Berlin adalah sejarawan pemikiran/ide dan filosof Inggris keturunan Rusia yang lahir di Riga, Latvia 6 Juni 1906. Anna Akhmatova, penyair perempuan terbesar Rusia menyebut Berlin sebagai “Tamu dari masa depan”. Pada tahun 1953, Berlin menulis esai yang sangat memukau dengan judul “The Hedgehog and The Fox.” Dari esai ini, Berlin memilah-milah macam penulis dan pemikir dan manusia pada umumnya dengan kategori “landak-rubah”.
Pemikir jenis landak yaitu: “menghubungkan segala sesuatu ke dalam satu pandangan tunggal, satu prinsip universal yang menata carut marut kenyataaan ke dalam sistem yang koheren sehingga heterogenitas kenyataan bukanlah suatu chaos yang tak terkendali melainkan sepenuhnya bisa dimengerti maknanya secara teleologis (mengarah pada satu tujuan).
Berlin menggolongkan Plato, Dante, Lucretius, Pascal, Marx, Hegel, Dostoevsky sebagai pemikir jenis rubah
Pemikir jenis “rubah” adalah pemikir yang tidak terpaku pada satu tujuan (telos) karena mereka percaya akan pluralitas tujuan, yang satu sama lain tidak berkaitan atau bahkan bertentangan, sehingga mereka tidak berpretensi untuk meringkus pengalaman dan kenyataan ke dalam satu sistem tunggal”.
Di antara pemikir yang dimasukkan ke dalam golongan ini oleh Berlin adalah: Herodotus, Aristoteles, Erasmus, Goethe, Balzac, Pushkin dan Joyce.
Ketika menganalisa pencerahan dan kontra pencerahan di Barat, para pemikir pencerahan adalah jenis landak, sedangkan kaum romantisisme yang kontra pencerahan adalah jenis Rubah.
Bagi Berlin, peradaban Barat itu bukanlah universal, tetapi monisme, baik yang teis maupun yang sekular dan inilah yang terus-terusan menjadi bahan kritik secara bertubi-tubi oleh Berlin dalam berbagai kesempatan yang dipunyainya.
Terkait dengan kritik terhadap peradaban Barat, Berlin menulis satu esai yang menarik “The Originality of Machiavelli“. Machiavelli bagi Berlin adalah pemikir orisinil, karena dia sudah berani menunjukkan kemustahilan penggabungan dua moralitas dan dua tujuan hidup.
Tujuan utama Machiavelli adalah memberikan seperangkat kaidah bagi penguasa di Florence agar sang penguasa mesti siap memakai cara apa pun untuk mempertahankan kekuatan negerinya. Frasa “dengan memakai segala cara” ini, tidak berarti penguasa tidak memakai moralitas, dia punya moralitasnya sendiri, yakni moralitas demi kekuatan negara, moralitas ini adalah moralitas pagan, yang secara diametral bertentangan dengan moralitas Kristen yang meyerukan kelembutan dan kasih sayang. Jika penguasa Florence ingin menegakkan kembali kehebatan Romawi Kuno, maka moralitas paganlah yang mesti dipilih, bukan moralitas Kristen.
Sebaliknya, jika kesalehan individu yang menjadi tujuan, maka moralitas Kristenlah pilihannya, bukan moralitas pagan, tetapi karena ini tujuan kekuatan negara maka pilihannya adalah moralitas pagan. Dua moralitas ini adalah pilihan, dalam satu waktu mengharmoniskan keduanya adalah sesuatu hal yang mustahil, mau tidak mau harus memilih.
Ilustrasi: isaiahberlin.org