Kesia-siaan Manusia: Semakin Taat Beragama, Semakin Terpenjara

Agama adalah keterpenjaraan manusia, spiritualitas adalah kebebasan manusia. Pada dua jalan ini, manusia, dalam segala serba ketahuan dan dalam segala serba ketidak tahuannya menjalani hidup sebagai manusia yang terpenjara atau menjalani hidup sebagai manusia bebas merdeka.

Manusia terpenjara itu adalah manusia – manusia yang hidup diperbudak oleh apapun, bahkan diperbudak oleh doktrin-doktrin agama yang kebanyakan hanya berdasarkan tafsir subjektif manusia, sedangkan manusia yang terbebaskan adalah manusia yang hidup dengan nilai-nilai spiritualitas yang bersumber dari otoritas murni (wasilah), bukan berdasarkan Kafilah (Islam turun temurun, hanya kepercayaan turun temurun saja).

Manusia yang terpenjara akan terus menjalani hidup dengan nilai-nilai doktrin agama yang sangat profan dan politis, sejatinya, yang harus dilakukan adalah : “Beribadahlah sebagai manusia merdeka, yang beribadah dengan riang gembira, beribadah dengan melupakan pahala, tetapi hanya karena cinta, jangan beribadah seperti budak, yang serba ketakutan, serba terikat, dan selalu berhitung pahala dan dosa”.

Saat ini, manusia tidak lebih hanya menjalani hidup dengan patuh pada aturan-aturan agama yang justru semakin memenjara manusa. Ajaran-ajaran agama yang terus didakwahkan bukanlah pembebasan manusia, tetapi justru pemenjaraan manusia. Doktrin-doktrin bahwa manusia harus mengekang dirinya secara eksklusif, doktrin untuk patuh pada ulama dan ustad yang sama sekali tidak punya kapasitas dan otoritas spiritualitas melainkan hanya menang pada usia yang tua, pada sorban yang tebal dan merasa memegang otoritas terhadap keberimanan yang lain.

Ketika manusia beragama dengan model seperti ini, maka tidak akan pernah lahir manusia yang menyembah Tuhan, tetapi hanya melahirkan fir’un – fir’un baru, hanya melahirkan namruz-namruz baru yang justru menjadi Tuhan baru untuk menghakimi keimanan, kepercayaan dan pilihan keyakinan seseorang umat ataupun sekelompok umat yang lain.

Manusia terus menyekat dirinya sendiri ke dalam ruang-ruang eksklusifitas agama. Tanpa disadari, sekat-sekat penjara dan pemenjaraan ini bekerja melalui operasionalisasi peraturan-peraturan syari’at dari negara dan ulama melalui doktrin-doktrin yang terlembagakan, dengan tujuan melahirkan ketakutan, kepatuhan, pembiasaan dan penundukkan untuk mengontrol manusia melalui pendekatan hukuman, bukan mendekati manusia dengan Cinta sehingga melahirkan kepatuhan penuh keikhlasan kepada Tuhan seperti yang dilakukan para Sufi.

Drama kolaborasi negara dan ulama ini seolah-olah berjasa besar membangun dan menciptakan ketaatan secara massal, namun sejatinya ketaatan tersebut justru semakin memenjara manusia dan kontra produktif dengan pencarian manusia akan spiritualitas yang sebenarnya.

Manusia dalam tubuh dan kesadarannya punya kebebasan yang tidak terbatas untuk menentukan sendiri spiritualitasnya (jalan menemukan dan menjumpai Tuhannya). Jalan yang harus ditempuh manusia adalah jalan mencari dan terus mencari sampai dia menemukan yang sebenarnya dalam wujud hakikat.

Namun dalam perjalanan sejarahnya banyak manusia yang menganggap bahwa “doktrin-doktrin teologis, syari’at dan fiqih” sebagai puncak dari segala pencarian. Ketika manusia menganggap ini sebagai puncak perjalanan religiusitasnya, maka secara tidak lansung ini adalah bentuk pengingkaran terhadap “kebebasan” manusia. Kenapa? Karena manusia telah menggugurkan potensi kebebasannya untuk menemukan spiritualitas yang sebenarnya yang masih belum selesai dan berhenti pada level syari’at.

Kita juga bisa memahami kenapa banyak manusia berhenti di level ini, tidak lain adalah karena ketakutan manusia terhadap doktrin bangunan teologis yang mengancam orang-orang yang menempuh jalur- religiusitasnya. Religiusitas adalah lompatan iman tertinggi, jadi berada di level syariat belum bisa dikatakan “religius”. selengkapnya, kita dapat menemukan inti dalam tiga proses perjalanan manusia menempuh jalur religiusitas sebenarnya, yaitu:

Pertama, sikap estetis, yaitu sikap yang “sangat bebas”, di mana semua kemungkinan diperiksa, sekaligus menolak semua kaidah-kaidah yang membatasi kemungkinan tersebut. Dengan cara hidup demikian, manusia memang dihadapkan pada pilihan-pilihan, dan manusia harus memilih. Dalam memilih, manusia mengisi kebebasannya dan bereksistensi.

Kedua, sikap etis, dimana ia tidak lagi memilih, tetapi mulai memasuki kaidah-kaidah moral, menerima suara hati dan menentukan arah hidup. Jelasnya, dalam tahap ini manusia mulai mengakui kelemahannya, misal kelemahan pengetahuannya tentang hakikat Tuhan yang sebenarnya, tetapi ia belum sadar bahwa “ia membutuhkan pertolongan dari atas”. Jika tahap ini sudah dilewati, maka manusia melompat ke tahap yang lebih tinggi, yakni sikap religius.

Ketiga, sikap religius, dimana manusia sudah percaya kepada Tuhan. Namun percaya begitu saja amatlah mudah. Yang diperlukan adalah “manusia percaya kepada Tuhan berdasarkan pergumulan, pencarian, pertanyaan-pertanyaan kita terhadap yang kita percayai itu”. Lebih mudahnya ini dapat kita istilahkan dengan “religiusitas A” (agama yang diajarkan orang-orang umum) dan “religiusitas B” (agama berdasarkan pencarian sampai menemukan yang sebenarnya). Di sini, religiusitas yang sebenarnya adalah “religiusitas B”. Model religiusitas A adalah religiusitas yang sangat mudah dan banyak sekali, artinya kebanyakan orang (mayoritas) yang berada di level ini bukanlah pilihan, karena tidak pernah menggunakan kebebasannya untuk memeriksa, mempertanyakan tetapi hanya menerima saja dengan segala “sikap percaya diri penuh” bahwa ini sudah final. Model “religiusitas A” adalah “penonton” dan “model religiusitas B” adalah “pemain”, insan-insan unggul yang akan menentukan jalan dan roda sejarah kehidupan.

Baca Juga

“Pulitek” Orang Aceh: Politik Keterusterangan

Pengalaman-pengalaman serupa tentulah dapat kita temukan di berbagai kesempatan, bahwa dalam relasi sosialnya, terutama dalam dunia politik, keterusterangan merupakan tipikal dari orang Aceh.

Kisah Persahabatan di Balik Meja Kerja

Waktu terus berjalan, tetapi persahabatan dan kenangan di balik meja kerja itu tetap hidup dalam hati mereka. Meskipun jalan hidup membawa mereka ke berbagai arah, ikatan yang telah terbentuk selama bertahun-tahun tidak akan pernah hilang.

BUKAN DI TANGAN MPR

Malah, sekarang, kita lebih mengkhawatirkan kapasitas partai politik, yang lebih mengejar hasil instan elektoral dengan mengajukan pelawak sebagai calon wakil walikota.

MEKKAH YANG DEKAT

Mekkah adalah tanah impian. Semua muslim mendambakan menginjakkan kaki di sana. Dari Mekkah, tempat di mana sakralitas ibadah haji dilakukan, cerita mengenai hubungan muslim dengan Tuhan dan masyarakatnya bermula.

Menyoal Frasa Wali Keramat dalam Cerpen Ada Sepeda di Depan Mimbar

Namun, pada poin kedua, di sini, imajinasi Khairil Miswar sama sekali bertolakbelakang dengan imajinasi saya. Gambaran imajinatif sosok Teungku Malem yang dianggap wali keramat, namun dia menghasut Tauke Madi untuk tidak lagi memperkerjakan orang yang tidak salat, bukan main anehnya