Tentang “Yang Pergi” dan “Yang Abadi”

Manusia, adalah “ada’ yang menuju kematian (Sein-zum-Tode), karena kematian adalah kenyataan mutlak dari keterbatasan hidup manusia di dunia. Kematian bukanlah proses “berhenti untuk menjadi” tetapi “sebuah cara berada” berikutnya. Kematian bukanlah seperti habisnya sebatang lilin, karena sebatang liin berada pada posisi yang pasti akan habis bahkan ketika sebelum dinyalakan, artinya belum dinyalakanpun, hukum bahwa lilin itu pasti akan habis telah melekat padanya, karena akhir itu sudah ada sejak permulaan, demikian halnya dengan kematian, dia sudah ada sejak manusia lahir, begitu seorang manusia lahir, maka dia sudah terlalu tua untuk mati.

Kematian adalah sebuah kehormatan, karena dia tidak pernah bisa digantikan dan tidak pernah bisa diwakilkan, semuanya telah punya tempat sendiri, dan semua manusia menuju ketempat masing – masing tersebut. Manusia yang penuh dengan kemelakatan terhadap dunia dan terhadap apa yang dikejarnya, maka dia akan enggan untuk pergi, ketika dia enggan untuk pergi, maka kematian akan menghampirinya dengan kejam, karena dia mencoba melawan hukum Tuhan. Namun, bagi manusia yang tidak punya kemelakatan apapun dengan dunia dan dengan apapun yang dikejarnya, maka kematian akan menghampirinya dengan lembut bahkan seperti sedang tidur.

Setahun terakhir, Iyak adalah seorang insan yang melepaskan diri dari segala kemelekatannya dengan apapun diluar dirinya. Dia sama sekali tidak pernah enggan untuk pergi, dan terakhir, dia telah pergi dengan terhormat menuju tempatnya disana.

Dalam sebuah peristiwa kematian, apapun yang melekat pada manusia akan dicabut, pendengaran, penglihatan, kalam (perkataan), hanya “ilmu” yang masih ada bersama manusia ketika itu. Ilmu itu bukanlah ucapan syahadat, bukanlah bab thaharah apalagi lantunan ayat, ilmu itu adalah “zikir”, zikir yang tetap bisa dilakukan oleh seorang anak manusia sekalipun dengan qalbunya, sekalipun dengan isyarat dan pembelajaran ini hanya ada pada para Sufi yang masih terjaga kemurniannya. Terakhir, Iyak pergi juga dengan zikir.

Manusia selalu akan berada pada dua peristiwa eksistensial ini, yaitu “ yang pergi” dan “yang abadi”. Yang pergi dari seorang Arabiyani adalah fisik dan segala sakit yang ditanggungnya dengan tabah dan yang abadi dari seorang Arabiyani adalah kebaikan, keramahan dan kelembutannya yang pasti melekat dan membekas dalam ingatan setiap orang yang pernah mengenalnya atau pun yang belum mengenalnya.

Iyak, adalah seorang perempuan “Fatum Brutum Amor Fati” yaitu perempuan yang mencintai segala takdirnya, mencintai segala yang telah dialaminya sekalipun itu adalah sebuah sakit. Dia tidak mau semua orang tahu, dan ikut merasakan, bahkan sebagai anak manusia, dia ingin dia biar dia sendiri lah yang nantinya akan menceritakan apa yang dialaminya ketika sembuh nanti dan kini dia telah benar – benar sembuh, sembuh selamanya.

Arabiyani (Kak Iyak) memanggil nama saya dengan sebutan “ Jefri”, terkadang “Jef” bahkan dia juga memberikan sebuah nama “safety” untuk saya dengan sebutan “Jefri Linkin”, persis ketika Aceh di hantam tsunami pertama yaitu darurat militer.

Sebagai penanda abadinya sebuah ingatan, suatu sore, saat Aceh masih dalam kolonialisasi darurat militer, Kak Iyak, menelpon saya,

“Jefri, lagi di mana ?”

“Lagi di Kos Kak,” jawab saya. (Saat itu saya kos di jalan lingkar kampus, perabot Has namanya, Kautsar sempat beberapa kali ke Kos saya, sebelum terakhir lari kehutan).

“Ok, kak Iyak jemput ya, standby terus, jefri ikut aja pokoknya.”

Sejurus kemudian, saya sudah berada dalam mobil, kami harus mengejar waktu, jangan sampai malam, karena jam malam. Didalam mobil sayapun tidak bertanya mau kemana, Kak Iyak hanya bercerita bahwa posisi kautsar sudah tidak aman dihutan dan dia harus segera keluar. Mobil terus melaju, ternyata tujuannya adalah Pante Pirak simpang lima.

“jefri cari ini, ini, ini ya, Kak Iyak juga cari lainnya, saya diberikan list belanjaan, semuanya jelas dan rinci, ternyata semua belanjaannya adalah kosmetik dan segala yang berhubungan dengan kecantikan. Kosmetik top dan terbaik yang ada disitu. Tidak terlalu lama setelah list ditangan saya tereksekusi semua, kak Iyak menghampiri saya “ ini untuk bekal Jefri di kos ya” (pop mie, indomie, roti, biscuit, dll), “berkah bagi anak kos’, gumam saya”, tambahan belanjaan diluar kosmetik yang diambil sendiri oleh Kak Iyak.

“Semua kosmetik ini tolong jefri bungkus ya, bungkus rapi, ini bahan – bahannya dan besok tolong kirim via L300 kealamat ini”, “hati- hati. Be carefull”.

Sebelum magrib, saya sudah berada di kos. Malam harinya, semua kosmetik itu saya bungkus dengan rapi dan keesokan harinya paket itu saya kirim. Kosmetik inilah yang kemudian digunakan oleh kautsar, sebagai bahan baku untuk menjadi “glowing” dan “kinclong” ketika keluar dari hutan nanti. Ketika kautsar keluar dari hutan, dia benar–benar glowing persis seperti artis muda pendatang baru, sehingga polisi perbatasan pun terkecoh, dan yang menjadi saksi untuk ke “Glowingan” Kautsar ini adalah Fadhiel WakCoey (Coy Ubeut), sedang saya bersama Husni Mubarrak saat itu bertugas untuk standby didepan telpon di kamar di kampung mulia ketika proses evakuasi Kautsar ini.

Pertemuan saya berikutnya dengan Kak Iyak adalah beberapa pertemuan ketika saya berada dalam hutan bersama Kautsar saat darurat militer, namun intensitasnya sedikit sekali. Ketika Iyak dan Kautsar melansungkan pernikahan, saya diperintahkan oleh Kautsar untuk standby dirumah persembunyian, dan tidak usah ikut, untuk safety katanya. Selebihnya saya tidak tahu alasannya apa.

Dalam hutan, dan selama pelarian yang saya juga ada disitu, yang paling sering ditelpon oleh Kautsar adalah Abunya dan Arabiyani, dan juga beberapa lainnya. Untuk menelpon, kami sering menuju kesebuah jembatan dipedalaman Bireuen, karena cuma ditempat itu yang ada signal, tranportasi yang kami gunakan adalah astrea 800 yang jok belakangnya terikat karet dan bannya agak oleng, kadang saya nyang nyetir, kadang kautsar yang nyetir.

Di jembatan itu, untuk menelepon kami harus naik satu tingkat atas palang jembatan itu, ketika signalnya dapat, maka posisi tidak boleh berpindah, harus tetap berada ditempat itu dengan satu tangan berpegangan pada tiang. Modal kami menelpon adalah hp 8210 yang ditengahnya terikat karet, sesekali menggunakan hp satelit, itupun ketika berada di pedalaman. Dan ketika terdengar ucapan “Beib”, maka berarti Kautsar sedang menelon Iyak. Setelah Kautsar selesai menelpon, hp itu diserahkan ke saya: “Ni Far, kau mau nelpon siapa, kau kabarin kek kau masih hidup,” dan saat itu saya hanya menelpon pacar saya, Nurlaili Novi yang sekarang menjadi istri saya, saya hanya mengabarkan bahwa saya baik–baik saja.

Pertemuan dan komunikasi intensnya berikutnya dengan Kak Iyak, ketika saya keluar dari hutan dan kembali ke Banda Aceh.

“Far, kau pulang, nanti di sana kau jumpai Kak Iyak. Kau perlu hp, nanti kau jumpa kak Iya ya, kau minta hp sama dia, kau perlu untuk komunikasi sama tugas – tugas lainnya yang perlu kau kerjakan disana, tetap stay ya, keep in touch” demikian pidato Kautsar kepada saya. (saat itu, saya memang sedang tidak punya hp, hp saya terjatuh ketika dalam proses berpindah dari satu ketempat ketempat lain).

Ketika berada di Banda Aceh, kami intens berkomunikasi dengan Kak Iyak. Saya dibekali sebuah HP, saya bertugas untuk mengirim data–data kebebarap jaringan, sehingga saya sering berpindah dari satu warnet ke warnet lainnya di Banda Aceh. Ketika konflik Aceh sedang berada di puncaknya, untuk beberapa saat komunikasi kami terputus, sampai kemudian tsunami melanda Aceh.

Hari–hari ketika Aceh dilanda tsunami, di lini masa ini, kami kembali berkomunikasi. Saat itu, ketika akses Kautsar masih terbatas untuk tampil di publik, karena statusnya masih dalam pencarian karena dianggap musuh negara, saya termasuk yang boleh mengakses keberadaan Kautsar dan mengurus beberapa keperluang Kautsar, termasuk kerja-kerja komunikasi politik dengan yang lainnya, ketika ada beberapa orang yang harus saya temui, karena yang lainnya tidak boleh tahu di mana keberadaan Kautsar. Di sini, saya tahu betul bagaimana peran seorang Arabiyani dalam mensupport gerakan politik Kautsar dan gerakan perlawanan lainnya. Bahkan saya tahu persis bagaimana support seorang Iyak dalam masa–masa sulit, genting dan kritis.

Bagi saya dan bagi orang–orang lainnya tentu punya ingatan bahwa Iyak adalah seorang yang lembut dan ramah. Saya belum menemukan Iyak sebagai seorang yang bicara kasar, bersuara besar sekali pun dalam diskusi, dalam situasi beda pendapat yang sangat tegang dan sangat emosional.

Saat proses Rehab Rekon Aceh, saya membantu Kak Iyak di kedeputian Perempuan dan Anak, dia sosok yang sangat ramah dengan semua orang, sehingga mulai dari satpam, driver semua kenal baik dengan Iyak, karena dia selalu menyapa siapa saja dan sangat ramah dengan semua orang.

Suatu hari, ketika saya hendak menikah saya masuk keruangannya dan menyampaikan bahwa saya akan menikah dalam waktu dekat, saat itu, didepan saya, kak Iyak lansung menelpon Kautsar: “Beib, si Jefri mau nikah ni, kita mau kasih apa, nanti kita datang ya beib acaranya si Jefri”. Saat itu perempuan mulia ini juga memberikan support kepada saya untuk biaya saya menikah.

Desember 2019, ketika ayah saya meninggal, kautsar dan Arabiyani adalah orang yang pertama datang berkunjung ke gampong Lampreh Lamjampok, Montasik. Saya tidak mengabarkan kepada keduanya ketika itu, saya hanya memposting di facebook dan mereka mengetahuinya kemudian lansung datang.

Ketika kabar itu terdengar, saya berdoa “ Kak Iyak pergi dengan baik, dan mendapatkan tempat yang baik di sana”. Mungkin bagi sebagian orang ini adalah duka, tetapi tidak bagi Iyak, dia pergi dalam suka cita untuk melanjutkan perjalanan berikutnya disana,…

Iyak telah pergi ke sana, namun tetap ada yang abadi disini, kebaikannya adalah di antara sekian yang abadi yang perlu dirawat dan diingat, sebab waktu tidak pernah kembali, hanya manusia dan segala ketidak berdayaannya di hadapan Tuhan yang kembali…

Selamat menempuh perjalanan berikutnya…

Baca Juga

“Pulitek” Orang Aceh: Politik Keterusterangan

Pengalaman-pengalaman serupa tentulah dapat kita temukan di berbagai kesempatan, bahwa dalam relasi sosialnya, terutama dalam dunia politik, keterusterangan merupakan tipikal dari orang Aceh.

Kisah Persahabatan di Balik Meja Kerja

Waktu terus berjalan, tetapi persahabatan dan kenangan di balik meja kerja itu tetap hidup dalam hati mereka. Meskipun jalan hidup membawa mereka ke berbagai arah, ikatan yang telah terbentuk selama bertahun-tahun tidak akan pernah hilang.

BUKAN DI TANGAN MPR

Malah, sekarang, kita lebih mengkhawatirkan kapasitas partai politik, yang lebih mengejar hasil instan elektoral dengan mengajukan pelawak sebagai calon wakil walikota.

MEKKAH YANG DEKAT

Mekkah adalah tanah impian. Semua muslim mendambakan menginjakkan kaki di sana. Dari Mekkah, tempat di mana sakralitas ibadah haji dilakukan, cerita mengenai hubungan muslim dengan Tuhan dan masyarakatnya bermula.

Menyoal Frasa Wali Keramat dalam Cerpen Ada Sepeda di Depan Mimbar

Namun, pada poin kedua, di sini, imajinasi Khairil Miswar sama sekali bertolakbelakang dengan imajinasi saya. Gambaran imajinatif sosok Teungku Malem yang dianggap wali keramat, namun dia menghasut Tauke Madi untuk tidak lagi memperkerjakan orang yang tidak salat, bukan main anehnya