non muslim, maka dia tetap akan dipilih, karena alat ukurnya bukan lagi agama, suku, tetapi kebaikannya, jika kita bisa mempraktikkan seperti ini, maka 1000 persen dijamin kita akan menjadi sebuah daerah yang maju karena tidak lagi memperbincangkan hidup terpisah – pisah dengan agama dan suku masing – masing, namun sudah memperbincangkan menyatunya manusia dalam kebaikan. Selama kita belum bisa mempraktikkan ini, maka selamanya kita tidak akan pernah maju.

Lalu dimanakah Aceh ?…. Silakan simpulkan.

Baca Juga

“Pulitek” Orang Aceh: Politik Keterusterangan

Pengalaman-pengalaman serupa tentulah dapat kita temukan di berbagai kesempatan, bahwa dalam relasi sosialnya, terutama dalam dunia politik, keterusterangan merupakan tipikal dari orang Aceh.

Kisah Persahabatan di Balik Meja Kerja

Waktu terus berjalan, tetapi persahabatan dan kenangan di balik meja kerja itu tetap hidup dalam hati mereka. Meskipun jalan hidup membawa mereka ke berbagai arah, ikatan yang telah terbentuk selama bertahun-tahun tidak akan pernah hilang.

BUKAN DI TANGAN MPR

Malah, sekarang, kita lebih mengkhawatirkan kapasitas partai politik, yang lebih mengejar hasil instan elektoral dengan mengajukan pelawak sebagai calon wakil walikota.

MEKKAH YANG DEKAT

Mekkah adalah tanah impian. Semua muslim mendambakan menginjakkan kaki di sana. Dari Mekkah, tempat di mana sakralitas ibadah haji dilakukan, cerita mengenai hubungan muslim dengan Tuhan dan masyarakatnya bermula.

Menyoal Frasa Wali Keramat dalam Cerpen Ada Sepeda di Depan Mimbar

Namun, pada poin kedua, di sini, imajinasi Khairil Miswar sama sekali bertolakbelakang dengan imajinasi saya. Gambaran imajinatif sosok Teungku Malem yang dianggap wali keramat, namun dia menghasut Tauke Madi untuk tidak lagi memperkerjakan orang yang tidak salat, bukan main anehnya