“Malam ini, Biarkan Kembang Api itu Meledak di Langit Sabang….”

Laksana sekeping surga di ujung bumi, maka takdir Sabang adalah destinasi. Tuhan menakdirkan Sabang sebagai destinasi, bukan sebagai syar’i. Ketika Sabang diubah dari destinasi menjadi syar’i, maka manusia telah melawan takdir Tuhan dalam ketaatannya kepada Tuhan.

Memperlakukan Sabang sebagai destinasi, tentu sangat berbeda dengan memperlakukan sabang sebagai syariat Islam, karena syariat Islam itu bukan pada tempat, tetapi pada martabat manusia. Menggabungkan keduanya, hatta menjadikan Sabang sebagai destinasi Wisata Islami, itu juga menimbulkan kekacauan bertubi-tubi. Secara logika salah, secara tindakan juga akan bertambah parah.

Operasionalisasi syariat Islam secara pukul rata, menyamaratakan antara daratan dan lautan, antara daerah destinasi wisata, dengan daerah yang ditakdirkan sebagai lumbung pangan, tentu berbeda.
Ketika menyamaratakan maka di situlah letak aib besar pemimpin terhadap kita sebagai manusia, yang tidak pernah meminta lahir di Aceh, tetapi sudah lahir di Aceh.

Bagi siapa pun, baik yang sudah berkali – kali ke Sabang, maupun yang pertama sekali ke Sabang, atau yang sama sekali belum pernah ke Sabang, maka Sabang adalah kenangan dan masa depan. Datanglah ke Sabang setiap Anda ingin, temukan suasana yang berbeda, tetapi tetap dengan rasa yang sama, yang tidak pernah berubah yaitu rasa menikmati.
Ketika daratan adalah penat, maka Sabang adalah semangat, datang ke sana, ambil dan kemudian kembali lagi.

Ketika pertama sekali menginjakkan kaki di pantai Lasiana Kota Kupang (NTT), mata saya lansung menatap lautan, dimanakah Sabang di antara lautan itu? Ketika Kota Kupang disebut Kota Kasih, maka Sabang punya pantai kasih, Sabang juga punya pantai paradiso (firdaus). Ketika Kota Kupang juga disebut sebagai kota Karang, maka Sabang punya Ujung Karang. Kupang dan Sabang hanya terpisah oleh beberapa huruf saja, namun bertemu di lautan.

24 Desember 2004, setelah dihantam gempa berkali-kali dan diterjang gelombang tsunami, dari atap tingkat dua sebuah rumah di Emperom, Banda Aceh, saya tidak bisa melihat lagi Kota Sabang, waktu itu saya berpikir Sabang sudah tenggelam, lalu airnya menuju daratan. Ketika itu kemana pun pandangan dilemparkan, maka yang ada hanya air, saat itu saya pasrah seandainya Sabang tenggelam tak bersisa. Ternyata kota itu punya palung yang dalam, sehingga selamat dari amukan tsunami, dan sampai sekarang masih bisa dikunjungi berkali- kali lagi.

Berbilang tahun, sebagai generasi yang masih belajar pada penanggalan CAWU, maka setiap liburan sekolah adalah hari raya bagi kami anak pulau, sebelum Subuh kami sudah mandi, menanti mobil minibus yang menjemput menuju pelabuhan, Gurita adalah kapal terakhir yang sempat kami tumpangi sebelum tenggelam pada 19 januari 1996. Gurita tersebut juga tenggelam bersama kakak kandung kami yang ketika tenggelam terkurung di ruang VIP.

Sudah menjadi polaritas dalam hidup, ketika kami anak pulau ke daratan, maka anak daratan menuju pulau.

Kami adalah generasi terakhir yang sedikit sempat menikmati kemegahan pelabuhan bebas Sabang, sampai saat ini, di rumah masih tersimpan sebuah sepatu boots beludu berwarna kuning, satu ikat pinggang kulit, katanya itu dari Singapura, kualitasnya sangat bagus. Di dekat pantai, di antara bebatuan-bebatuan, di depan rumah, masih bisa dijumpai banyak sekali pecahan-pecahan piring, yang konon katanya dulu di situ menjadi tempat transit dari “kebaikan – kebaikan jengek” yang dilakukan ketika itu dan mereka kemudian “un boxing” di bibir pantai itu.

Sebelum sekolah di SD Jalan Kilat, Ie Meulee, masa kecil saya habiskan bersama kakak di Kuta Timu, saat itu sungai kecil yang bermuara ke laut itu masih sejuk sekali untuk mandi. Di Kuta Timu itu, bersama anak – anak lainnya, kami sangat merindukan jam 14.00 siang, karena di waktu itu, dengan mobil bak terbuka, operator halo-halo menginformasikan film terbaru yang akan diputar di Bioskop. Yang paling kami nantikan tentu bukan informasi itu, tetapi lembar- lembar kertas yang dilempar dan kemudian kami saling berkompetisi untuk mendapatkan flayer-flayer itu, tak terbilang jumlahnya flayer yang saya kumpulkan itu, yang paling terekam di memori adalah flayer “Saur Sepuh” dan “First Blood (Rambo)”, yang ketika itu kami eja dengan “fisblod”.

Jauh sebelum kejahatan negara melalui anak-anak Orde Baru bedebah itu, yang mencabut pelabuhan bebas Sabang dan Kejahatan Tommy Suharto yang merusak harga cengkeh di Sabang, saat itu cengkeh adalah kemewahan di Sabang. Saya ingat betul, ketika membeli baju lebaran hanya bermodal dari cengkeh yang jatuh di tanah dari hasil panen di kebun nenek, hanya dengan beberapa kilogram cengkeh mendekati lebaran, maka kami anak – anak berpesta pora ketika lebaran, ketika itu lebaran itu 7 hari 7 malam, bukan satu hari seperti sekarang.

Zaman ketika kita sangat marah karena “Laporan Khusus” TVRI menghalangi acara “Aneka Ria Safari”, kami terbiasa melihat orang – orang dewasa yang bergerombol berjalan kaki sore hari menuju bioskop, malam ini film Aminta Bachan kata mereka. Jangan tanya sekarang, karena jangankan orang berjalan beramai- ramai, bioskop pun tidak punya.

Ketika asap menggepul di acara Aneka Ria Safari, detik itu juga sebuah tape sudah standby di depan TV hitam putih untuk merekam semua lagu, mulai dari Lagu Muchlas Adi Putra, Dina Mariana sampai Angel Puff, saat itu, itulah tugas kami selaku anak-anak”

Tentu terlalu panjang jika menuliskan berbagai kisah itu, yang jelas, kini Sabang terus berbenah, dan demi kemajuan Sabang, maka hendaklah Sabang otonom dan berdiri sendiri dalam mengelola dirinya sebagai destinasi. Artinya, Sabang tidak perlu ikut – ikutan seperti daratan, ketika daratan dengan pongah dan sombongnya menyatakan larangan merayakan tahun baru, maka Sabang tidak perlu ikut-ikutan, rayakan saja tahun baru, pecahkan saja malam dengan kembang api di udara, yang tentu kembang api itu tidal perlu memakai dana APBK, kalau Walikotanya pandai mengelola, akan ada ribuan kembang api yang siap pecah hingar – bingar di udara, dari sini adalah jalan bagi warga Sabang menjadi sejahtera.

Kenapa selebrasi ini harus dilakukan? Karena Sabang takdirnya adalah destinasi, bukan syar’i. Karena itu biarkan tahun baru ini, kembang api meledak-ledak di angkasa, toh Tuhan tidak akan marah, malah tersenyum dan riang gembira, karena kita menghargai karya dan kreasinya yaitu menakdirkan Sabang sebagai surga di ujung dunia.

Selamat Tahun Baru 2022, selamat berwisata ke Sabang kepada saudara-saudara semuanya, Kota yang telah melahirkan banyak kenangan untuk masa depan, terus maju dan terus mendunia, suatu saat nanti saya akan kembali, tidak dengan sebuah nama, tetapi dengan sebuah maha karya….

Penulis lahir dan Besar di Sabang, Ketika Freddy dan Cadanemo belum ada dan yang ada hanyalah batu – batu karang…

Baca Juga

“Pulitek” Orang Aceh: Politik Keterusterangan

Pengalaman-pengalaman serupa tentulah dapat kita temukan di berbagai kesempatan, bahwa dalam relasi sosialnya, terutama dalam dunia politik, keterusterangan merupakan tipikal dari orang Aceh.

Kisah Persahabatan di Balik Meja Kerja

Waktu terus berjalan, tetapi persahabatan dan kenangan di balik meja kerja itu tetap hidup dalam hati mereka. Meskipun jalan hidup membawa mereka ke berbagai arah, ikatan yang telah terbentuk selama bertahun-tahun tidak akan pernah hilang.

BUKAN DI TANGAN MPR

Malah, sekarang, kita lebih mengkhawatirkan kapasitas partai politik, yang lebih mengejar hasil instan elektoral dengan mengajukan pelawak sebagai calon wakil walikota.

MEKKAH YANG DEKAT

Mekkah adalah tanah impian. Semua muslim mendambakan menginjakkan kaki di sana. Dari Mekkah, tempat di mana sakralitas ibadah haji dilakukan, cerita mengenai hubungan muslim dengan Tuhan dan masyarakatnya bermula.

Menyoal Frasa Wali Keramat dalam Cerpen Ada Sepeda di Depan Mimbar

Namun, pada poin kedua, di sini, imajinasi Khairil Miswar sama sekali bertolakbelakang dengan imajinasi saya. Gambaran imajinatif sosok Teungku Malem yang dianggap wali keramat, namun dia menghasut Tauke Madi untuk tidak lagi memperkerjakan orang yang tidak salat, bukan main anehnya