Moskow, 1980, pesawat–pesawat tempur Uni Soviet bermanuver di udara dalam berbagai formasi yang mengagumkan dan menakjubkan, Mikhael Gorbachev, menengadah ke angkasa, tiba-tiba, dua pesawat bertabrakan memecah segala decak kebanggaan dan kekaguman, “Oh My God,” teriak Gorbachev. Komunis dan Atheis itu pun merindukan Tuhan.
Suatu hari diakhir 1980-an dari mulut seorang Gorbachev, pemimpin negara terbesar di dunia, presiden negara komunis nomor satu dan terkuat di dunia, terucap doa: ”Semoga Yang di Atas Sana memberi kekuatan pada saya dan bangsa ini.” Sang Presiden sedang mengalami masa masa yang paling sulit. dia baru saja menggelindingkan kebijakan glasnost dan perestroika (restrukturisasi ekonomi dan keterbukaan politik), sebuah ide dan kebijakan perubahan besar-besaran di negaranya.
Cerita di atas adalah sisi lain dari Atheisme. Dewasa ini, begitu banyak orang yang menyatakan diri atheis, ada sebagai ideologi hidup dan ada juga sekadar menganutnya sebagai bentuk kemalasan beribadah. Ketika Insan-insan Athesime merasa diri mereka sangat hebat, di sisi lain, dalam benak dan rasio terwaras mereka, mereka akan tertegun, bertanya, bergumam dalam hati, bahwa ada yang lebih hebat, ada yang lebih berkuasa, ada sebuah kekuatan yang mengendalikan alam ini di luar kemampuan mereka sebagai manusia yang mereka anggap super power, super man seperti yang ternarasikan dalam Sabda Zaratustranya Friedrich Nietze. Inilah yang dialami oleh Michael Gorbachev, atheis tulen, pembesar Benua Merah Uni Soviet, yang merepresentasikan kondisi psikologis umat Atheis lainnya.
Banyak dari kaum atheis beriman pada wahyu “God is death”-nya Nietzche, dilematisnya, mereka hanya mengambil kalimat itu saja, tidak pernah mengambil spiritnya. Model Mereka yang seperti ini tidak pernah membaca dan memahami Nietzche. Freiderich Nietzche meski menggiring manusia kepada nihilisme, namun pemikirannya tidak bermaksud meniadakan tuhan. Nietzsche justru mengkritik cara manusia berpengetahuan tentang “Tuhan.” Manusia sebenarnya tidak akan pernah mampu untuk mendefinisikan dan memahami Tuhan terlebih lagi jika manusia tidak pernah berjumpa Tuhan. Sekarang, banyak agamawan dengan berani mendefinisikan Tuhan dan memahami Tuhan, padahal mereka tidak pernah berjumpa, mereka mendefinisikan Tuhan sesuai dengan keinginan mereka sendiri padahal Tuhan tidak pernah menginginkan dan menyukai definisi agamawan itu, bahkan agamawan itu sering dikutuk oleh Tuhan.
Bagi kaum komunis atheis, agama-yang basic-nya adalah kepercayaan kepada Tuhan merupakan candu yang meracuni masyarakat. Komunis adalah ateis. Komunis tidak mengakui keberadaan Tuhan. Karena itu, pengakuan dari seorang Gorbachev tentang adanya kekuatan di ‘Atas Sana’ juga dianggap sebagai pertanda runtuhnya paham komunis, mengingat ia saat itu merupakan pemimpin tertinggi dari negara komunis terkuat di dunia. Apalagi terbukti kemudian, Federasi Rusia yang terbentuk setelah pecahnya Uni Soviet membebaskan warganya untuk beragama atau tidak beragama. Membebaskan masyarakat untuk bertuhan atau tidak bertuhan. Begitu juga dengan komunis di Cina. Di negeri berpenduduk terbesar di dunia itu, komunis lebih sebagai sistem politik. Komunis bukan lagi sebagai ideologi yang harus ateis.
Komunis sebagai ideologi-dan bukan sebagai sistem politik-tampaknya memang tidak bisa bertahan atau dipertahankan. Sebab, secara naluri, setiap manusia-baik sadar maupun tidak sadar-akan mengakui ada kekuatan lain di luar dirinya. Kekuatan yang lebih besar di luar kekuasaan manusia. Komunis punya satu kebaikan pada sisi perlawanan terhadap kekuasaan yang menindas, tetapi punya sejuta keburukan pada sisi melawan alamiah dan naturalnya manusia untuk hidup, yaitu butuh kekuatan di luar dirinya, dan tidak tidak ada pada ideologi atau pun pada negara. Bahkan ketika berkuasa pun, komunis merupakan penindas yang tersentral.
Seiring perjalanan waktu, Tak bisa dipungkiri memang, naluri religiusitas, hasrat untuk beragama atau lebih tepatnya disebut naluri untuk ber “Tuhan” adalah fitrahnya manusia, sesuatu yang alamiah dan natural. Manusia menurut fitrahnya adalah makhluk agama. Sifat itu berpangkal dari naluri alamiahnya untuk menyembah atau mengabdi kepada suatu objek atau wujud yang dipandangnya lebih tinggi dari manusia itu sendiri. Namun, sesekali ada juga naluri tidak ingin bertuhan, maka itu wajar dan biasa saja, misal, menjadi atheis dalam waktu 5 menit, atau tidak percaya Tuhan sama sekali dalam waktu 24 jam, itu biasa- biasa saja dan masih sangat wajar sebagai manusia yang beragama. Itu masuk dalam bab uniknya manusia.
Manusia hanyalah sebuah titik kecil. Dilihat dan diukur dari sisi mana pun adalah sangat kecil. Titik yang sangat kecil apabila dibandingkan dengan umur kehidupan dunia yang usianya ribuan, jutaan, atau bahkan miliaran tahun. Manusia, apa pun status sosialnya hanyalah sebuah titik. Manusia, apakah rakyat biasa atau penguasa, juga hanyalah sebuah titik. Kekayaan akan berakhir ketika ia mati. Kekuasaan juga akan berhenti dan ada batasnya ketika waktunya tiba. Hatta Mikhael Gorbachev atau siapa pun yang sedang menggenggam kekuasaan dan kekayaan, sebesar apa pun kekuasaan dan kekayaan itu, semua akan ada akhirnya. Manusia juga lemah di hadapan kekuatan di luar dirinya. Itu sebabnya, Gorbachev dan Putin yang tadinya komunis ateis tak bertuhan masih membutuhkan doa. Narasi ini bukan memperlemah manusia. Justru menguatkan manusia bahwa manusia ada untuk sesuatu di luar dirinya, bukan untuk dirinya sendiri.
Umat Islam dan Atheis
Setelah mencermati fenomena di atas, lalu di mana letak persamaan dan perbedaan antara umat Islam saat ini dengan Atheism? Ternyata sama–sama punya objek yang tidak pernah bisa dijumpai. Yang satu sama sekali tidak percaya keberadaaan Tuhan, yang satu lagi percaya penuh keberadaan Tuhan, namun tidak pernah bisa dijumpai, objeknya sama, sekaligus juga berbeda. Bagi atheis, rupa, bentuk Tuhan itu tidak ada, semuanya alami, berjalan dengan sendirinya, sedangkan kebanyakan umat Islam percaya Tuhan itu ada, namun mirip – mirip tidak ada, karena tidak pernah bisa berjumpa.
Diskursus yang muncul kemudian adalah, bagaimana wujud Tuhan itu sebenarnya sebagai objek yang disembah, ini adalah sebuah konsep yang masih absurd. Banyak perdebatan, pro dan kontra mengenai objek Tuhan ini, yang merupakan objek maha penting dalam kehidupan ibadah dan penghambaan kita. Ada yang mengatakan Tuhan itu hanya bisa dilihat di akhirat saja, sedang di dunia tidak bisa dilihat, ada yang mengatakan tidak bisa sama sekali melihat Tuhan di dunia maupun di akhirat.
Namun, di tengah-tengah wacana tersebut, ternyata ada insan-insan yang telah merasakan nikmatnya penghambaan, nikmatnya ibadah karena dia telah melihat Tuhan langsung dengan qalbu dan rasionalitasnya, setelah qalbu melihat, rasionalitasnya juga turut menghambakan diri, betapa nikmatnya, bagaimana tidak nikmat, di tengah perdebatan yang tak pernah habis dan tak jelas pangkal ujungnya dan terkesan menghabiskan banyak energi sia-sia (karena hanya berdebat) dan tak pernah bisa dibuktikan, kaum sufi telah langsung membuktikan tanpa banyak teori bagaimana nikmatnya berjumpa Tuhan. Bukan pula berarti bahwa kaum sufi tidak paham teori-teori ketuhanan, tapi mereka telah melangkah melampaui itu, dengan langsung membuktikan teori-teori ketuhanan tersebut. Ibarat kata Karl Marx: “Para filosof banyak berjalan dengan kepala terbalik, karena teori-teori filsafat mereka tak pernah bisa dipraksiskan”. Lalu Karl Marx membuktikan teori dia dengan meramu Materialisme Dialektika yang melahirkan teori-teori Revolusi yang memang langsung bisa dibuktikan, walau kemudian runtuh, karena Ruh semestanya tidak ada, yaitu energi Ketuhanan.
Demikian juga kiranya dengan filosof, teolog dan faqih kita, banyak sekali yang berjalan dengan kepala terbalik, kenapa? Karena mereka tidak pernah bisa membuktikan teori-teori ketuhanan mereka. Tokoh-tokoh ini selalu bereksperimen dengan kacamata kuda, selalu menggunakan dalil-dalil syari’at an sich untuk membuktikan dalil mereka, padahal kalau mereka lepaskan kacamata kuda mereka, ada jalan yang lebih sejuk, lebih damai, lebih akomodatif dan mencerahkan pasca syari’at, yaitu Thariqat, Hakikat dan Ma’rifat.
Atheisme adalah sebuah ideologi yang menyatakan bahwa Tuhan itu tidak ada, semua terjadi secara alamiah, tidak ada campur tangan Tuhan, Tuhan tidak ada, di mana Tuhan? Bagaimana rupa dan wajah Tuhan? Tidak ada, jadi untuk apa mempercayai sesuatu yang tidak ada. Sedangkan umat Islam di luar kaum Sufi (mayoritas), selalu menyembah, dan selalu menghambakan diri pada objek yang selamanya gaib (x), dan mereka memang selalu mengaku bertuhan, beragama, tetapi Tuhan tak pernah bisa dijumpai, tak pernah bisa dilihat wujudnya, hanya bisa dirasakan seperti angin, bagaimana kalau angin yang dirasakan itu angin topan, tornado, badai kathrina, berarti Tuhan itu kejam dan ganas. Golongan ini selalu pasrah dan tidak berani bertanya dan membahas tentang esensi ketuhanan, karena takut dicap kafir, sesat dan murtad, sangat disayangkan. Ternyata keduanya sama-sama tak punya wujud objek yang disembah, kalau atheism memang sudah langsung tidak percaya sama sekali, sedangkan golongan mayoritas mengaku percaya Tuhan, tapi ternyata juga mirip dengan atheism secara tidak sadar dan telah membenarkan teori-teori Atheisme, bahwa Tuhan tidak punya wujud dan esensi yang jelas), syubhat dan (samar-samar). Mereka memang menyebutnya dengan beriman pada yang ghaib, tetapi apakah yang ghaib itu tidak pernah bisa dilihat? Mengapa tidak beriman dengan segala kepastian saja.
Jika Tuhan disebut ghaib dan tidak pernah bisa dilihat, maka beranjaklah dari segala pengetahuan modern, maka beranjaklah dari segala pengetahuan agama yang kaku kepada tasawuf.
Ibnu Athailah As Sakandri dalam Wahdah al-Wujud, Unity of Being, dalam Al Hikamnya menegaskan bahwa Tuhanlah satu-satunya eksistensi yang real dan absolut. Segala hal dan segala sesuatu di seluruh ruang jagat raya ini, adalah nihil belaka, lenyap dan tak riil. Tuhan adalah essensi Yang Esa dan esksistensi Yang Wajib Ada, Mutlak (Absolut) dan La Nihayah. Tidak ada wujud selain Tuhan. Wujud (Maujud) yang lain tak lain dan tak bukan adalah sifat-sifat dan nama-nama-Nya.
Dalam “al-Hikam”, Ibn Athaillah antara lain mengatakan:
مَا حَجَبَكَ عَنْ اللهِ وُجودُ مَوجودٍ مَعَهُ، إذْ لا شَيْءَ مَعَهُ، وَلَكِنْ حَجَبَكَ عَنْهُ تَوَهُّمُ مَوجودٍ مَعَهُ.
“Wujud alam semesta tidak akan mampu menghalangimu melihat Tuhan. Karena tak ada yang lain di alam semesta ini kecuali Dia. Keberadaan yang lain hanyalah bayangan-bayanganmu belaka”.
Ibnu Athailah juga berkata: “Segala yang berwujud wajib dilihat, sedangkan Allah itu “wajibul Wujud”. Bagaimana mungkin terbayangkan Tuhan tertutup tirai, padahal Dialah Yang membuka tabir segala. Bagaimana mungkin terbayangkan Dia terhalang tirai, padahal Dialah Satu-Satunya Yang Ada yang tanpa-Nya segalanya tak akan ada.
Hakikat Islam, adalah”kepasrahan total dan penghambaan total kepada Allah SWT”, ini adalah esensi yang penting untuk dibedah. Tidakkah timbul pertanyaan kalau hakikat Islam seperti ini, lantas bagaimana menghambakan diri, memasrahkan diri pada sesuatu yang tidak dikenal, tidak bisa ditemui, pada sesuatu yang tidak ada wujudnya? Di sinilah letak dan peran kaum Sufi untuk mempraksiskan penghambaan dan kepasrahan total itu seperti apa, dengan powerfull, cinta dan pengabdian. Kenapa ini bisa dilakukan dengan powerfull, karena kaum sufi punya banyak sekali pendekatan, baik pendekatan-pendekatan ilmiah maupun metafisis, mental sufi bukanlah mental block, sehingga bisa mencerap banyak sekali pengetahuan.
Ternyata selama ini mayoritas muslim bermental block¸ padahal banyak sekali pencerahan, tuntunan hidup, kebaikan hubungan antara manusia dengan manusia, antara manusia dengan alam dalam ajaran tasawuf, tetapi karena mentalnya mental block, mereka langsung membendung teori-teori sufi yang sebenarnya sangat spektakuler, dengan narsisme syari’at nya yang tinggi menjulang, melebihi menara Namruz dan melebihi Arasy Tuhan. Misal, berbicara konsep kewalian dan konsep kemursyidan, mayoritas berdalil, karena di Syari’at tidak membahas itu, maka itu tidak bisa diterima atau dicerna, padahal dalam tradisi ilmiah, ini sesuatu yang menarik, menggairahkan untuk dibahas, dibedah, bahkan dibuktikan.
Ada pendekatan lain untuk membahas ini, dan ini sangat-sangat ilmiah, yaitu pendekatan tasawuf (yang jelas kelasnya di atas Syari’at), tasawuf praktik itu sangat ilmiah, ketika umat Islam mayoritas enggan mengupasnya karena bermental gurun pasir, berkacamata kuda dan kesombongan narsisme syari’atnya mirip punuk unta, di situ-situ saja, dari gurun pasir satu ke gurun pasir lainnya, dari satu oase ke oase lainnya, padahal ada sungai yang lebih besar, ada air terjun yang indah dan besar di luar sana. Dan, Ketika sang Atheisme Pun merindukan Tuhan, mayoritas umat Islam secara tidak sadar telah menjauhkan diri mereka dari Tuhan, karena terlalu taklid pada sejarah Bani Umayyah, sejarah Kegemilangan Turki Usmani, yang sejatinya belum tentu benar konsep keagamaan yang telah mereka formulasikan. Seharusnya yang bisa dilakukan oleh umat Islam adalah bersandar pada esensi Sabda Rasulullah : “Syari’at itu perkataanku, Thariqat itu amalanku, Hakikat itu pendirianku dan ma’rifat itu tujuanku.”
Editor: Khairil Miswar