Nyawa Filsafat ada di “Makrifat”


Berabad yang lalu, Socrates berkata: “Aku adalah bidan bagi ilmu pengetahuan, aku akan membantu melahirkan induk dari segala pengetahuan,” lalu lahirlah filsafat yang sebenarnya telah ada cikal bakalnya dari sejak pra Socrates, namun masih parsial dan belum sesistematis dan semendalam Socrates yang kemudian dilanjutkan oleh Plato dan Aristoteles. Di kemudian hari, induk ini dirasionalkan secara sistematis oleh Rene Descartes dengan teori kepastian matematika, 2+2 = 4, disistematisasi dan dirasionalkan dari akal pikiran oleh Immanuel Kant, dieksistensialkan dalam serba ketidakpastian (nihilisme) oleh Karl Friedrich Nietzsche dan diidealkan secara mutlak dan kongkret dengan akal (ruh semesta) yang membentuk segalanya.

Dalam senja para pelajar, Perancis telah memperkenalkan filsafat dan menjadikan filsafat sebagai kurikulum resmi bagi anak- anak sejak dari SMA. Dari titik anjak ini mereka telah kenal filsafat secara mendalam. Ecole Normal Superioure (ENS) telah melahirkan banyak sekali pemikir dan filsuf Perancis yang pemikirannya berpengaruh hingga sekarang, itu adalah buah dari Pohon filsafat yang telah ditanam sejak SMA. Sebut saja Jean Paul Sartre, Simone De Boeuvoir, Michel Foucault, Pierre Bourdeu, Jacques Derrida, Emile Durkheim, Henri Bergson, Louis Althusser, Maurice Merleau Ponty, Alain Badiou, Simone Weil.

Di tempat kita, model seperti ini tidak akan pernah terjadi. Karena, dari sejak kecil anak–anak ditanamkan kedangkalan (akidah) dari pada kedalaman berpikir, berefleksi dan berkontemplasi secara jiwa, ruhani dan akal pikiran. Dari sejak kecil yang diperkuat adalah hafalan ayat, surat, dan segala pembatasan dibandingkan dengan memperkuat analisis, memperkuat kemampuan menyingkap yang tersirat dari yang tersurat dan melatih bagaimana ketika akal tidak digunakan, wahyu tetap memandu atau keduanya berjalan beriringan. Anak–anak kita akan berubah, dan menjadi generasi yang cerdas, berkualitas dan eksis di segala kemajuan ketika dari sejak kecil, umur 15 tahun misalnya, telah belajar tasawuf, masuk tarekat dan belajar tasawuf yang bisa langsung dipraktikkan dalam kehidupannya, dengan belajar tasawuf sejak dini, maka anak–anak akan menjadi generasi yang lengkap perpaduannya antara akal dan wahyu, antara jasmani dan rohani, antara dunia dan akhirat dan antara teori dan praktik. Semuanya sinkron, terarah dan telah teruji.

Lalu, panjang umurkah filsafat? Filsafat memang masih tetap ada dan masih terus dikaji, dipelajari, dan ada di setiap hati sanubari para pecinta dan penikmatnya. Tetapi saat ini, filsafat sangat dekat dengan kematian, dia berada pada titik kritis karena sejak dari kelahirannya sampai sekarang, filsafat tidak pernah bisa membuktikan wujud dari “ ADA” / “YANG ADA” sebagai eksistensi wujud tertinggi. Tidak lama lagi akan segera ditinggalkan dan akan dikuburkan karena yang bisa digunakan hanyalah akal, bukan wahyu, padahal wahyu terus ada sampai sekarang dan tidak pernah berhenti, filsafat dengan akalnya, tidak pernah bisa menjangkau ini, di sebuah titik, di segala kemewahan dan kelengkapan semua fasilitasnya untuk berpikir dan merenung, filsafat akan sampai kepada satu titik bahwa akal memang harus berhenti, terbatas dan tidak sanggup untuk melanjutkan perjalanannya. Ini semua pasti dialami oleh siapa pun pemikir dan filosofnya, tetapi tidak semuanya mau mengakui, di sinilah fungsi wahyu yang bisa diakses oleh kaum sufi dengan metode yang sangat ilmiah dan telah teruji. Pikiran, pemikiran akan sampai ke tahap “matikan otak, lalu wahyu yang bekerja”.

Untuk panjang umur, maka nyawa filsafat ada pada makrifat. Filsafat akan panjang umur dan immortal ketika Tuhan, wahyu ada dan hadir dalam filsafat. Filsafat panjang umur ketika filosof menjadi Sufi dan sufi menjadi filosof, sufi yang filosof dan filosof yang sufi. Karena ketika keduanya telah bergabung, maka akal dan wahyu akan berjalan beriringan, mereka akan memegang otoritas dunia langit dan dunia bawah langit. Ketika akal beristirahat, maka wahyu yang bekerja, karena wahyu tidak pernah berhenti dan akan terus ada bahkan ketika akal pikiran tidur.

Filsafat tidak mungkin panjang umur tanpa makrifat, karena ini adalah eksistensi dari segala keberadaan yang tidak pernah bisa dibuktikan oleh filsafat. Lalu Tuhan yang manakah yang ada dalam filsafat? Tuhan ini adalah Tuhan sebenarnya, bukan Tuhan yang disembah-sembah oleh manusia sepanjang zaman, Tuhan yang ada dalam diri Ibnu Arabi, Jalaluddin Rumi, Bahauddin Naqsyabandi, Junaid Al Baghdadi dan Tuhan yang ada dalam diri para Wali. Para sufi selalu menyembah Tuhan yang hidup, Tuhan yang dapat berbicara, selalu berfirman sepanjang waktu, yang wahyu–wahyunya tidak pernah putus dan tidak pernah selesai.

Panjang umur filsafat dalam makrifat.

Editor: Khairil Miswar

Baca Juga

“Pulitek” Orang Aceh: Politik Keterusterangan

Pengalaman-pengalaman serupa tentulah dapat kita temukan di berbagai kesempatan, bahwa dalam relasi sosialnya, terutama dalam dunia politik, keterusterangan merupakan tipikal dari orang Aceh.

Kisah Persahabatan di Balik Meja Kerja

Waktu terus berjalan, tetapi persahabatan dan kenangan di balik meja kerja itu tetap hidup dalam hati mereka. Meskipun jalan hidup membawa mereka ke berbagai arah, ikatan yang telah terbentuk selama bertahun-tahun tidak akan pernah hilang.

BUKAN DI TANGAN MPR

Malah, sekarang, kita lebih mengkhawatirkan kapasitas partai politik, yang lebih mengejar hasil instan elektoral dengan mengajukan pelawak sebagai calon wakil walikota.

MEKKAH YANG DEKAT

Mekkah adalah tanah impian. Semua muslim mendambakan menginjakkan kaki di sana. Dari Mekkah, tempat di mana sakralitas ibadah haji dilakukan, cerita mengenai hubungan muslim dengan Tuhan dan masyarakatnya bermula.

Menyoal Frasa Wali Keramat dalam Cerpen Ada Sepeda di Depan Mimbar

Namun, pada poin kedua, di sini, imajinasi Khairil Miswar sama sekali bertolakbelakang dengan imajinasi saya. Gambaran imajinatif sosok Teungku Malem yang dianggap wali keramat, namun dia menghasut Tauke Madi untuk tidak lagi memperkerjakan orang yang tidak salat, bukan main anehnya