Pemimpin Aceh, Sebuah Kepantasan dan Kepatutan

Mencalonkan dan dicalonkan, memilih dan dipilih, adalah hak azasi, adalah hak politik anak manusia. Namun hak politik ini tidak mengatur sebuah hukum lain yaitu kepantasan dan kepatutan. Hak politik melalui demokrasi hanya mengatur prosedur dan mekanisme, asalkan memenuhi persyaratan, apakah dia seorang yang bejat, penjahat, tukang garong, semua bisa menjadi pemimpin melalui mekanisme demokrasi.

Namun, yang paling menyakitkan adalah, peradaban yang baik tidak bisa dibangun dan dilahirkan dari mekanisme di atas, melainkan dari pemimpin yang lahir dari “kepatutan dan kepantasan”.

Pemimpin yang dipilih oleh manusia yang setia pada uang, dipilih oleh manusia yang setia pada fanatisme masa lalu yang absurd, manipulatif dan destruktif adalah pemimpin yang sampai kiamat tujuh kali pun adalah pemimpin yang tidak pantas dan tidak patut untuk memimpin Aceh. Sudah 15 tahun paska damai, Aceh selalu berada dalam kecelakaan sejarah, yang jika pemilu kali ini tidak sadar juga, maka Aceh tidak akan berubah.

Pemimpin yang pantas dan patut ini lahir jika dipilih oleh manusia yang rasional, punya pengetahuan, punya masa depan, hidupnya berdasarkan jalan lurus, bukan hidup berdasarkan premanisme masa lalu yang dibawa-bawa kekondisi sekarang, manusia yang sadar bahwa kalau membiarkan kebodohan memimpin maka tidak akan pernah ada perubahan.

Lihatlah Aceh hari ini, yang tidak pantas dan tidak patut terpilih jadi pemimpin, yang pantas dan patut terjungkal bahkan sebelum pertandingan dimulai.

Pemimpin dari jalur ini, membangun negerinya, bukan berdasarkan visi masa depan, berdasarkan pengetahuan, tetapi berdasarkan ucapan yang dia ucapkan ketika bangun tidur bahkan ketika belum cuci muka, sedikit-sedikit bicara syariat, sedikit-sedikit bicara kekhususan, sedikit-sedikit bicara historia masa lalu, sedikit-sedikit bicara marwah.

Aceh ini memang harus didefinisikan ulang, harus ada pemimpin yang berani mendefinisikan ulang Aceh, Aceh sudah sangat rusak dengan pendefinisian berdasarkan semangat masa lalu. Iskandar Muda itu jaya di masanya, kalau dia hidup di masa sekarang, maka dia akan terbengong-bengong juga. Jadi apa yang diandalkan dari spirit-spirit seperti itu di masa sekarang.

Aceh butuh pemimpin yang mengabdi kepada rakyat, mengabdi untuk kesejehteraan rakyat, mengabdi pada akal sehat, mengabdi pada rasionalitas, bukan mengabdi pada kejayaan masa lalu, bukan mengabdi pada fanatisme masa lalu, dan mengabdi pada ego sektarian politik.

Aceh perlu pemimpin yang teladan dan bersahaja, pemimpin yang tidak berfoya-foya dengan dana otsus untuk memperkaya dirinya dan memperkaya kelompoknya.

Aceh juga perlu pemimpin yang tidak menyerahkan urusan dan perkara-perkara agama kepada sosok-sosok yang perslektif keberagamannya tidak selesai.

Jadi, untuk pilkada 2024 ini, mari kita bertaubat dan memilih pemimpin yang baru, bukan pemimpin masa lalu, bukan pemimpin yang itu-itu saja. Mari memilih pemimpin yang hidup di masa sekarang, memakai pikiran dan akal di masa sekarang dan berani mengubah Aceh menjadi sebuah rumah milik bersama semua anak manusia, membangun negeri berdasarkan aspek keumuman dunia (sebagaimana dunia) bukan melulu berdasarkan kekhususan-kekhususan yang ambigu dan absurd.

Jangan pilih pemimpin yang hidup sekarang, stylenya sekarang, tetapi kepala, akal dan perpfektifnya masa lalu. Semaput kita, karena jangankan bicara perubahan, siapa dirinya pun dia tidak kenal, karena dia sebenarnya manusia dari masa lalu, tetapi terlempar kemasa sekarang.

Betapa menyakitkan!

Editor: Khairil Miswar

Baca Juga

“Pulitek” Orang Aceh: Politik Keterusterangan

Pengalaman-pengalaman serupa tentulah dapat kita temukan di berbagai kesempatan, bahwa dalam relasi sosialnya, terutama dalam dunia politik, keterusterangan merupakan tipikal dari orang Aceh.

Kisah Persahabatan di Balik Meja Kerja

Waktu terus berjalan, tetapi persahabatan dan kenangan di balik meja kerja itu tetap hidup dalam hati mereka. Meskipun jalan hidup membawa mereka ke berbagai arah, ikatan yang telah terbentuk selama bertahun-tahun tidak akan pernah hilang.

BUKAN DI TANGAN MPR

Malah, sekarang, kita lebih mengkhawatirkan kapasitas partai politik, yang lebih mengejar hasil instan elektoral dengan mengajukan pelawak sebagai calon wakil walikota.

MEKKAH YANG DEKAT

Mekkah adalah tanah impian. Semua muslim mendambakan menginjakkan kaki di sana. Dari Mekkah, tempat di mana sakralitas ibadah haji dilakukan, cerita mengenai hubungan muslim dengan Tuhan dan masyarakatnya bermula.

Menyoal Frasa Wali Keramat dalam Cerpen Ada Sepeda di Depan Mimbar

Namun, pada poin kedua, di sini, imajinasi Khairil Miswar sama sekali bertolakbelakang dengan imajinasi saya. Gambaran imajinatif sosok Teungku Malem yang dianggap wali keramat, namun dia menghasut Tauke Madi untuk tidak lagi memperkerjakan orang yang tidak salat, bukan main anehnya